Tabuhan drum terdengar samar dari balik tembok tribun sebelah utara Stadion Mattoanging sore itu, sekitar tahun 2017. Di muka stadion yang berdiri sejak tahun 1949 ini, sekelompok bocah berlatih tanding di bawah bimbingan seorang juru taktik. Beberapa orang bersepatu olahraga dengan keringat mengucur dari kening dan pakaian yang basah, berlari keliling area stadion.
Saya memarkir sepeda motor di samping pedagang siomay. Hari itu bukan waktu hajatan sepakbola digelar di sana. Namun rasa rindu pada Mattoanging menggerakkan hati saya untuk mengunjungi arena olahraga kebanggaan warga Makassar ini.
Memandangi lengkungan tembok Mattoanging, ingatan saya jauh merayap ke era sedekade silam. Setelah berjalan hingga ke gerbang tribun timur, memori tentang tali tambatan kapal yang menjuntai dari bagian atas tembok muncul di kepala. Kala itu, saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan tengah menikmati momen liburan ke Makassar.
Saya diajak salah seorang kerabat untuk menonton pertandingan PSM. Saya mengiyakan panggilannya, tapi sebuah kejutan yang tak terbayangkan hadir setelah itu. Kerabat saya mengajak masuk ke dalam stadion tanpa memegang tiket pertandingan. Lantas, bagaimana caranya masuk? Ya, dengan memanjat juntaian tali tambatan kapal itu tadi.
Kerabat saya mengatakan bahwa itu aman, tapi saya tak mengikuti ajakannya karena merasa hal tersebut berbahaya. Biarlah momen menyaksikan laga PSM secara langsung tertunda sebab keselamatan saya jauh lebih penting.
Kaki saya terus bergerak sampai akhirnya mata ini mendapati bahwa gerbang tribun timur stadion terbuka. Saya pun memanfaatkan situasi tersebut untuk mencuri kesempatan masuk ke dalam stadion.
Bunyi tabuhan drum yang tadinya samar, kini terdengar makin jelas. Ada beberapa orang, sepenglihatan saya adalah anak-anak remaja, berlatih dengan penuh semangat. Saya punya kesempatan buat menyapa, tapi saya urungkan karena tak ingin mengganggu kesenangan mereka. Biarkan saja mereka berlatih demi memberikan dukungan terbaik ketika Juku Eja bertanding.
Tribun khas stadion-stadion di Indonesia yang tanpa kursi, kecuali di sisi barat, berikut pagar besi yang membatasinya dengan sentelban, jadi pemandangan yang terpampang di hadapan saya. Nahasnya, ada cukup banyak area tribun yang sejatinya jadi tempat duduk, tapi ditumbuhi rumput liar.
Dari kejauhan tampak air yang memancar dari selang membasahi rumput lapangan yang sekarang terlihat makin terawat. Dalam beberapa siaran langsung pertandingan PSM di televisi, lapangan rumput Stadion Mattoanging tak lagi digenangi air, apalagi berkubang lumpur, walau hujan lebat mengguyur. Bagi saya, ini sebuah kemajuan yang berarti.
Akan tetapi, saat mata ini memandang ke arah papan skor, hati saya menggumam dan berkali-kali kalimat, “Mattoanging sudah tua, lapuk dimakan usia”, terus terngiang. Senja mengantar saya meninggalkan Mattoanging, tapi panorama yang saya dapati ketika itu membanjiri dada untuk datang kembali.
Akhirnya, saya memutuskan untuk berkunjung lagi ke sana di hari pertandingan. Tepatnya saat PSM menjamu Persiba Balikpapan (24/10/17) dalam lanjutan Liga 1 2017.
Memandang dari tribun timur, rona merah surya yang hendak tenggelam adalah pemandangan yang terlalu eksotis buat diabaikan. Apalagi nyanyian semangat dari belasan ribu penggemar Juku Eja semakin menggema hingga peluit panjang dibunyikan. Hari itu, PSM menang dengan skor akhir 3-1.
Di musim kompetisi 2017 yang lalu, PSM jadi salah satu kesebelasan yang konsisten nangkring di papan atas guna memperebutkan titel juara (meski akhirnya gagal jadi kampiun). Kemenangan itu sendiri bak memunculkan pesta rakyat di Stadion Mattoanging. Wajah suporter PSM begitu semringah dengan terus tertawa dan bergembira.
Butuh sekitar dua tahun, sampai akhirnya bisa hadir lagi di tribun Stadion Mattoanging. Jujur saja, saya jarang menonton pertandingan secara langsung di stadion dan memang bukan suporter PSM. Namun datang ke stadion adalah ritual suci yang amat menyenangkan. Menjejaki panggung sepakbola ibarat melakukan ziarah. Harus diniatkan lebih dahulu dan wajib menikmati seluruh momen yang tersaji dari awal hingga akhir dengan khidmat.
Pertengahan Agustus 2019 lalu, PSM disambangi Barito Putera. Cuaca terik di musim kemarau menyambut penonton di tribun timur. Kondisi tempat duduk penonton masih sama. Ketimbang diduduki, rasanya tetap lebih pas untuk dijadikan tempat berdiri.
Menoleh ke sebelah kiri atas, gumaman saya dua tahun silam terhapus. Mattoanging sudah bersolek. Menara tinggi di sudut stadion tak lagi kekurangan cahaya ketika hajatan sepak bola berlangsung malam hari. Kata berita, sudah ditambahi 40 buah lampu Light-Emitting Diodes (LED).
Satu yang pasti dan tak pernah berubah dari Stadion Mattoanging adalah atmosfernya yang menakjubkan di hari pertandingan. Melihat bola menggelinding di lapangan, masing-masing kesebelasan saling membobol gawang sampai gemuruh nyanyian penyemangat dari fans yang sesekali melakukan Mexican Wave adalah kenikmatan hakiki. Sebuah hal yang patut dirayakan manusia.
Gegap gempita di Stadion Mattoanging makin menjadi-jadi saat tim tuan rumah berhasil membobol gawang lawan. Para suporter larut dalam euforia kebahagiaan tak terperi.
Paruh waktu pertandingan adalah bagian lain dari pesta yang biasa dijumpai di Stadion Mattoanging. Kenapa begitu? Asap dapat muncul secara tiba-tiba di lokasi pedagang jajanan berderet, antara pagar pembatas dan tempat duduk penonton. Memancing keinginan fans untuk jajan usai membakar kalori selama 45 menit dengan berteriak, bernyanyi atau berjingkrak-jingkrak.
Jagung bakar, kue-kue basah, keripik pisang, beragam manisan, hingga nasi kuning memanggil para penonton untuk mencicipinya. Mengingatkan saya pada hajatan sepak bola antar kampung semasa kecil, dengan es lilin sebagai jajanan andalan. Hal ini tak mungkin kita jumpai di Stadion Gelora Bung Karno, Stadion Santiago Bernabeu atau Stadion Wembley. Sebuah kearifan lokal yang khas dari Indonesia.
Mereka yang merokok akan saling bertukar api dan obrolan tentang penampilan tuan rumah di sepanjang babak pertama. Kadang, analisis mereka terdengar lebih paten daripada ramuan pelatih atau ucapan dari para komentator televisi.
Semburat senja mengakhiri pertandingan dan pesta pun bubar dengan sunggingan senyum di bibir para penonton. Sayangnya, senja di Stadion Mattoanging tahun lalu cuma bisa dinikmati di ajang Liga 1 dan Piala Indonesia. Ketika mentas di Piala AFC, PSM terpaksa mengungsi ke Stadion Pakansari di Kabupaten Cibinong, Bogor.
Polemik tentang siapa pemilik sah dari stadion tua ini terus bergulir. Pemerintah Provinsi dan Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan jadi pihak yang berbenturan. Bertahun-tahun masalah ini menyeruak, tapi titik terang dari status kepemilikan itu masih abu-abu. Padahal, kejelasan dari hal tersebut bisa menjadi penentu rencana pembenahan masif Stadion Mattoanging.
Sebenarnya di kawasan Barombong, tengah didirikan stadion anyar. Namun hingga saat ini, belum ada sinyal jelas bahwa pembangunannya telah rampung. Bahkan pada tahun 2017 silam, salah satu bagian tribunnya sempat rubuh saat pembangunan masih sementara berlangsung.
Pada akhirnya, PSM tetap menggunakan Stadion Mattoanging sebagai rumah untuk bertanding seraya menjamu suporter setianya. Kendati demikian, membenahi Stadion Mattoanging adalah keharusan yang tak bisa ditawar jika Stadion Barombong tak kunjung selesai dibangun.
Desember 2019 kemarin, muncul kabar bahwa Stadion Mattoanging akan beroleh sentuhan renovasi pada tahun ini. Mulai dari penambahan kapasitas, pemasangan atap stadion, pembenahan di ruang ganti dan masih banyak lagi. Konon, biaya renovasi tersebut diambil dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Sulawesi Selatan tahun 2020 dengan nominal 200 milyar rupiah.
Panggung pesta rakyat semestinya disiapkan dengan layak, sebab sepakbola tak bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakat kota Makassar maupun warga Sulawesi Selatan. Sejarah pernah mencatat itu, dan tak boleh berhenti di situ.