Phnom Penh Crown, Sam Schweingruber dan Sisi Gelap Sepakbola Kamboja

Phnom Penh Crown, Sam Schweingruber dan Sisi Gelap Sepakbola Kamboja

“Some people think football is a matter of life and death. I don’t like that attitude. I can assure them it is much more serious than that.”

Itulah kalimat dari Bill Shankly yang membandingkan tentang sepakbola dan kehidupan. Napas dan tindakan, kata dan gerakan, adalah bagian terkecil dari sepakbola.

Mengerikan memang, namun itu semua seakan menjadi valid ketika membahas tentang salah satu lini masa sejarah panjang tim paling sukses di Kamboja, Phnom Penh Crown FC. Terlebih pelatihnya pada era 2012-2016, Sam Schweingruber, diberitahu oleh pihak klub jika ia kembali ke Kamboja, maka kemungkinan untuk hidup hanyalah 20 persen.

Kemunculan Phnom Penh Crown FC

Phnom Penh adalah kota yang riuh, baik masyarakatnya, budayanya hingga debu-debu pembangunan yang melayang-layang dengan ikhlas. Seperti kebanyakan ibu kota lain di dunia, kota ini menyimpan berbagai keramahannya, entah melalui sebuah simbol berupa senyuman maupun implementasi langsung seperti sepakbolanya.

Kamboja yang tengah menggencarkan pembangunan ini menyimpan berbagai noda hitam dalam sejarah perkembangan olahraganya, terutama sepakbola. Mulai dari pengaturan skor hingga tragedi Wilson Mene, di mana ia terus bermain dalam kondisi sakit hingga ajal menjemputnya di lapangan.

Seperti enggan berlarut, mereka mencoba untuk bangkit. Melalui berbagai hal, kebangkitan mereka ciptakan, salah satunya melalui tim sepakbola bernama Phnom Penh Crown FC (selanjutnya ditulis PPCFC).

PPCFC adalah tim sepakbola tersukses di C-League dengan enam gelar yang berhasil mereka raih dengan gemilang. Walau sukses, tim ini masih tergolong muda karena baru berdiri pada tahun 2001 silam dengan nama awal Samart United. Pada tahun 2005, mereka mengubah namanya menjadi Hello United berbarengan dengan perubahan sponsor dan internal lainnya.

Sempat dalam pelukan Hello dan mengubah logo, satu tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 2006 mereka berganti nama lagi jadi Phnom Penh United sebagai representasi dari kota Phnom Penh itu sendiri. Namun setahun berselang, ketika Casino Crown masuk sebagai sponsor, nama mereka berubah menjadi Phnom Penh Empire. Barulah pada 2009, PPCFC digunakan sebagai nama resmi klub.

Tim ini bermarkas di Stadion RSN, diambil dari singkatan nama pemilik klub yakni Rithy Sam Nang, yang dibangun pada 2015 silam dan berkapasitas 6 ribu penonton. Bagi klub di Kamboja, hal ini adalah sejarah karena mayoritas kesebelasan di sana masih menggunakan stadion kepunyaan pemerintah (selaras dengan kondisi di Indonesia).

BACA JUGA:  Menapaki Jalan Sukses Manchester United

Tim ini juga memiliki peran penting bagi perkembangan sepakbola Kamboja lantaran mereka mengembangkan banyak aspek, khususnya di sekitar kota Phnom Penh. Dimulai sedari membangun kegiatan akar rumput seperti liga sepakbola usia dini dan pengembangan sepakbola wanita.

Dilansir dari Four Four Two, mereka juga bergerak di bidang sosial. PPCFC menjalin hubungan kerja sama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat di ibu kota. Salah satunya adalah pelatihan sepakbola dan bekerja sama dengan Pelatihan SALT (Sports and Leadership Training).

PPCFC juga tim yang mengambil sikap tegas dan terang-terangan dalam memerangi pengaturan skor. Pendirian itulah yang menyebabkan pelatih maupun ofisial PPCFC sering mendapat ancaman.

Nyanyian Sunyi Sam Schweingruber

Schweingruber lahir di Swiss dan pada 2015 silam dinaturalisasi menjadi warga negara Kamboja dengan nama Sam Samnang. Di awal kariernya sebagai pesepakbola, ia sempat malang melintang di Liga Swiss divisi ketiga. Sampai akhirnya, ia merantau ke Kamboja, bermain untuk Mild Seven dengan gaji 30 dolar AS ditambah sebungkus rokok tiap pekannya.

Bisa dibilang, Schweingruber lebih menanjak kariernya ketika menjadi pelatih. Bermula ketika ia melatih tim nasional wanita Kamboja pada tahun 2009-2012, namanya jadi sakral dalam persepakbolaan negara yang dipimpin raja Norodom Sihamoni itu. Semenjak ia melatih PPCFC medio 2012 lalu, Schweingruber menjadi katarsis dalam pergolakan sepakbola Kamboja.

Salah satu rekor tim berjuluk Lion of the Capital ini adalah raihan gelar liga secara back to back pada musim 2010 dan 2011. Namun tangan dingin Schweingruber sanggup mengulang capaian itu di musim 2014 dan 2015.

Skandal Pengaturan Skor

Akan tetapi, kesuksesan di musim yang disebut terakhir memunculkan polemik tersendiri. Di C-League saat itu, penentuan juara dilaksanakan lewat sepasang laga final (kandang dan tandang). Lawan yang mesti dihadapi PPCFC saat itu adalah Nagaworld.

Di laga pertama, PPCFC menang via skor 2-0. Namun dugaan pengaturan skor menyeruak selepas kemenangan itu. Usai menjalani serangkaian penyelidikan, didapati ada 11 orang yang terlibat kasus tersebut yakni 4 orang pemain dan 7 orang ofisial tim. Ironisnya, kesebelas orang itu adalah pemain pilar dan ofisial tim yang sangat dipercayai Schweingruber.

Dalam tulisannya di Cambodia Daily yang berjudul PPCFC Expelled From Cup Over Match-Fixing, George Wright menyebut jika Bou Dary, selaku pelatih tim junior PPCFC sudah memengaruhi beberapa pemain tim utama agar main buruk dan Schweingruber lengser dari kursinya. Hal ini dibuktikan dari rekaman suara Dary yang dipublikasikan.

BACA JUGA:  Hamburger SV, Dinosaurus yang Tak Kunjung Punah di Sepak Bola Jerman

Akibatnya, PPCFC tampil pincang di leg kedua. Laga ini sendiri berakhir 3-1 untuk kemenangan Nagaworld. Namun agregat yang sama bikin wasit mengadakan adu penalti guna mencari pemenang. Mujur bagi PPCFC, mereka unggul 3-2 di fase tersebut dan berhak atas gelar juara.

Dua hari setelah kemenangan heroik tersebut, Schweingruber terlibat kecelakaan motor yang parah. Ia dibawa ke Thailand untuk proses pengobatan lalu ke Swiss guna rehabilitasi lanjutan. Tatkala pulih, Schweingruber dilarang keluarganya untuk kembali ke Kamboja.

Namun ia tak bergeming dan memutuskan untuk datang lagi ke Phnom Penh. Di sana, ia mengutarakan segala kegelisahannya sebagai pelaku sepakbola karena di Kamboja, skandal pengaturan skor begitu mudah dijumpai. Sebuah penyakit menahun yang tak kunjung lenyap karena perilaku federasi.

Schweingruber percaya bahwa kasus-kasus pengaturan bisa terjadi karena permainan orang-orang federasi. Menangkap para cecunguk yang turun ke lapangan bukanlah hal sulit, tapi memberantas mereka yang sok suci dan duduk nyaman di federasi inilah yang butuh kesungguhan. Ya, ada dalang di balik setiap pergerakan wayang.

Kasus yang dialami oleh kesebelasan yang pernah dibesut pelatih PSM sekarang, Bojan Hodak, itu termasuk ke dalam arranged matchfixing atau pengaturan skor yang menyebabkan suatu pihak beroleh hasil buruk meski sebenarnya punya kualitas untuk mendapat hasil lebih prima.

Pengaturan skor muncul di kancah sepakbola sebagai implementasi dari kegiatan judi. Bagi para pemainnya, kemenangan bisa diciptakan. Caranya? Melalui jasa para runner yang memiliki akses dengan sebuah klub, entah pelatih, pemain, ofisial atau bahkan manajemen. Mereka digoda sedemikian rupa, termasuk disogok uang, supaya hasil pertandingan yang mereka lakoni sesuai dengan keinginan para penjudi.

Bagai sebuah cermin yang berhadapan, cahaya yang dipantulkan akan selalu muncul dan tiada akhir. Begitulah jadinya ketika sebuah kompetisi busuk bertemu dengan federasi bobrok.

Sesungguhnya aneh melihat Schweingruber yang bukan penduduk asli Kamboja (meski sudah dinaturalisasi), tapi punya perhatian luar biasa untuk sepakbola Kamboja. Ia begitu ingin melihat sepakbola di Kamboja tumbuh dan berkembang secara sehat, tak dilingkupi beraneka skandal gelap yang mencoreng citra. Sebuah hal yang justru ditumbuhsuburkan oleh orang-orang Kamboja sendiri.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa