Nama Giampaolo Pozzo tentulah familiar bagi pencinta sepak bola, khususnya Liga Italia. Pebisnis jempolan ini tak lain adalah pemilik klub tertua kedua di negeri pizza, Udinese Calcio. Pozzo mengakuisisi Udinese pada Juli 1986 atau hampir tiga dasawarsa silam. Tak ada target khusus yang dicanangkan Pozzo kala itu selain membuat klub di wilayah timur laut Italia ini menjadi lebih baik.
Pozzo tahu betul bahwa membangun sebuah klub sekelas Udinese bukanlah perkara mudah. Kondisi finansial Udinese jelas tak bisa dibandingkan dengan nama-nama besar di Liga Italia macam AC Milan, Internazionale dan Juventus. Maka membenahi manajemen dan atmosfer di dalam klub merupakan langkah pertamanya. Di masa awal kepemimpinan sang patron, performa Udinese tak ubahnya yoyo karena gemar naik turun divisi.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pembenahan yang dilakukannya mulai membuahkan hasil. Ia sanggup membuat klub berjuluk Zebrette alias zebra kecil ini beberapa kali tampil mengejutkan. Momen yang mungkin paling sulit dilupakan adalah penampilan hebat mereka pada musim 1997/1998. Secara mengejutkan Udinese berhasil nangkring di posisi tiga klasemen akhir di bawah Juventus dan Internazionale, mengangkangi nama-nama tradisional seperti Milan, AS Roma, Lazio, Fiorentina dan Parma. Nama Alberto Zaccheroni dan Olivier Bierhoff menjadi pujaan publik Friuli pada saat itu. Sinergi keduanya sebagai pelatih-pemain sungguh berharga bagi kesuksesan I Bianconeri. Kecocokan dua pribadi ini sampai membuat Milan rela merogoh kocek dalam-dalam demi membajak keduanya ke San Siro. Dan semenjak saat itu, Udinese secara konsisten tampil di Eropa, baik di Liga Champions maupun Liga Europa.
Selain membaiknya prestasi Zebrette di lapangan, ada hal lain yang seolah menjadi trademark kesuksesan Pozzo. Apalagi kalau bukan metode perekrutan pemainnya yang luar biasa brilian. Beberapa tahun ke belakang, Udinese memang dikenal sebagai tim spesialis pencetak pemain-pemain bintang berharga mahal. Nama-nama seperti Alexis Sanchez, Medhi Benatia, Samir Handanovic, Gokhan Inler dan Sulley Muntari adalah contoh nyata kebijakan jenius Pozzo.
Di markas Udinese terpasang banyak televisi yang digunakan pihak manajemen, khususnya pencari bakat sebelum kemudian menyebar dan melihatnya langsung, untuk memantau bakat-bakat muda berpotensi emas yang bermain di liga-liga kecil di Eropa, Asia, Afrika maupun Amerika Selatan. Zebrette kemudian mencomot mereka dengan harga miring untuk kemudian dipoles staf kepelatihan. Hal ini pula yang membuat skuat Udinese begitu multibangsa setiap musimnya. Lewat metode nan apik tersebut, bakat-bakat tadi sukses disulap jadi bintang dengan harga selangit. Hasil penjualan lima pemain di atas bahkan menembus angka 70.5 juta euro. Bisa dibayangkan bukan surplus yang diraup Zebrette dari transaksi tersebut?
Tapi keinginan Pozzo untuk membuat klub dari kota kelahirannya menjadi tim yang lebih baik tak berhenti sampai di situ. Ia benar-benar mencurahkan pikiran dan hatinya bagi kesebelasan yang pernah diperkuat legenda sepak bola Brasil berjuluk Pele Putih, Zico. Kesungguhannya menjadikan Udinese sebagai tim yang bisa diperhitungkan di kompetisi Serie A dan memiliki kondisi keuangan yang sehat dibuktikannya lagi melalui sebuah proyek bernama Nuovo Friuli.
Proyek ini bermula pada 2012 lalu saat Pozzo membeli hak kepemilikan Stadion Friuli, markas Udinese sejak 1976, dari dewan kota Udine. Menurutnya, stadion berkapasitas 41.652 itu sudah uzur dan tak nyaman lagi untuk menggelar pertandingan sepak bola hampir setiap pekan sehingga memerlukan renovasi masif.
Memiliki stadion yang nyaman, ramah bagi kaum difabel dan anak-anak serta modern merupakan impian yang harus diwujudkan sesegera mungkin. Hanya berselang beberapa bulan pasca-mengakuisisi kepemilikan stadion, proyek renovasi stadion Friuli pun dimulai. Hal ini juga yang membuat Udinese mengungsi ke markas Triestina, Stadion Nereo Rocco, untuk melakoni sejumlah laga kandangnya pada musim 2012/2013 dan 2013/2014 lalu.
Beberapa pembenahan yang dilakukan antara lain adalah menghilangkan trek atletik yang selama ini membatasi lapangan dan tribun penonton. Lalu merubuhkan keempat tribun untuk kemudian dibangun ulang. Praktis cuma fondasi lengkung di tribun utama yang jadi ikon Friuli saja yang tetap dipertahankan. Stadion ini pun nantinya mirip sekali dengan stadion-stadion di Inggris maupun Juventus Arena, markas klub Serie A lain, Juventus. Demi memperlancar proses renovasi, dana tak kurang dari 40 juta euro digelontorkan pihak manajemen.
Dengan merekonstruksi Friuli menjadi stadion yang lebih baik, Pozzo mengungkapkan jika ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh klub.
“Tingkat okupansi penonton yang meningkat di stadion dan atmosfer dukungan yang berlipatganda tentunya akan membantu pemain untuk mendapatkan hasil-hasil yang lebih baik. Selain itu pemasukan klub akan bertambah dengan adanya stadion baru ini sehingga kami bisa mempertahankan pemain-pemain berkualitas di skuat dan klub ini bisa terus bersaing di Serie A”, kata Pozzo seperti dilansir football-italia.net.
Sejak musim lalu, Udinese sudah menggunakan kembali stadion kebanggannya ini untuk melangsungkan pertandingan kandang. Namun baru beberapa waktu belakangan ini bentuk asli stadion baru yang sempat digadang-gadang akan berganti nama menjadi Stadion Enzo Bearzot itu terlihat. Tribun di sisi timur, barat dan utara telah rampung dan dapat ditempati penonton. Sementara tribun selatan tinggal menyelesaikan proses pembangunan tier pertama serta memasang bangku dan atap. Dari foto-foto terbaru yang muncul di situs resmi Udinese, tingkat kerampungan stadion ini sudah mencapai 90%.
Apabila proyek ini selesai maka dapat dipastikan bahwa Udinese menjadi klub ketiga yang memiliki stadion sendiri setelah Juventus dan Sassuolo. Kapasitas stadion baru ini pada akhirnya nanti hanyalah 25.000 orang atau hampir setengah dari kapasitas lama. Akan tetapi Nuovo Friuli menjanjikan sesuatu yang bahkan tak bisa ditawarkan lagi oleh Friuli lawas. Dan yang pasti, Giampaolo Pozzo telah menorehkan prestasi barunya sebagai pemilik dari Zebrette yang bisa membuat iri dua presiden klub dari duo kota Milan, AC Milan dan Internazionale, yang hingga kini bahkan masih kasak-kusuk perihal markas mereka, Giuseppe Meazza.
Untuk foto-foto Nuovo Friuli bisa disaksikan di sini.