Dalam rentang dua bulan berturut-turut (September dan Oktober 2020), dua game sepakbola kenamaan, Pro Evolution Soccer (PES) dan FIFA seri terbaru dirilis oleh masing-masing pengembang game. Konami mengusung PES 2021, sementara Electronic Arts (EA) Sport mengandalkan FIFA 21.
Baik PES maupun FIFA, sudah menemani kita selama dua dekade lebih. Semua inovasi dari gameplay, grafik, lisensi klub dan lain sebagainya sudah banyak dilakukan guna memuaskan hasrat penggemar. Tak ayal, meski game berbasis mobile semacam Mobile Legends, Player Unknown’s Battleground (PUBG), sampai Free Fire terus naik daun di kalangan remaja, PES dan FIFA tak dapat ditinggalkan begitu saja.
Layaknya MotoGP ketika Marc Marquez, Jorge Lorenzo, dan Casey Stoner berhasil merengkuh gelar dunia, tetapi Valentino Rossi tetap dipandang sebagai legenda. Seperti itulah eksistensi PES dan FIFA di kalangan penggemar game di seluruh dunia. Keduanya takkan pernah lekang oleh usia.
Gara-gara itu pula, rivalitas sengit muncul di antara kedua game. Masing-masing pengembang seringkali meledek satu sama lain. Jon Murphy, mantan Kepala Tim Pengembang PES, pernah menyebut bahwa gameplay dari FIFA adalah jiplakan dari PES. Lontaran pedas Murphy mendapat reaksi kerasa dari para penggemar FIFA yang mengatakan bahwa kualitas grafik, FIFA lebih unggul dibanding PES.
Terbaru, keduanya bersaing terkait lisensi klub. EA Sports selaku pengembang FIFA berhasil mendapatkan lisensi resmi dari AC Milan dan Inter Milan. Tak mau kalah, Konami melakukan aksi balasan dengan menggamit lisensi resmi dari Juventus.
Setiap tahun, para pengamat game selalu membandingkan seri terbaru PES dan FIFA. Uniknya, kesimpulan dari komparasi tersebut selalu berujung imbang. PES memiliki beberapa kelebihan dibanding FIFA, begitu juga sebaliknya. Sayangnya, banyak pengamat game yang tidak pernah memperhatikan sisi luar game keduanya. Sebagai orang yang gemar bermain game, saya coba membandingkan keduanya dari sisi sosial.
FIFA merupakan produk dari EA Sports dan memiliki lisensi cukup ketat. EA Sports (didirikan 29 tahun silam) sendiri merupakan divisi usaha dari EA yang bermarkas di Amerika Serikat. Dari sisi sosial, FIFA merupakan game yang menjangkau kalangan elite karena eksklusivitasnya.
Lisensi ketat serta tidak adanya patch untuk memperbaharui FIFA membuat pemain dari game ini harus membeli seri terbaru FIFA saban tahun. Padahal kaset FIFA tergolong sulit didapat karena EA Sports biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama buat merilis seri teranyarnya. Secara tidak langsung, game ini kurang ramah buat mereka yang membuka usaha penyewaan game konsol.
Alhasil, seri FIFA di banyak tempat penyewaan kerap terlambat satu hingga tiga musim. Misalnya saat ini tahun 2020 rilis terbarunya adalah FIFA 21, kebanyakan penyewaan game konsol masih menyediakan FIFA 20 atau bahkan lebih lawas lagi. Malangnya, seri lawas tersebut tidak bisa diperbaharui sehingga para pemain game ini tak mendapatkan skuad dan seragam terbaru dari sebuah klub.
Ditambah lagi, fitur Liga dan Piala dalam game FIFA tidak fleksibel karena pemain harus berjumlah 4, 8, 16,dan 32 tim. Sudah mirip pelajaran matematika bilang berpangkat, ya? Berangkat dari kesusahan itu pula, FIFA kurang disukai oleh mereka yang gemar bermain game konsol di tempat penyewaan. Penggemar FIFA umumnya remaja yang memiliki game konsol di rumah.
Kekakuan FIFA itu coba dimanfaatkan PES yang diproduksi Konami. Perusahaan yang berbasis di Jepang dan berusia 51 tahun itu mengembangkan PES dengan format berbeda. Fleksibilitas menjadi hal yang diutamakan sehingga Konami berani meluncurkan patch untuk melakukan pembaharuan bagi semua seri PES keluaran mereka. Kalau Anda memiliki game PES 2013 dan ingin memperbaharuinya supaya sama dengan PES 2021, Anda bisa memanfaatkan patch tersebut walau dari segi gameplay dan grafik tetap berupa PES 2013. Minusnya, game ini lebih mudah dibajak.
Fitur Liga dan Piala dalam PES sendiri tergolong lebih fleksibel karena Anda tetap bisa memainkan fitur tersebut kendati hanya berjumlah 2, 3, 5, atau 6 tim. Lebih jauh, PES juga lebih cepat merilis seri terbarunya dan di Indonesia sendiri, lebih mudah didapatkan. Alhasil, game ini pun menjadi primadona di kalangan remaja yang gemar bermain game konsol di tempat penyewaan.
Bagi mahasiswa seperti saya, tak pernah ada istilah, “Ayo nge-FIFA”, saban bertemu teman-teman. Istilah paling umum adalah, “Ayo nge-PES”. Apalagi tak satu pun dari saya maupun teman-teman yang memiliki game konsol pribadi sehingga hobi kami bermain game selalu ditumpahkan di tempat penyewaan.
Walau masing-masing game memiliki keunggulan, tetapi merakyatnya PES membuat game satu ini sulit dikalahkan FIFA yang mengandalkan eksklusivitas. Semoga saja, Konami tak khilaf dan membuat game ini konsisten melaju di jalurnya sendiri.