Hari baru saya dimulai dengan sebuah kabar menyenangkan, Liverpool menang dengan skor tipis 1-0 atas tamunya, Ajax Amsterdam, pada matchday kelima Liga Champions di Grup D. Sebagai fans paruh waktu The Reds, tentu saja saya tidak menyaksikan laga tersebut. Pasalnya, melanjutkan tidur jauh lebih menggoda ketimbang bangun pagi-pagi buta.
Kemenangan selalu menyenangkan dan begitulah sebagian besar kesan saya menonton Liverpool dalam dua tahun terakhir, penuh kemenangan dan kesenangan. Beberapa tahun sejak Jurgen Klopp datang, rasanya klub ini punya aura berbeda.
Kekalahan memang masih datang, tetapi sesekali. Lebih jauh, Liverpool jadi kian meyakinkan. Begitu meyakinkannya sampai-sampai tak ada satupun tim lawan yang bikin saya pasrah dan mengharap keberuntungan pada saat The Reds berlaga. Tentu ini hanyalah perasaan saya sebagai penggemar awam yang jarang nonton bola. Lepas dari pengetahuan apapun soal kemampuan Jordan Henderson dan kawan-kawan atau tetek bengek teknis di lapangan hijau.
Akan tetapi, sulit untuk keluar dari perasaan ini kalau tim yang kamu dukung masuk final Liga Champions dua kali berturut-turut (dan memenangkan salah satunya), mengalahkan Barcelona empat gol tanpa balas, serta menjuarai Liga Primer Inggris dengan selisih 18 poin dari tim yang duduk di peringkat dua.
Sementara itu, kemenangan yang konsisten juga menghilangkan rasa deg-degan sebagai underdog. Datangkan kesebelasan manapun dan tim ini akan menang dengan berbagai cara. Tidak perlu khawatir. Rasanya saya jadi rindu kepasrahan dan harapan akan keajaiban ketika Liverpool diperlakukan sebagai tim gurem. Yang barusan akan terdengar seperti pernyataan fans tak tahu diri (sepertinya memang begitulah adanya) – tetapi itulah yang saya rasakan.
Kalau dipikir-pikir, kemenangan yang terjamin ini mungkin punya secuil kontribusi akan kemalasan saya menonton The Reds. Kontribusi besarnya tentu karena saya tidak punya akses menonton. Hanya saja, kali ini suasananya agak berbeda.
Pertama, saya punya akses menonton. Kedua, Liverpool sedang punya banyak masalah. Sulit untuk tidak merasakannya ketika dua pertandingan terakhir yang saya tonton berakhir dengan rasa frustrasi. Pada laga terakhirnya (16/12), Henderson dan kolega sukses membungkan Tottenham Hotspur dengan skor tipis 2-1.
Namun saya tak menyaksikan laga tersebut karena yang saya tonton adalah pertandingan dengan waktu tayang bersahabat, sebelum pukul 10 malam, masing-masing kontra Everton dan Brighton Hove & Albion. Keduanya berujung seri dengan gol-gol yang dianulir wasit.
Saya melompat dari kursi ketika Henderson mencetak gol di menit-menit akhir pada laga melawan The Toffees. Ia berselebrasi dan suporter Liverpool tampak gembira. Namun tak lama kemudian, wasit mengecek Video Assistance Referee (VAR) dan akhirnya membatalkan gol sang kapten.
Setelah kasus ini, saya belajar hal baru bahwa selebrasi yang ugal-ugalan bukan jaminan buat sahnya sebuah gol. Ya, menyaksikan sebagian besar laga sepakbola tanpa adanya proses anulir di sana-sini (laga antarkampung) memang bikin saya tidak terbiasa menyaksikan kejadian semacam itu. Rasanya menyebalkan dan bikin frustrasi. Apalagi kejadian itu menimpa tim kesayangan.
Di luar daripada itu, ada hal lain yang juga menarik dari Liverpool sepanjang musim ini. Entah karena apa, tetapi tim ini akrab sekali dengan kepincangan. Satu demi satu para penggawa Stadion Anfield merapat ke meja operasi lantaran cedera. Mulai dari Alisson, Trent Alexander-Arnold, Thiago Alcantara, Joe Gomez, Naby Keita, James Milner, sampai Alex Oxlade-Chamberlain.
Apa yang saya lihat dalam berbagai cuplikan laga semakin menambah kesan itu. Satu-satunya gol (pada laga melawan Ajax) berasal dari umpan Neco Williams di sisi kanan yang dituntaskan lewat sontekan Curtis Jones. Dan serangan-serangan De Godenzonen yang membahayakan sanggup dihalau oleh Caoimhin Kelleher. Hei, jujur saja, saya tak tahu bahwa The Reds memiliki tiga sosok itu di dalam skuadnya musim ini!
Akan tetapi, di situlah letak menyenangkannya mendukung Liverpool. Dengan skuad penuh tambalan pemain muda yang tidak pernah terlihat sebelumnya, tiap kemenangan jadi terasa lebih berharga. Mendengar nama-nama familiar satu per satu pulih dari cedera juga terasa seperti berkah. Alexander-Arnold, Alisson, dan Keita sudah bisa bermain.
Dalam kemenangan 4-0 kemarin melawan Wolverhampton Wanderers, Alexander-Arnold dan Keita sudah diturunkan oleh Klopp. Nama pertama bahkan mengukir asis via umpan silang yang jadi ciri khasnya itu. Sementara Alisson, kembali menjaga gawang pada laga versus Fulham yang berakhir imbang 1-1. Sayangnya, giliran striker asal Portugal, Diogo Jota, yang kudu menepi lantaran cedera.
Bagi saya, Liverpool melahirkan sensasi deg-degan baru yang sangat menyenangkan musim ini. Walaupun degup jantung yang laju itu saya rasakan kebanyakan jelang menonton cuplikan pertandingan pada pagi hari. Namun yang pasti, terlebih kalau kamu juga pendukung The Reds, mari kita nikmati semua sensasi ini sembari berharap para pemain yang cedera lekas pulih sehingga tim ini jadi tak terhentikan oleh lawan-lawannya.