Romantika selalu menyuguhkan kisah sedih maupun gembira. Tak terkecuali dalam sepakbola. Pasalnya dalam permainan 11 lawan 11 ini, bukan hanya sebuah laga yang dimainkan selama 90 menit, melainkan lebih dari itu. Ilham Zada selaku penulis, benar-benar menyampaikan dongeng sepakbola yang terjadi di luar lapangan dengan begitu emosional.
Dari cover sampulnya saja sudah mengisyaratkan bahwa buku ini akan dipenuhi dengan romantisme penulis terhadap sepakbola, terutama sepakbola Italia.
Dalam buku Romantika Sepakbola ini total ada 22 tulisan yang pernah Ilham Zada tulis di banyak media. Di mana kemudian dijahit ulang dalam bentuk buku yang berisikan jalinan kisah menarik tentang perjalanan penulis sebagai seorang jurnalis berpengalaman.
Jangan berharap bertemu dengan data, skor atau statistik njlimet dalam pertandingan di buku ini. Berharaplah bahwa ketika kamu membaca Romantika Sepakbola ini kamu seakan dibawa ke negeri dongeng tapi nyata milik Ilham Zada tentang pertemuannya dengan para pemain idolanya di masa kecil.
Tulisan favorit saya adalah bagaimana Ilham Zasa membedah cerita para pemain-pemain bahkan agen pemain yang berkarakter temperamen atau antagonis.. Yakni ada Mario Balotelli, Chiellini, Diego Costa dan Mino Raiola.
Dibalik perilaku mereka yang acap kali menimbulkan kontroversi publik, ternyata pemain-pemain ini punya sisi lain yang tidak diketahui banyak orang. Pasalnya, penikmat sepakbola hanya akan ingat aksi bengalnya, komentar pedasnya atau materialistisnya mereka. Sehingga menutup pintu lain bahwa mereka-mereka itu punya sisi menarik sebagai seorang manusia.
Dalam beberapa bagian, Ilham Zada mencoba menyajikan sosok tersebut sebagai sosok yang rendah hati, jujur, dan punya ketulusan yang tinggi. Perkara di dalam lapangan atau konferensi pers mereka sedikit “bengal” tentu itu adalah hal lain.
Sebagai seorang Milanisti setengah hati karena separuhnya lagi milik Manchester United, saya sangat sumringah membaca buku ini Pada tiga tulisan awal saja Ilham Zada sudah berbicara banyak tentang pengalamannya meliput Piala Eropa atau EURO. Bahkan di dua edisi Piala Eropa 2012 dan 2016, penulis berhasil bertemu idola masa kecilnya di Milan yakni Sheva, Desailly, hingga Rui Costa
Sebagai seorang jurnalis tentu ia tidak hanya menyapa atau berfoto, yang menjadi hal ini adalah ia benar-benar bisa mengobrol dan mewawancarai langsung idola-idolanya. Momen paling sentimentil adalah ketika penulis memberanikan dirinya mengungkapkan rasa cintanya secara langsung.
Tiga bab awal dalam buku ini memang penuh rasa haru. Cerita bagaimana penulis bertemu, merasa kikuk, sempat bingung mau ngomong apa atau menyesal tidak mengucapkan sesuatu dengan idolanya sudah menggambarkan betapa serunya momen saat itu.
Terima kasih Ilham Zada. Dengan dongeng-dongengmu ini saya bisa kembali memutar memori lama tentang sepakbola.