Sebelum memulai tulisan ini, pembaca sekalian perlu untuk paham bahwa penjelasan dan narasi panjang lebar tentang rivalitas Jose Mourinho dan Pep Guardiola adalah fakta lama yang sudah tidak lagi relevan untuk dibahas lagi secara mendalam.
Narasi yang diulang-ulang itu acapkali dimulai dengan trivia tentang persahabatan kedua pelatih sejak masa Bobby Robson di Catalan, tumbuh kembang bersama dalam diskusi kepelatihan, hingga persaingan keduanya di bursa pelatih Barcelona pada awal musim 2008.
Jose juga Pep, sudah jauh berkembang dalam rentang karier mereka masing-masing sejauh ini. Guardiola, yang meraih kejayaan besar berupa sextuple di Barcelona pada musim 2008/2009 itu, bukan lagi orang yang sama sekarang. Ia berevolusi dan lebih hebatnya lagi, menjadi sesuatu yang lebih hebat dan inovatif.
Dan jelas, yang semakin tampak berbeda adalah kuantitas rambut yang tak lagi menghias kepala licinnya. Mungkin habis karena memikirkan jenis taktik apa yang akan ia kembangkan tiap pekannya.
Di sisi lain, pria Setubal yang diam-diam mulai penulis kagumi itu, juga bermetamorfosis menjadi sesuatu yang jauh lebih luar biasa usai penolakan dari Barcelona dan musim brilian di Italia bersama Internazionale Milano.
Jose berkembang, tidak hanya secara taktikal, tapi juga pada kemampuannya menemukan gaya yang pas bagi timnya dalam meladeni lawan.
Ia sosok yang pandai membaca situasi pertandingan dan cepat beradaptasi dengan perubahan kecil yang muncul di lapangan. Jelas ia pragmatis, tapi Jose tahu, di sepak bola, menang adalah menang, kalah adalah kalah, berapa pun skornya, bagaimanapun caranya.
Tapi sebentar, dibanding membahas analisis pertandingan kemarin Sabtu malam (10/9) yang dimenangkan oleh Manchester City dengan angka tipis 1-2, saya justru lebih tertarik untuk mengubah paradigma pembaca dalam memandang narasi rivalitas kedua pelatih dari tanah Iberia tersebut.
Analogi bagi Jose dan Pep, yang paling pas menurut saya, bukan narasi tentang malaikat dan iblis yang pertama kali dinarasikan secara ciamik oleh Jonathan Wilson di sebuah kolomnya di laman Guardian.
Keduanya lahir dari darah daging yang sama, bernapas Catalan. Jose tentu paham luar dalam filosofi sepak bola Catalan dan pesona mendalam Johan Cruyff di dalamnya. Sebagai orang luar Catalan, Jose saja paham, apalagi Pep yang notabene berdarah murni Catalan, pemegang tiket terusan, kapten tim, sekaligus legenda di sana.
Itulah kenapa keduanya adalah dua sahabat seperguruan, bertemu di satu padepokan yang sama, berlatih dan berkembang bersama, sampai suatu saat, keduanya mengalami pertautan takdir yang memberi plot twist bagi karier manajerial keduanya.
Tidak ada rivalitas panas laiknya Jose dengan Arsene Wenger atau Rafael Benitez di sana. Ini hanya murni ajang persaingan ego antara dua sahabat yang dulu pernah dekat, menimba ilmu bersama dan berkembang menuju arah yang berbeda karena perbedaan kepentingan.
Walau tak bisa dipungkiri, bahwa, mungkin, Jose mengalami sebuah kekecewaan besar akibat kegagalan menukangi Barcelona.
Kekecewaan tersebut mendorong kepada perkembangan eks pelatih FC Porto ini secara kapabilitas taktik sebagai upaya pembuktian diri kepada publik sepak bola dunia bahwa menang tidak harus dengan cara cantik seperti yang dipertontonkan Pep di Barcelona.
Anda pasti pernah punya satu atau dua sahabat dekat, yang sedikit pun tidak akan pernah mau mengakui bahwa dirinya beberapa satu level di bawah Anda secara kualitas diri dan pemikiran.
Apalagi, pria, tanpa bermaksud misoginis, biasanya memiliki jiwa kompetitif yang sangat tinggi. Ditambah, Jose juga Pep, memiliki ego masing-masing yang juga sama tingginya.
Kesuksesan besar Guardiola di Barcelona adalah pintu gerbang utama menuju kepopuleran Jose Mourinho sebagai spesialis sepak bola pragmatis, atau akrab disapa netizen sebagai “parkir bus”. Ini bisa berarti dua hal.
Pertama, Jose memang memulai karier manajerialnya dari bawah. Butuh usaha keras bagi ia untuk ada di titik saat ini. Itulah kenapa ia begitu menggemari suatu diktum bahwa kerja keras adalah kunci di atas segalanya. Pragmatis atau atraktif adalah cara, karena yang utama, adalah hasil, bagi Jose.
Kedua, Jose tahu dan paham, ia tidak akan pernah berusaha tampil dengan filosofi sepak bola seperti Pep. Maka dari itu, ia menciptakan sendiri rumus dan filosofi sepak bolanya. Ia seorang yang cerdas dan adaptif.
Kemampuannya menganalisis jauh lebih baik dari yang bisa dilakukan Arsene Wenger di Arsenal. Itulah kenapa kemudian dalam satu dekade terakhir, Jose mengoleksi piala jauh lebih banyak dari kakek tua dari Prancis itu. Which one the specialist in failure then?
Berangkat dari narasi di atas, menjadi wajar kenapa pertemuan keduanya di derby Manchester kemarin malam adalah ajang unjuk gigi dua sahabat, dengan filosofi mereka masing-masing, di tanah sepak bola paling populer di dunia.
Rasional sekali melihat keputusan Jose Mourinho dalam mengambil pekerjaan di Real Madrid dan Manchester United.
Pertama, ia seorang ambisius yang hanya cocok di klub ambisius. Kedua, ia (mungkin) memang sangat ingin bertemu dan beradu taktik dengan kawannya, si botak jenius dari Catalan, dalam satu liga yang sama.
Akal sehat saja yang mungkin menghalanginya untuk tidak terbang ke Jerman guna menangani Borussia Dortmund kala Pep tengah membesut Bayern Munchen saat itu.
Keduanya adalah poros dari dua kutub sepak bola di dunia modern. Yang satu mendewakan penguasaan bola dan upaya mencari dan menemukan ruang kosong, yang satu lagi mendewakan kerapatan pertahanan, mempersetankan penguasaan bola dan seminim mungkin memberi ruang kosong bagi lawan.
Itulah kenapa bagi saya, dibanding menyebutkan pertarungan antara malaikat dan iblis, saya lebih suka menyebutkan duel keduanya sebagai pertarungan dan pertaruhan dua malaikat dengan rupa yang tak sama.
Tapi laiknya sepak bola dan kedekatannya dengan perjudian, jilid pertama pertemuan keduanya di derby Manchester berpihak sepenuhnya pada Pep Guardiola.
Pelatih maskulin dengan pakaian resmi yang selalu pas badan ini menunjukkan kepada Jose, bahwa egonya yang tinggi bisa ditekan kalau memang ia ingin menunjukkan pada sang kawan bahwa dengan cara apa pun, ia mampu menang darinya.
Ego keduanya yang sama kuat membuat apa yang kita tonton kemudian di atas lapangan adalah upaya terbaik dari 22 pemain sepak bola.
Mereka berlarian mengikuti instruksi dua manajer ulung di dunia saat ini untuk menjaga dan mencari ruang, membuat peluang, menjegal, menghantam, sampai mencetak gol dengan cara terbaik yang mereka mampu.
Keduanya menunjukkan bahwa sepak bola selalu indah bila dimainkan dengan cara dan upaya terbaik di atas lapangan. Pep yang inovatif, Jose yang adaptif, semua melebur menjadi satu dalam peragaan sepak bola terbaik akhir pekan lalu.
Dan untuk semua itu, bagi saya, semua adalah pemenang di derby Manchester kemarin. Bedanya hanya satu, kemenangan tipis Pep Guardiola semalam, seperti diktum favorit khas Jose Mourinho, mau berapa saja skornya, dan mau seperti apa caranya, a win is a win, a lose is a lose.