Stadion Lille Metropole menjadi saksi di mana klub peminjam arena tersebut, ES Wasquehal, harus mengakui keunggulan Paris Saint-Germain (PSG) di fase 64-besar Coupe de France alias Piala Prancis 2015/2016 pada 3 Januari lalu. Klub liliput dari Championnat de France Amateur 2 itu tersingkir oleh gol semata wayang striker jangkung PSG asal Swedia, Zlatan Ibrahimovic.
Impian melaju lebih jauh buat klub beralias Les Wasquehaliennes itu jadi sekadar impian. Di sisi lain, kemenangan dengan skor minimalis itu membuka peluang Les Parisiens, julukan PSG, untuk mempertahankan piala yang musim lalu mereka rengkuh pasca-menekuk AJ Auxerre di final. Tentu sulit diterima nalar bila tim bertabur bintang sekelas PSG mesti mengepak koper lebih cepat di Piala Prancis akibat keok dari tim divisi lima.
Setelah diakuisisi Qatar Sports Investment (QSI) pada tahun 2011 silam, PSG memang berevolusi dari tim pemburu tiket Eropa menjadi kandidat kuat juara. Uang berlimpah yang dibawa juragan minyak dari Qatar berimbas pada kondisi finansial klub yang begitu superior.
Dengan mudah mereka merekrut bintang-bintang sepak bola kelas dunia guna merumput di Parc Des Princes, markas Les Parisiens. Tercatat nama Ibrahimovic, Edinson Cavani, Ezequiel Lavezzi, David Luiz, Lucas Moura, Javier Pastore, Thiago Silva, Marco Verratti hingga yang teraktual, Angel Di Maria, berlabuh ke ibukota Prancis. Tujuan mendatangkan nama-nama dahsyat itu apalagi kalau bukan raihan trofi.
QSI sendiri punya target besar dengan akusisi masif yang mereka lakukan terhadap klub yang berdiri pada 12 Agustus 1970 ini. Mereka ingin membuat PSG jadi tim yang tangguh dan disegani sehingga mampu bersaing demi status terbaik di Prancis. Bila sudah mampu menguasai Prancis, PSG pun diharapkan bisa menjadi raja di benua biru dalam beberapa tahun mendatang. Terasa begitu ambisius? Tentu saja.
Jumlah uang yang diinvestasikan (baca: dihabiskan) dalam lima musim terakhir hanya untuk pembelian pemain saja sungguh besar. Situs transfermarkt.co.uk mencatat jika pengeluaran total PSG dalam rentang waktu tersebut menembus angka 391 juta poundsterling atau setara 8 triliun rupiah lebih.
Coba bayangkan dana sebesar itu bisa digunakan untuk memutar kompetisi Liga Indonesia sampai berapa kali? Akan tetapi hal tersebut dibayar lunas dengan keberhasilan demi keberhasilan yang digapai Les Parisiens.
Kesebelasan yang pernah dihuni nama-nama tenar semisal Luis Fernandez, George Weah, Pedro Pauleta dan Ronaldinho ini sukses menjajah tanah L’Hexagone, julukan Prancis. Bermodalkan sekumpulan pemain mentereng berharga mahal itu, PSG sanggup menggondol sembilan trofi hanya dalam rentang waktu yang sama.
Masing-masing berupa tiga gelar Ligue 1, sebiji Piala Prancis, dua Piala Liga dan tiga Piala Super Prancis. Lemari trofi klub yang lumayan lama kosong pun kini dipenuhi sederet silverware nan kinclong.
Fans PSG, baik yang sudah lama mendukung maupun dadakan tentu gembira melihat klubnya yang kini bertaji. Walau selalu menuai kecaman dari kelompok ultras Kop of Boulogne (KoB) yang rasis dan fasis, termasuk kepada pemain maupun direksi klub yang kental beraroma asing, serta cibiran suporter tim lawan namun hal itu tetaplah sebuah pencapaian eksepsional.
Terakhir, Les Parisiens sanggup mencomot semua gelar tertinggi yang tersedia di kancah domestik pada musim 2014/2015. Mereka membuat sejarah sebagai tim pertama yang meraup quadruple winner usai membawa pulang gelar juara liga, Piala Prancis, Piala Liga dan Piala Super Prancis ke ibukota. Rival mana yang tak kesal melihat tingkah PSG yang “kurang ajar” macam begitu?
Dominasi edan Les Parisiens kembali terulang pada musim 2015/2016 kali ini. Tanpa tedeng aling-aling Ibrahimovic dkk. menunjukkan dominasi yang kelewat batas dari tim-tim penghuni Ligue 1 yang lain.
Sejak memulai petualangannya musim anyar pada 7 Agustus silam, Les Parisiens tercatat tak pernah sekalipun menelan kekalahan dari lawan-lawannya di kompetisi liga. Anak buah Laurent Blanc punya statistik jempolan dengan mengemas enam belas kemenangan plus tiga hasil imbang dari sembilan belas pertandingan.
Hal tersebut diperkuat dengan jumlah gol PSG yang mencapai 48 butir dan hanya kebobolan sembilan kali. Mereka pun berhak mengantongi 51 angka sekaligus mengantarkan Les Parisiens duduk manis di puncak klasemen sementara serta unggul 19 poin dari tim yang membuntuti mereka di posisi kedua, AS Monaco.
Koleksi poin Monaco yang baru menyentuh 32 angka bahkan membuat mereka lebih dekat pada jurang degradasi ketimbang titel juara liga. Ya, Toulouse yang menempati peringkat ke-19 punya koleksi 17 poin. Itu artinya selisih angka di antara Toulouse dan Monaco “hanya” 15 poin.
Jarak antara PSG dan Monaco yang hampir setara tujuh kemenangan tersebut secara nyata telah menunjukkan bahwa tim ibukota ini seakan tak punya lawan lagi di Prancis. Mereka bak monster yang amat sulit ditundukkan.
Rival perebutan gelar juara liga macam Girondins de Bordeaux, Lyon, Monaco dan Olympique Marseille begitu mudah mereka kangkangi. Empat laga melawan kuartet itu di paruh pertama musim ini menghasilkan 10 angka dari maksimal 12 poin untuk Verratti cs. Satu tanda lain jika level PSG sudah terlalu ekstrem untuk didekati atau bahkan disaingi para rival.
Torehan Les Parisiens saat kompetisi baru setengah jalan menampakkan sinyal terang bahwa klub yang pernah satu kali menggenggam trofi Piala Winners ini adalah calon terkuat (baca: tunggal) juara Ligue 1 musim ini. Para pesaing butuh usaha ekstra keras plus segenap mukjizat untuk dapat mengejar PSG yang melaju kencang bak mobil balap Formula 1.
Meski secara matematis peluang klub-klub lain tetap terbuka karena masih ada 19 partai tersisa namun secara psikologis Les Parisiens telah membunuh asa pesaing-pesaingnya dalam memperebutkan trofi L’Hexagoal, piala juara Ligue 1.
Di kompetisi Coupe de la Ligue alias Piala Liga Prancis musim ini pun Les Parisiens sudah menjejak perempatfinal dan akan bersua dengan Bastia untuk memperebutkan satu tiket ke semifinal. Kans untuk merebut trofi keenam di ajang ini pun masih amat lebar bagi Ibrahimovic cs.
Legenda tim nasional Prancis yang terkenal dengan rambut ekor kudanya, Emmanuel Petit, secara gamblang bahkan pernah mempersoalkan tentang kualitas kompetisi sepak bola di Prancis, terutama Ligue 1, setelah PSG diakuisisi QSI.
“Dahulu Liga Prancis terkenal amat kompetitif karena hampir pada setiap musim muncul juara yang berbeda-beda. Tak seperti Inggris, Italia, Jerman atau Spanyol yang juaranya itu-itu saja. Namun kini, kita tak perlu lagi menduga-duga karena bahkan sebelum liga bergulir, kita telah mengetahui juaranya,” papar Petit seperti dikutip dari wawancaranya bersama Omnisport.
Ucapan skeptis Petit itu menggambarkan betapa Ligue 1 kini dianggap telah berubah menjadi kompetisi satu arah yang menjemukan. Kompetisi Liga Prancis diramalkan bisa lebih buruk ketimbang Scottish Premier League (SPL) alias Liga Premier Skotlandia yang mendapat julukan liga Mickey Mouse akibat dominasi tak tahu adat duo Glasgow, Celtic dan Rangers, yang sejak musim 1985/1986 bergantian menjadi kampiun.
Maka lazim bila pikiran para pecinta sepak bola di negeri anggur serta penjuru muka bumi akan terus bertanya mengenai satu hal yang sama. Siapakah yang bisa membendung kedigdayaan PSG di tanah Prancis?