Tepat pada 2 November 2017 merupakan perayaan usia 102 tahun PSM Makassar, banyak fakta sejarah mengatakan kalau PSM Makassar merupakan bond (perserikatan atau gabungan dari klub-klub) sepakbola tertua di Indonesia yang telah berganti nama beberapa kali, dimulai dari Celebes Voetbal Bond, Makassar Voetbal Bond, PSM Ujung Pandang, dan PSM Makassar.
Kiprah PSM Makassar dalam rentang persepakbolaan nasional yang panjang telah banyak mengisi lembaran sejarah sebelum PSSI berdiri hingga PSSI menjadi federasi sepakbola nasional di Indonesia secara resmi.
Kebijakan politik kolonial yang membangun diskriminasi yang sedemikian tajam di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Tidak hanya perbedaan dalam mendapat pelayanan publik dan kepastian hukum, kebijakan kolonial juga berkelindan hingga pemisahan dalam aktivitas sepakbola.
Hasil penelusuran Sindhunata yang pernah dipaparkan dalam buku yang ditulis oleh Sri Agustina Palupi yang berjudul Politik dan Sepak Bola Di Jawa 1920-1942 (2003:xxi), yang mengatakan bahwa pada tahun 1919 sebagai tahun terbentuknya NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) yang berganti nama menjadi NIVU pada tahun 1930, langsung memperoleh otoritas dari pemerintah kolonial untuk mengatur dan menaungi klub-klub sepakbola tertentu.
Sementara klub-klub yang diinisiasi oleh kaum Bumiputra dan Tionghoa mendapat perlakuan yang diskriminatif dan teranaktirikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara mandiri kelompok Tionghoa mendirikan perkumpulan yang menaungi kesebelasan Tionghoa, yang pada tahun 1927 mendirikan Commite Kampionwedstrijden Tiong Hoa (CKTH) dan berganti nama pada tahun 1930 menjadi Hwa Nan Voetbal Bond.
Perlawanan terhadap diskriminasi kolonial yang memuncak pada 28 Oktober 1928 juga terjadi di dunia sepakbola Bumiputra, para pemain sepakbola yang berasal dari Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Java, dan sebagainya juga ikut melakukan protes dan perlawanan.
Respon yang luar biasa besar dari kelompok Tionghoa terhadap olahraga sepakbola di masa kolonial bisa dilihat dari tumbuhnya klub-klub yang memiliki stok pemain yang cukup.
Sindhunata dalam penelusurannya (2003:xxv) mengatakan bahwa klub Tionghoa tersebar di daratan pulau Jawa seperti di Semarang dengan adanya klub Ik You Sia dan Union, di Tulung Agung terdapat klub Tjoe Tie Hwa, di Solo berdiri klub Solosche Voetbal Club, dan di Surabaya ada klub Tionghwa.
RN Bayu Aji pada tahun 2010 bahkan menerbitkan sebuah buku dengan judul Tionghoa Surabaya Dalam Sepak Bola. Hadirnya buku ini banyak memotret bagaimana peran Tionghoa di Kota Surabaya dalam persepakbolaan nasional yang diawali dengan segala bentuk diskriminasi rasial sebagai buah dari kebijakan politik kolonial.
Fakta yang sangat penting disampaikan oleh Srie Agustina Palupi (2003:57) tentang pertumbuhan klub-klub sepakbola yang pesat di kelompok Tionghoa telah mendorong sebuah agenda kongres yang akan membentuk bond. Dikatakan bahwa:
Perkumpulan-perkumpulan sepak bola Tionghoa mempunyai banyak sekali anggota yang menyebabkan setiap klub mampu memiliki lebih dari satu kesebelasan, tetapi hanya sedikit klub yang mampu menjadi anggota bond, itupun paling dengan satu atau dua kesebelasan. Kesebelasan yang lain hanya memiliki pemain yang kemampuannya terbatas sekadar menendang bola. Kerja mereka yang terpenting adalah memasukkan bola ke gawang, tetapi taktik dan mutu permainan yang baik sama sekali tak mereka kuasai dan hal tersebut menyebabkan perkumpulan hidup hanya dengan nama, kesebelasan sepak bola hanya tinggal sejarah. Tak sedikit perkumpulan sepak bola Tionghoa yang hidup seperti itu.
Melihat kondisi persepakbolaan yang demikian itu, perlu segera dibentuk bond yang akan mampu meningkatkan pengetahuan para anggotanya. Bond diharapkan bisa mengadakan pertandingan kompetisi untuk semua kesebelasan, dan klub yang bisa menjadi juara dapat masuk dalam bond Eropa dalam kelas yang paling rendah […].
Penjelasan di atas bisa dilihat bagaimana peran sebuah perserikatan atau bond dan di tingkat lebih tinggi yaitu federasi sebagai induk organisasi sangat penting dalam hal menjalankan kompetisi dan mengeluarkan regulasi yang mengatur tata kelola klub dan aturan main semua jenjang kompetisi.
Menjadi menarik bagaimana peran klub dan pesepakbola Tionghoa di Makassar yang secara geografis jauh dari pergolakan politik kolonial di pulau Jawa. Yang di beberapa penelusuran kepustakaan banyak memberikan gambaran tentang kiprah pesepakbola Tionghoa di persepakbolaan Makassar.
PSM Makassar sebagai satu-satunya klub yang memiliki identitas dan pengaruh sangat besar di Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur secara umum menjadi sebuah klub impian bagi para pesepakbola yang memiliki bakat, fisik, dan teknik sepakbola yang mumpuni.
Termasuk di kalangan Tionghoa yang bisa ditampilkan dalam sebelas pemain pilihan yang dianggap memiliki kualifikasi untuk mengisi skuat PSM Makassar sebagai berikut:
Penjaga gawang. Harry Tjong. Salah satu pertandingan monumental Harry Tjong bersama PSM Makassar saat menjamu kesebelasan asal Bulgaria pada tahun 1957, yang meskipun kalah 1-3, saat babak pertama Harry Tjong mampu mengawal gawang PSM dari kebobolan dan unggul 1-0 melalui gol Ramang.
Pada babak kedua dalam pertandingan ini tangan Harry Tjong nyaris patah akibat ditabrak oleh pemain Bulgaria. Dahlan Abubakar (2011:177) menuliskan bahwa selama mengawal gawang PSM, Harry Tjong memiliki teriakan yang khas kepada sepuluh pemain yang bermain bersamanya, “Oeee…Jagai siri’nu!!!”, bisa diartikan “Teman-teman, bermain spartanlah, jaga harga diri klub kita”.
Bisa dibilang falsafah hidup siri’ na pacce yang sering diteriakkan oleh Harry Tjong ini menubuh ke setiap diri pemain PSM Makassar, tanpa mengenal konsep rasial.
Bek kiri. Keng Wie tumbuh sebagai pemain sepakbola dikarenakan bertempat tinggal tidak jauh dari pusat aktivitas sepakbola saat itu, yaitu lapangan Karebosi. Bergabung dengan PSM Makassar sejak di kelompok usia remaja dengan posisi bek kiri.
Keng Wie menjadi salah satu skuat emas PSM Makassar bersama Ramang, Noorsalam, dan Suwardi Arland yang merupakan trio paling menakutkan dalam sejarah sepakbola nasional.
Bermain bersama PSM Makassar selama 13 tahun membuat Keng Wie telah menorehkan banyak prestasi untuk PSM Makassar, di antaranya juara perserikatan tahun 1965, 1966, dan juara Jusuf Cup I tahun 1965. Kebijakan politik nasional membuat Keng Wie berganti nama menjadi Budi Wijaya sampai saat ini.
Bek kanan. Piet Tio atau Rahmat Jaya. Terlahir dari seorang ayah yang juga pesepakbola yang pernah membela Makassarch Voetbal Bond di era 1920-an. Dari kesaksian dan penelusuran dokumen pribadi milik Piet Tio, ayahnya Tio Eng Kaen yang tergabung di klub SV Exelsior tercatat pernah menjuarai Piala Puasa Beker, sebuah turnamen yang rutin dilaksanakan hingga saat ini di Kota Makassar, saat ini lebih dikenal dengan Liga Ramadhan, pemain yang menjadi seangkatan Tio Eng Kaen seperti HT Toeng, Oei Liong Keng, Go Giang Ek, dan lain-lain (Dahlan Abubakar, 2011). Pada tahun 1965, Piet Tio berhasil membawa PSM menjadi juara Jusuf Cup bersama Ramang, Keng Wie dan delapan pemain lainnya.
Bek tengah. Yosep Wijaya dan John Simon. Yosep Wijaya merupakan salah satu generasi emas milik PSM Makassar di era kepelatihan Gaffar Hamzah, meskipun saat itu PSM Makassar menjadi juara tanpa mahkota.
John Simon terkenal sebagai bek tengah yang tangguh mengantisipasi setiap serangan lawan. Selain menjadi pilihan regular pelatih PSM, John Simon juga menjadi langganan timnas.
Sewaktu arah politik Indonesia miring ke kiri, Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade Kiri bertajuk Ganefo (Games of The New Emerging Force). Seperti laporan arsip Muhidin M. Dahlan (2016:71) perihal penyelenggaraan Ganefo, Indonesia juga berpartisipasi di cabang olahraga sepakbola.
Beberapa pemain Tionghoa yang membela timnas selama Ganefo berlangsung yaitu Liem Soei Liang dan John Simon. Di akhir karir John Simon menerima tawaran dari perwira tinggi ABRI untuk diangkat menjadi anggota Polri. Sedangkan rekan lainnya M. Basri lebih memilih menjadi warga sipil dan terus berkarir di persepakbolaan nasional.
Gelandang Bertahan (Kapten Kesebelasan). Tan Seng Tjan. Pemain ini merupakan kapten kesebelasan MVB di masa kolonial.
Gelandang. Frans Jo. Pemain dengan posisi gelandang yang menjadi salah satu anggota skuat yang membawa PSM Makassar merebut Piala Perserikatan PSSI pada tahun 1959 dan Jusuf Cup I tahun 1965.
Gelandang. Tony Ho. Mantan pemain PSM era perserikatan ini salah satu pemain berbakat yang cukup lama membela PSM Makassar. Setelah menghabiskan karir sebagai pesepakbola, Tony Ho melakukan petualangan selanjutnya sebagai asisten pelatih dan pelatih sepakbola. Selain PSM Makassar tercatat beberapa klub yang pernah diasuh oleh Tony Ho seperti Persela Lamongan, Surabaya United, Pusamania Borneo, dan Persipura Jayapura.
Gelandang. Erwin Wijaya. Pemain yang pernah membela PSM di era perserikatan dan beberapa kali mengikuti seleksi PSM di era ligina awal juga layak mengisi posisi lapangan tengah PSM Makassar dalam formasi Tionghoa.
Penyerang. Febrianto Wijaya dan Irvin Museng. Febrianto Wijaya memulai karir sepakbola di kota Makassar. Sempat membela skuat PSM Makassar hingga di tim senior, Febrianto Wijaya juga pernah membela beberapa klub papan tengah di era ISL/IPL seperti Persela Lamongan, Medan Chiefs.
Karirnya terbilang sangat singkat untuk ukuran pesepakbola. Febrianto Wijaya saat ini menjadi anggota legislatif dari Partai Demokrat di Sulawesi Barat. Pergaulannya yang tidak pernah lepas dengan dunia sepakbola membuat Febrianto juga aktif menjaring generasi pelanjut Ardan Aras, Irsyad Aras, dan Maldini Pali di area Sulawesi Barat.
Irvin Museng adalah bintang sepakbola milik MFS 2000 (Makassar Football School) yang sangat menonjol saat membawa MFS mewakili Indonesia di turnamen Liga Danone di Prancis. Irvin Museng bersama Rasyid Bakri menciptakan banyak gol sepanjang turnamen Liga Danone. Irvin Museng juga pernah tercatat sebagai top skor Piala Dunia U-12 pada tahun 2005. Saat ini Irvin Museng tidak lagi aktif sebagai pesepakbola profesional dan memilih menjadi pebisnis.
Pelatih. Untuk pelatih di starting XI antar-generasi ini sangat layak diberikan kepada A.E Mangindaan yang juga sangat berjasa membangun persepakbolaan di Sulawesi Selatan hingga tingkat nasional.
PSM Makassar sebagai klub yang memiliki sejarah panjang hingga saat ini masih menjadi klub tujuan bagi banyak pemain yang berasal dari lintas etnis hingga lintas ras atau bangsa.
Selama membela PSM Makassar, warga Makassar dan para suporter fanatiknya mengikat keberagaman para pemain dengan satu filosofi dan prinsip perjuangan dalam membela harga diri klub seperti siri’ na pace dan Teaki’ Kajinna Ramang, Bombangna Ri Lau yang berarti “Jangan Pernah Mau Berada Di Bawah Kekuatan Lawan”.
Panjang umur PSM Makassar di usia 102 tahun.
Ewako!