Rasa kecewa tentu sedang menghantui skuad Manchester United besutan Ole Gunnar Solskjaer karena gagal lolos ke fase gugur Liga Champions. Kekalahan dari RasenBallsport (RB) Leipzig pada laga pamungkas penyisihan Grup H (9/12) menjadi penyebabnya. Alhasil, mereka kudu menerima nasib terdemosi ke ajang Liga Europa.
Seakan belum beranjak dari tren negatif, United juga gagal menang saat bersua Manchester City dalam partai Derbi Manchester akhir pekan kemarin (13/12). Kedudukan kacamata menghiasi papan skor Stadion Old Trafford dan bikin usaha The Red Devils memperbaiki posisi di klasemen sementara Liga Primer Inggris tersendat.
Hasil imbang itu sendiri kian memperburuk rekor main Nemanja Matic dan kawan-kawan di kandang. Dari enam pertandingan, United mencatat sekali menang, dua kali imbang, dan tiga kali kalah. Artinya, mereka cuma memetik lima poin saja dari 18 angka maksimal yang dapat diraih. Keadaan ini melahirkan olok-olok bahwa Theatre of Dreams tak lagi angker.
Tidak stabilnya hasil yang diperoleh anak asuhnya memantik rasa uring-uringan fans. Ole dianggap sebagai figur yang miskin taktik lantaran terus-terusan menggeber skema permainan yang sama dan pemain yang itu-itu saja. Ada kejenuhan yang terlihat oleh mata para pendukung setia.
Berdasarkan statistik yang dihimpun dari WhoScored (di seluruh ajang), Harry Maguire adalah pemain dengan jumlah menit terbanyak (1.440 menit), ia diikuti oleh Aaron Wan-Bissaka (1.373 menit) dan Marcus Rashford (1.350 menit). Sementara pola permainan yang sering digunakan Ole adalah 4-2-3-1.
Terkait sumber daya pemain, apa yang diperbuat Ole seperti menyia-nyiakan banyak uang. Donny van de Beek yang dicomot dengan banderol mahal, lebih banyak menghuni bangku cadangan. Ia kalah dari nama-nama seperti Fred, Bruno Fernandes, Scott McTominay, dan Paul Pogba. Bahkan Juan Mata yang bisa menghadirkan kreativitas di sektor tengah juga kian terpinggirkan.
Pada posisi kiper juga Ole seringkali bermain aman dengan terus memainkan David de Gea dibandingkan Dean Henderson. Padahal di sejumlah pertandingan, de Gea memperlihatkan penampilan yang medioker. Sistem rotasi yang sempat dijanjikannya dengan memainkan de Gea di Liga Primer Inggris dan Henderson pada laga-laga Liga Champions tak terbukti. Saat bertemu Paris Saint-Germain dan Leipzig di sepasang matchday pamungkas, Ole tetap saja memilih de Gea sebagai penjaga gawang.
Di lini belakang, presensi Alex Telles seolah belum menunjukkan hasil sejak direkrut dari FC Porto karena Ole lebih gemar memainkan Luke Shaw di pos bek kiri. Pun dengan Victor Lindelof dan Maguire yang jarang sekali dirotasi kendati United punya Eric Bailly dan Axel Tuanzebe sebagai pelapis. Jika berani merotasi, andai Lindelof dan Maguire sedang tidak dalam performa terbaik, Ole sudah memiliki pengganti sepadan yang tak kaku saat diturunkan kembali.
Anthony Martial yang kurang produktif seharusnya juga menjadi perhatian tersendiri. Mengapa terus mengandalkan Martial walau ada Edinson Cavani atau Odion Ighalo yang tersedia sebagai alternatif juru gedor? Dengan begitu, ketergantungan terhadap Rashford sebagai pendulang gol bisa dikikis. Toh, ini demi kebaikan United sendiri.
Pada akhirnya, Ole tidak perlu takut mengambil risiko memainkan pemain yang jarang mendapatkan menit bermain sebab United punya jadwal yang sangat padat. Improvisasi perlu dilakukannya sebagai bentuk penyegaran sekaligus cara mengecoh lawan sehingga permainan The Red Devils tak mudah ditebak.
Menjadi sebuah masalah yang amat pelik jika ia tak berani melakukan rotasi dan penggawa andalannya telanjur mengalami cedera. Ole bakal membutuhkan waktu tambahan untuk melakukan penyesuaian strategi maupun taktik karena adanya pemain ‘baru’ di starting eleven.