Dalam kurun satu tahun terakhir, kita kerap mendengar berita-berita bombastis dari persepakbolaan Cina. Khususnya tentang kemampuan klub-klub Negeri Tirai Bambu dalam menggelontorkan dana masif guna memboyong penggawa berkelas agar merumput di Chinese Super League (CSL), kompetisi tertinggi dalam piramida sepak bola Cina.
Salah satu klub yang jor-joran mencomot pemain adalah Jiangsu Suning, tim yang kini ditukangi Choi Yong-Soo. Pasca diakuisisi Suning Group pada Desember 2015, Jiangsu bermetamorfosis menjadi salah satu kesebelasan yang punya sokongan dana kuat.
Suning Group yang dikomandoi Zhang Jindong memang salah satu perusahaan retail non-pemerintah terbesar di Cina yang punya pendapatan sekitar 20 miliar dolar AS per tahun.
Perkara ini yang kemudian membuat Jiangsu sanggup menggegerkan kancah persepakbolaan dunia lewat pembelian pemain-pemain anyar dengan harga setinggi langit dari benua Eropa.
Ramires dari Chelsea ditebus lewat cek senilai 25 juta poundsterling. Sementara kompatriotnya sesama Brasil, Alex Teixeira, direkrut dari Shakhtar Donetsk dengan mahar 37 juta poundsterling. Nominal yang fantastis, bukan?
Duo Brasil tersebut, plus talenta lokal seperti Gu Chao, Liu Jianye, sang kapten Wu Xi, dan striker gres asal Kolombia, Roger Martinez, sejauh ini mampu membawa Jiangsu duduk di posisi kedua klasemen sementara CSL sampai pekan ke-20.
Jiangsu tertinggal tujuh angka dari pemuncak klasemen sekaligus penguasa CSL dalam lima tahun terakhir, Guangzhou Evergrande Taobao, yang masih punya tabungan satu laga.
Memiliki Jiangsu rupanya belum cukup bagi Suning Group. Nilai komersil yang menjanjikan dari dunia sepak bola membuat mereka tergiur untuk melakukan ekspansi. Upaya Suning Group melebarkan sayap dalam bisnis sepak bola akhirnya tercapai usai melabuhkan jangkar di kota Milan.
Dari tangan pebisnis Indonesia, Erick Thohir, mereka mengakuisisi 68,55% saham Internazionale Milano dengan nilai tak kurang dari 270 juta euro. Fans I Nerazzurri pun menyambut hangat proses ini sembari berharap bahwa Suning Group dapat mengembalikan Inter ke level yang lebih baik setelah dalam beberapa musim terakhir tampak mirip seperti klub semenjana.
Suka tidak suka, Interisti harus mengakui jika kedatangan Suning Group menaikkan ekspektasi mereka. Hal ini dipicu latar belakang Suning Group sebagai perusahaan retail raksasa yang memiliki pendapatan masif. Belum lagi dengan cara mereka mengangkut pemain-pemain ke Jiangsu dengan banderol bombastis.
Interisti jelas tergiur sembari menyemai banyak harapan bahwa Inter bakal aktif di bursa transfer demi memboyong figur-figur yang dapat mempersolid tim. Terlebih, Zhang Jindong pernah menebar janji manisnya sesaat setelah meresmikan proses pengambilalihan saham mayoritas Inter seperti dikutip dari espnfc.com.
“Proses akuisisi Inter merupakan bagian dari strategi Suning Group untuk menjadi yang terdepan di bidang bisnis olahraga dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Kami akan membuat Inter semakin dikenal luas dan lebih tangguh. Bersama Suning Group, Inter memiliki masa depan yang lebih cerah. Inter akan jadi tempat di mana para bintang ingin merumput dan para bibit muda melesat.”
Masuknya Cristian Ansaldi, Ever Banega, Gianluca Caprari (kembali dipinjamkan ke Pescara), dan Caner Erkin sempat membuat Interisti sumringah. Apalagi, nama-nama berkualitas tersebut diperoleh dengan harga yang cukup terjangkau.
Asa bahwa Inter akan makin menggeliat pun menyeruak. Tak ketinggalan, manajemen Inter ikut gembar-gembor bakal mengusahakan pembelian pemain baru. Mulai dari Domenico Berardi, Federico Bernardeschi, Antonio Candreva, Gabriel Jesus, sampai Joao Mario.
Akan tetapi, kepastian soal perekrutan nama-nama tersebut malah jauh panggang dari api karena proses nego yang alot atau justru karena ada klub lain yang menikung upaya Inter. Kegusaran pun mulai meraung-raung di dada Interisti.
Hal ini diperparah oleh ulah Wanda Icardi yang meminta kenaikan gaji untuk klien, sekaligus suaminya, Mauro Icardi, meski yang bersangkutan baru saja menandatangani kontrak anyar semusim yang lalu.
Rumor pun langsung berhembus dengan Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Napoli muncul sebagai tim-tim yang meminati Icardi meski pihak manajemen berulangkali menyebut bahwa Icardi tidak masuk daftar jual.
Bila dicermati lebih dalam, sejatinya ini merupakan efek domino kedatangan Suning Group yang disebut membawa “pohon uang”.
Satu masalah belum sepenuhnya usai, Inter ketiban masalah lain dengan ngambeknya sang peramu strategi, Roberto Mancini. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah macetnya Inter di bursa transfer sehingga pemain-pemain yang diinginkan serta disanggupi manajemen untuk diboyong tak kunjung terbeli.
Kabar makin retaknya hubungan antara Mancini dan manajemen pun santer terdengar.
Well, bicara Suning Group dan Inter pasca proses akuisisi yang lalu, Anda sepatutnya tidak melupakan klausul perjanjian bahwa selain menyetor dana 270 juta euro untuk saham sebesar 68,55%, Suning Group juga “diwajibkan” melunasi hutang-hutang Inter. Sayangnya, kita tak tahu berapa nominalnya.
Namun satu yang pasti dan Interisti wajib memahami bahwa, Inter merupakan salah satu kesebelasan dengan kondisi keuangan paling buruk di Serie A.
Tahukah Anda, selama 2006-2011 Inter mengalami kerugian hampir 700 juta euro? Jumlah yang lebih dari cukup untuk membangun lima stadion berkapasitas kurang lebih 45.000 kursi berstandar internasional!
Kondisi keuangan Inter selama tiga musim terakhir sebelum dicaplok Suning Group pun masih ada di garis merah. Tercatat, Inter merugi sebesar 45,3 juta euro pada musim 2015/2016, 73,6 juta euro di 2014/2015, dan 85,5 juta euro di 2013/2014.
Memang ada tren positif dengan penurunan kerugian, namun jumlah tersebut tetap gendut. Wajar bila kemudian Inter selalu terbentur aturan Financial Fair Play (FFP) yang ditetapkan UEFA sejak 2011.
Aturan ini sendiri dibuat untuk mengendalikan klub-klub sepak bola menghabiskan pundi-pundinya disaat pemasukan yang mereka dapat nilainya tak sepadan. Maka dari itu, ada baiknya bila Interisti yang budiman sejenak menurunkan ekspektasinya tentang Suning Group meski saya tak meminta Anda untuk berhenti berharap.
Namun agak lucu juga bila fans mencak-mencak ingin Inter beli ini dan itu sementara manajemen pusing tujuh keliling mengantisipasi kerugian dan melunasi hutang agar bisa benar-benar lepas dari jerat FFP.
Ingat, pengelolaan finansial klub-klub Eropa saat ini benar-benar dalam pengawasan yang ketat dari UEFA guna mencegah adanya klub sepak bola yang kolaps.
Hal ini juga merupakan langkah pencegahan UEFA agar tidak ada lagi klub-klub yang secara total “menetek” pada Sugar Daddy mereka. Walau pada kenyataannya, ada saja jurus yang digunakan para Sugar Daddy guna mengakali FFP.
Belajar dari Juventus juga tak ada salahnya karena klub yang satu ini memang benar-benar sukses menjelma jadi klub dengan keuangan yang sehat.
Tak cuma karena orang-orang cerdas yang duduk di sektor manajemen dan kepemilikan stadion sendiri, tapi juga nilai komersial yang naik berkat serentetan prestasi sehingga brand image mereka kini ada di level yang lebih baik. Sponsor pun tak ragu mengeluarkan dana ekstra sebagai ajang “menjual diri” dengan mendompleng nama Juventus.
Maka tak perlu heran melihat La Vecchia Signora merogoh kocek senilai 94 juta euro hanya untuk Gonzalo Higuain. Terlepas apakah Paul Pogba bakal dilepas atau tidak, sebab ini bukan hanya upaya menggembosi rival secara langsung.
Tapi juga pesan dari manajemen Juve kepada seluruh pesaing di Serie A bahkan Eropa, bahwa mereka bisa membeli siapa saja berkat kondisi finansial yang sehat. Bukankah sudah jadi hukum rimba sepak bola bahwa yang kaya bisa berbuat apa saja?
Gimana Interisti, sanggup?