Prancis, bulan Juni tahun 1944.
Sersan Michael Horvath atau yang akrab disapa Mike menjadi salah satu tentara Amerika Serikat yang ditunjuk masuk ke dalam pasukan penyelamat. Regu yang terdiri dari delapan orang ini memiliki tugas untuk menyelamatkan seorang tentara bernama Ryan yang tengah berdinas di Negeri Menara Eiffel. Misi penyelamatan itu didasari karena tiga saudara kandung Ryan tewas dalam Perang Dunia II. Menurut kebijakan pemerintah AS kala itu, prajurit yang seluruh saudaranya terbunuh di medan perang wajib dipulangkan.
Di saat yang bersamaan, tentara Jerman sudah bertebaran di setiap jengkal tanah Prancis. Delapan orang berbekal amunisi seadanya yang mencari prajurit di tengah kepungan mesin tempur Jerman laksana misi bunuh diri. Namun situasi itu tidak diartikan secara negatif oleh Mike. Menurutnya, masuk ke regu penyelamat Ryan merupakan tugas suci nan mulia. Kuncinya hanya satu, patuh terhadap perintah sang kapten, John Miller.
Dalam film Saving Private Ryan yang disutradarai Steven Spielberg itu, Mike berjuang hingga titik darah penghabisan guna menyalamatkan Ryan. Dari delapan orang anggota, enam di antaranya tewas saat menjalankan misi, termasuk Mike dan John. Sosok Mike yang selalu siap berjuang dan patuh terhadap arahan sang kapten dalam film tersebut mengingatkan saya kepada gelandang Liverpool dan tim nasional Inggris, James Milner.
Barangkali apa yang terlintas di benak saya terkesan berlebihan. Namun melihat kiprah Milner selama ini, dirinya pantas dikategorikan sebagai pesepakbola dengan totalitas tinggi di atas lapangan dan tak pernah berkonflik dengan pelatih.
Publik boleh saja menyebut ia sebagai pemain dengan skill pas-pasan. Sama sekali tak ada yang menonjol dari pria kelahiran Leeds tersebut. Namun layaknya Mike dalam film Saving Private Ryan, Milner selalu mampu menyelesaikan tugas yang dipercayakan pelatih kepadanya.
Ia senantiasa mengerahkan seratus persen kemampuannya buat menjawab kepercayaan sang pelatih. Realita tersebut bikin sejumlah juru taktik yang pernah menanganinya setuju bila sosok yang kini berusia 34 tahun ini merupakan figur istimewa. Maka jangan heran kalau perjalanan kariernya tergolong mulus sampai sekarang.
Saat naik daun bersama Leeds United di awal 2000-an lalu, Milner dikenal sebagai gelandang sayap muda penuh potensi. Ia menjadi harapan baru publik Stadion Elland Road yang ditinggalkan penggawa bintangnya semisal Rio Ferdinand, Harry Kewell, dan Jonathan Woodgate.
Sayangnya, persoalan finansial yang mendera The Whites mendorong mereka untuk melepas Milner ke Newcastle United pada musim panas 2004. Bareng The Magpies, sinar Milner semakin terang dan keterampilannya bermain di sejumlah posisi di sektor tengah juga kian terlihat. Bahkan ia pernah diturunkan sebagai fullback kanan lantaran Newcastle mengalami krisis pemain akibat cedera. Tak ayal, publik Stadion St James’ Park pun mulai mengidolakannya.
Keserbabisaan tersebut memang jadi nilai plus Milner. Akibatnya, Aston Villa kepincut dan rela merogoh kocek cukup dalam guna memboyongnya ke Stadion Villa Park medio 2008. Namun alih-alih dimainkan sebagai gelandang sayap, saat berkostum The Villans Milner justru sering diturunkan sebagai gelandang tengah dan menjadi sumber kreativitas tim.
Performa ciamik yang disuguhkannya di kota Birmingham jugalah yang mengundang kesempatan tampil bersama timnas. Debut bareng The Three Lions pun didapat Milner pada Agustus 2009 dalam laga kontra Belanda. Selanjutnya, ia kerap mengisi skuad Inggris dan berpartisipasi di sejumlah turnamen seperti Piala Dunia 2010 dan 2014 serta Piala Eropa 2012 dan 2016.
Tatkala Manchester City berusaha bangkit dan menancapkan kekuatannya di peta persepakbolaan Inggris, Milner masuk ke dalam proyek tersebut. Pada musim panas 2010, ia resmi bergabung ke Stadion Etihad guna membawa kejayaan bagi tetangga berisik dari Manchester United itu. Sama seperti sebelumnya, Milner sering dimainkan di berbagai posisi oleh para pelatih City. Entah sebagai winger, gelandang serang atau gelandang bertahan.
Keputusannya mengenakan baju The Citizens tidak salah. Pasalnya, ada banyak gelar yang ia peluk di sana. Mulai dari Liga Primer Inggris, Piala FA, Piala Liga, sampai Community Shield. Prestasi tersebut bikin rekam jejak Milner sebagai pesepakbola berbinar.
Manakala kontraknya di City kedaluwarsa di musim panas 2015, giliran Liverpool yang bersedia menggunakan tenaganya. Jurgen Klopp yang saat itu juga baru ditunjuk sebagai pelatih, tampak semringah dengan kedatangan Milner. Pria Jerman tersebut yakin bahwa Milner dapat berkontribusi maksimal.
Seiring waktu, Milner sukses mencuri perhatian publik Stadion Anfield. Lagi-lagi, keserbabisaannya menjadi kunci melakukan itu. Ya, dirinya selalu menampilkan aksi terbaik saat bermain sebagai winger, gelandang tengah, gelandang bertahan, gelandang serang, bahkan fullback.
Milner mulai diujicoba Klopp untuk mengisi pos fullback pada musim 2016/2017 silam karena The Reds dinilai tak punya opsi bek kiri mumpuni. Hasilnya pun lumayan karena ia cukup konsisten bermain di situ kendati bukan posisi naturalnya dan tak pernah merumput di area tersebut sejak berkarier sebagai pesepakbola. Berdasarkan statistik, ia mampu mencatat 60,22 persen operan sukses per laga, membuat 44 intersep, 67 persen tekel sukses, dan tak pernah melakukan kesalahan yang bikin gawang timnya kebobolan.
Bersama Liverpool juga, Milner melejit sebagai salah satu algojo penalti. Dari 19 penalti yang ia eksekusi, 18 di antaranya berhasil ditunaikan secara sempurna. Tak perlu kaget bila Klopp menaruh respek teramat tinggi buat Milner. Layaknya di City, Milner sukses memanen trofi bersama The Reds. Gelar yang ia sudah peroleh antara lain Liga Primer Inggris, Liga Champions, dan Piala Super Eropa.
“Ia adalah sosok luar biasa dan punya pengaruh di ruang ganti. Sikapnya fantastis sebagai atlet. Tanpanya, kami tidak akan meraih kesuksesan”, puji Klopp seperti dilansir dari Bolanet.
Bicara sikap, Milner memang eksepsional. Ia tak pernah mengeluh kala diturunkan di posisi mana saja. Saat dimainkan sebagai bek kiri, Milner memang mengaku bahwa itu membuatnya tak nyaman. Namun demi kepentingan tim, ia bersedia melakukannya. Tak sekalipun ia menulis atau mengunggah sesuatu di media sosial guna menunjukkan rasa tidak puas atau kecewanya.
Lebih jauh, ia juga tak pernah ngambek gara-gara diturunkan pada menit ke-90 atau menghuni bangku cadangan. Walau statusnya senior di skuad The Reds, Milner juga tak merasa berhak akan status kapten tim. Bila ban kapten dipercayakan Klopp kepadanya, ia bakal melakukan yang terbaik di lapangan. Andai tidak, hal serupa tetap dipertontonkannya.
Banyak orang berkata Milner ibarat mesin. Hal itu bukan bualan semata. Milner memiliki daya jelajah yang tinggi dan staminanya luar biasa. Konon, Klopp pernah memberikan anak asuhnya sesi latihan guna menguji daya tahan tubuh. Seluruh skuad Liverpool diwajibkan berlari mengelilingi lapangan dengan batas waktu tertentu. Setiap putaran, batas waktunya dipersingkat. Hasilnya, Milner jadi pemain terakhir yang mampu bertahan menyelesaikan sesi latihan nan melelahkan itu. Sementara para penggawa lebih muda sudah keburu rontok.
Karakter Milner yang low profile membuatnya disukai seisi skuad. Pun dengan para pendukung The Reds. Mereka bahkan membuat akun @boringmilner di media sosial Twitter dengan unggahan-unggahan yang mengundang gelak tawa. Uniknya, Milner sama sekali tak merasa marah dengan itu, ia bahkan ikut menertawakan kelucuan-kelucuan tentang dirinya yang akun tersebut unggah.
“Ada banyak pemain Inggris dengan teknik lebih baik. Ada banyak juga yang lebih cepat dan mampu melakukan duel udara dengan sempurna. Namun coba tunjukkan kepada saya pemain yang bisa melakukan itu dengan sangat baik seperti yang Milner perbuat. Pastinya, tak ada yang bisa”, puji Manuel Pellegrini, bekas pelatih Milner di City.
Apa yang dikatakan pelatih asal Cile itu bukanlah omong kosong karena ia tahu bagaimana kemampuan dan karakter sang pemain. Seperti Mike, Milner memiliki totalitas yang spektakuler. Ia bakal melakukan apa saja demi kebaikan tim, sebuah sikap yang hanya dimiliki para team player. Berkaca dari itu semua, pantas rasanya bila menyebut Milner sebagai prajurit yang selalu siap tempur.