Keberadaan pemimpin sangatlah penting. Ki Hajar Dewantara menyebutkan tiga dasar kepemimpinan. Ing garso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Artinya kira-kira begini: di depan (pemimpin) memberi teladan, di tengah membangun kekuatan dan terus berkarya, sementara di belakang memberikan dorongan. Bukan berbeda-beda tapi tetap satu, lho.
Ketiga dasar pemimpin yang sudah seharusnya dimiliki oleh para pemimpin. Dan dari situ pula, sudah bisa dilihat betapa pentingnya pemimpin.
Pemimpin berada di semua lini tim yang ia pimpin. Di depan, tengah, dan di belakang. Saking pentingnya pemimpin, ada beberapa pemimpin yang sosoknya tak bisa tergantikan oleh orang lain. Bisa jadi karena memang hanya ia (pemimpin) yang dihormati.
Minggu lalu (17/4), Francesco Totti mencetak gol terakhir AS Roma ke gawang Atalanta. Gol yang menyelamatkan muka Serigala Roma di Bergamo – markas Atalanta. Padahal, pada awal laga, Roma memimpin dua gol terlebih dahulu. Entah setan apa yang tiba merasuki sebelas pemain Roma sehingga dibalik oleh Atalanta.
Totti, pada musim ini lebih sering duduk di bangku cadangan. Menjadi penghuni tetap bangku cadangan, sangatlah tidak cocok untuk pemain sekelas Totti.
Ini pula yang disadari oleh Totti. Ia merasa badannya sudah fit dan siap bermain sejak menit pertama. Suami dari Ilary Blasi pun merasa bahwa ia bisa beradaptasi dengan permainan Roma di bawah asuhan Spalletti. Toh di edisi pertama Spalletti membesut Roma, Totti menjadi striker bayangan andalan Roma.
Andaikan Spalletti memainkan Diego Perotti sebagai striker bayangan dan mengesampingkan Totti, agaknya kesebalan Totti ke Spalletti agak kurang waras. Ya karena performa Perotti begitu nyetel dengan Roma. Lha Spalletti memainkan Dzeko dan mengesampinkan Totti. Sungguh ini penghinaan yang teramat keji.
Atas dasar itu pula, Totti ngambek ke Spalletti dan manajemen Roma. Konon katanya manajemen Roma enggan memberikan tambahan kontrak semusim untuk Totti.
Duh Gusti. Cobaan macam apa ini. Romanisti cukup terluka setelah sekian lama tak melihat AS Roma tak mengangkat piala, eh malah Totti, salah satu alasan Romanisti mendukung AS Roma, malah seakan-akan dibiarkan pergi.
Kalau boleh jujur, Totti bukan pemain yang spesial. Apalagi di umur yang sudah menuju kepala empat, yang bisa ia lakukan hanyalah menerima bola, melewati satu pemain dan memberikan umpan. Kalau toh ia bisa memberikan asis dan gol sama seperti ke gawang Atalanta, mungkin itu hanya sebuah kebetulan semata atau mulai jarang ia lakukan. Tak seperti ketika sedang dalam performa terbaiknya dulu
Dan manajemen Roma pun sudah menyadari itu. Regenerasi pun sudah mulai digalakkan. Banyak sekali pemain yang didatangkan manajemen. Penerus Totti pun sudah disiapkan.
Mulai dari Alessandro Florenzi, Lorenzo Di Livio, dan Daniele De Rossi. Untuk nama terakhir, ia digadang-gadang menjadi futuro capitano Roma, sejak 7 tahun yang lalu. Tapi sampai kini, ia pun hanya menjadi kapten pengganti Totti.
Sudah menjadi kebiasaan Roma, bahwa kapten haruslah seorang Romans. Penghuni asli Roma. Didikan asli Roma dan bersedia tinggal lama di Trigoria.
Giannini, kapten sebelum Totti, menghabiskan total 16 musim di Roma. Sebelum memutuskan hijrah ke Austria. Totti sendiri sampai saat ini sudah menghabiskan 24 tahun bersama Roma. Tak tergantikan.
Slogan No Totti No Party nampaknya berlebihan. Bahwa itu menandakan bahwa Roma tak akan sukses ketika Totti tidak ada, itu tak sepenuhnya benar. Toh, ada beberapa kali kesempatan Roma bisa menang ketika Totti tak bermain.
Bukan di situ poinnya. Melainkan bahwa Totti dan AS Roma adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kalau Wenger saja yang terus menerus gagal membawa Arsenal juara liga dan terus-terusan dibela oleh manajemen, lalu kenapa Totti yang hanya kurang memberikan trofi Liga Champions, harus ditinggal oleh manajemen?
Sebenarnya bukan perkara tidak ada yang sanggup menjadi penerus Totti – sebagai kapten AS Roma – melainkan bahwa tak ada kapten yang bisa memimpin Roma dengan guyonan seperti Totti.
Meskipun lebih suka bercanda, Totti tetaplah serius ketika membahas mengenai sepak bola dan AS Roma. Mungkin hidupnya hanya tentang AS Roma.
Di penjuru dunia yang lain, ada pula tim yang kekurangan sosok pemimpin. Bukan sebuah tim sepak bola. Melainkan sebuah idol group. JKT48 adalah sebuah idol group yang mendapuk Melody Nurramdani Laksani sebagai pemimpin.
JKT48 memiliki tiga tim, yakni Tim J yang dikapteni Shania Junianatha, Tim K3 yang diketuai Devi Kinal Putri, dan Tim T yang dikapteni Haruka Nakagawa. Lalu, bagaimana Melody bisa disebut sebagai kapten kalau ia tak memimpin satu pun tim di JKT48?
JKT48 awalnya mendapuk Melody sebagai kapten JKT48. Kapten dari segala kapten. Tapi, di tahun 2015, Melody naik pangkat dan akhirnya ia menjadi General Manager (GM) dari JKT48. Pendahulunya di Jepang, Takahashi Minami, lebih dahulu menjadi General Manager dari AKB48.
Terpilihnya Melody menjadi GM JKT48, membuat para sarjana yang masih menganggur mengernyitkan dahi. Lha Melody yang belum jadi sarjana saja sudah bisa jadi general manager. Kalian jadi apa? Cuma bisa nyinyirin JKT48? Cih.
JKT48 bukannya tanpa usaha untuk mencari sosok pengganti Melody. Regenerasi pun dilakukan. Bibit-bibit unggul pun dimunculkan. Mulai dari pribumi sampai pemain asing dari Malaysia pun didatangkan. Tapi sampai saat ini Melody masih duduk nyaman menikmati popularitas dan memimpin JKT48.
Nama-nama lama pun mulai ditonjolkan JKT48. Shania Junianatha, yang awalnya member biasa saja, dinaikkan menjadi kapten. Jessica Veranda mulai ditonjolkan ke publik dengan lebih sering mengisi acara di televisi.
Belum member generasi ketiga, Mari Desy yang sering bermain di Nyonya Nunung. Berbagai usaha dilakukan JKT48 untuk mencari sosok baru pengganti Melody.
Imej JKT48 terlanjur ditanamkan ke Melody. Melody ya JKT48. Begitu sebaliknya. Ketika Melody keluar dari JKT48, nasib JKT48 bisa jadi tak semulus paha para membernya.
Toh Melody mau tak mau harus segera keluar. Selain skripsi yang harus ia selesaikan, ia juga harus memulai hidup baru. Misalnya menikahi pria idamannya. Atau menjadi menteri pertanian, seperti yang ia ungkapkan beberapa waktu yang lalu.
Baik Totti maupun Melody adalah sosok pemimpin yang begitu disegani. Keberadannya di masing-masing tim begitu diperhatikan.
Ucapan-ucapannya begitu bermakna dan sulit untuk tidak didengar. Ajakannya begitu sulit untuk tidak dilakukan. Begitu berarti. Mereka berdua adalah kapten dan pemimpin yang tak tergantikan.