Pada tahun 1949, sebuah badan bernama Federation Internationale de Motocyclisme (FIM) yang berdiri sejak tahun 1904 menginisiasi sebuah kejuaraan balap khusus kendaraan roda dua yang bertajuk GP Motor.
Keberhasilan menyelenggarakan ajang tersebut tentu sangat menggembirakan bagi FIM, pasalnya kondisi saat itu terbilang cukup sulit lantaran banyak negara di dunia yang masih berupaya memulihkan diri dari kekacauan Perang Dunia II.
Tercatat, pada musim balap saat itu hanya terdapat enam seri yang kesemuanya dilangsungkan di benua Eropa. Diawali seri Isle of Man TT di Inggris dan berakhir di Nations Grand Prix yang berlokasi di Italia. Waktu penyelenggaraan balap pun hanya selama tiga bulan, yakni Juni sampai September.
Dampak munculnya GP Motor sendiri membuat industri otomotif yang sempat mengalami kelesuan menjadi bergeliat kembali, khususnya pabrikan motor di benua biru seperti AJS, Gilera, Moto Guzzi, MV Agusta, Norton, dan Triumph.
Mereka pun berbondong-bondong ambil bagian di kejuaraan ini. Sementara pabrikan motor asal Jepang semisal Honda, Kawasaki, Suzuki, dan Yamaha baru turut serta kurang lebih sedekade kemudian.
Dari sekian kelas yang diselenggarakan, kelas dengan kapasitas motor 500cc merupakan yang paling bergengsi. Namun seiring waktu, kelas tersebut berevolusi menjadi 990cc per musim balap 2002, 800cc di tahun 2007, dan 1000cc mulai tahun 2012 hingga sekarang.
Dan pada tahun 2002 pula, kejuaraan GP Motor bermetamorfosis dengan mengganti namanya menjadi MotoGP seperti yang kita kenal saat ini.
Semenjak diselenggarakan pertama kali, khususnya di kelas utama, nama-nama yang berhasil menahbiskan diri menjadi juara dunia didominasi oleh pembalap asal Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Italia. Dari sekian nama pembalap dari empat negara itu, tentu saja khalayak pencinta MotoGP sangat familiar dengan nama Valentino Rossi.
Pasca memulai kariernya di balap motor profesional tahun 1996 silam, figur yang kondang dengan julukan The Doctor tersebut memang bergelimang kesuksesan. Hingga saat ini, Rossi telah mengantongi sembilan titel juara dunia dengan rincian tujuh di kelas utama, satu di kelas 250cc (kini disebut Moto2), dan satu di kelas 125cc (sekarang Moto3).
Namun tentu saja gelar dunia sebanyak itu tidak datang dengan sendirinya, ada banyak pengorbanan yang dilakukan lelaki kelahiran Urbino ini. Rossi dikenal sebagai pembalap dengan etos kerja mengagumkan baik di dalam maupun luar trek.
Dirinya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk melatih fisik di ranch miliknya atau berdiskusi sepanjang hari bersama kru balapnya guna membahas kelebihan dan kekurangan dari motor yang ditungganginya.
Sayangnya, usai menjadi juara dunia MotoGP di tahun 2009 lalu, prestasi Rossi cenderung menurun selama musim balap 2010 hingga 2016. Gelar juara dunia tak kunjung bisa disabetnya kembali.
Namun bukan berarti dirinya telah kehabisan bahan bakar untuk bersaing, setidaknya The Doctor masih sanggup finis sebagai runner-up dunia di musim 2014, 2015, dan 2016.
Kedigdayaan Rossi di arena MotoGP dihantam oleh hegemoni pembalap Spanyol yang punya mental dan skill jempolan serta motor mumpuni, utamanya Jorge Lorenzo dan Marc Marquez, yang bergantian menjadi juara dunia (pengecualian di musim balap 2011 ketika gelar tersebut direngkuh pembalap asal Australia yang kini telah pensiun, Casey Stoner).
Menjamurnya pembalap Spanyol yang punya kemampuan ciamik dan bisa bersaing menjadi juara dunia di kelas utama sendiri terbilang sangat luar biasa selama beberapa tahun terakhir.
Padahal dahulu, pembalap asal negeri matador ini lebih kondang sebagai raja di kelas 250cc atau 125cc. Praktis, satu-satunya nama yang berhasil jadi kampiun kelas utama hanyalah Alex Crivillle pada tahun 1999 silam.
Dan di musim balap 2017 kali ini, upaya Rossi untuk merebut gelar dunia kedelapannya di kelas utama akan dihadang pembalap Spanyol seperti Lorenzo, Marquez, Dani Pedrosa, dan tentu saja rekan setim anyarnya di kubu Yamaha, Maverick Vinales.
Akankah sosok yang juga penggemar berat klub sepak bola Internazionale Milano ini dapat menyudahi paceklik gelarnya?
Saat ini, Rossi tercatat sebagai pembalap tertua yang masih berlaga di MotoGP (38 tahun). Namun gairahnya untuk membalap plus sedikit ego demi meraih titel dunia kedelapan tentu masih meletup-letup.
Tim Yamaha bahkan berani memperpanjang kontrak sang legenda hidup selama dua tahun (berakhir di 2018 ketika usianya hampir 40 tahun). Walau kabarnya, ini juga salah satu langkah Yamaha agar penjualan produknya di pasaran tetap laris manis karena Rossi masih dianggap sebagai sosok ikonik yang dapat mendongrak penjualan.
Bagi para penggemar Rossi, hal ini tentu saja menyenangkan sebab mereka akan bisa menyaksikan aksi The Doctor setidaknya sampai tahun depan. Namun di sisi lain, hal ini seakan membuka borok dunia balap Italia yang seolah tak kunjung berhasil menelurkan pengganti yang sepadan dengan Rossi.
Sejak tahun 2010 hingga saat ini, ada beberapa rekan senegara Rossi yang hilir mudik di kelas tertinggi. Misalnya saja Loris Capirossi, Andrea Dovizioso, Andrea Iannone, Marco Melandri, Mattia Pasini, Danilo Petrucci, Michele Pirro, dan Marco Simoncelli (meninggal setelah kecelakaan di GP Malaysia 2011).
Walau sanggup memenangi satu atau dua seri balap, namun tak satu pun dari mereka yang benar-benar mampu bersaing memperebutkan titel juara dunia.
Lebih nahas lagi, dalam rentang waktu serupa, tak ada satu pun gacoan asal Italia yang berhasil menggenggam gelar dunia di kelas Moto2 atau Moto3. Mereka seolah keteteran dengan invasi pembalap Spanyol yang memang begitu dominan menjadi raja di seluruh kelas atau desakan beberapa pembalap asal Jerman dan Prancis.
Fakta tersebut membuat urgensi Italia guna mencari suksesor Rossi benar-benar meninggi. Karena dengan semakin menuanya The Doctor, Italia butuh figur muda bila ingin terus eksis dan berjaya di MotoGP.
Pihak-pihak terkait di Italia sendiri bukannya diam saja, beberapa program demi menggenjot lahirnya bakat muda baru terus dilakukan. Bahkan Rossi sampai membuka sebuah akademi balap yang diberi nama VR46 Academy. Tujuannya jelas, menjaring anak-anak yang menggemari balap untuk kemudian dididik agar bisa menjadi pembalap hebat.
Beberapa nama yang terdaftar sebagai pembalap jebolan akademi ini dan tengah bertarung di lintasan MotoGP (Moto2 dan Moto3) antara lain Francesco Bagnaia, Nicolo Bulega, Romano Fenati, Luca Marini, Andrea Migno, dan Franco Morbidelli. Namun sejauh ini, penampilan mereka belum betul-betul melejit.
Terus menyandarkan beban kepada Rossi agar terus berjaya tentu amat beresiko bagi Italia. Suka tidak suka, mereka harus secepatnya mengorbitkan satu atau bahkan dua nama yang kualitasnya mendekati atau bahkan mungkin menyamai sang legenda hidup.
Jika tidak, maka bersiaplah mengalami masa-masa suram seperti yang tengah dialami Inggris yang tak punya lagi pembalap super di kelas utama sejak Barry Sheene jadi juara dunia tahun 1977 silam.