Sebagai jamaah Young Lex yang baik, salah satu titah beliau yang saya camkan betul dalam hati adalah bahwa YouTube > TV. Nah, sejak titah tersebut meluncur dari mulut Paduka Yang Mulia Young Lex, semakin getol pula saya menyaksikan video-video di YouTube.
Young Lex, “YouTube > TV”
Salah satu kanal favorit saya di situsweb satu itu adalah Last Week Tonight with John Oliver yang aslinya ditayangkan di HBO.
Semalam, setelah usai menyaksikan video mengenai bank plecit di Amerika dan perkara doping yang ruwetnya mengalahkan taktik politik Jokowi, saya pun kemudian digiring oleh fitur autoplay ke sebuah video dari John Oliver yang membahas mengenai stadion-stadion di Amerika Serikat.
Sudah sering sebenarnya saya bertanya dalam hati, “Kok bisa ya tim-tim olahraga di Amerika Serikat itu kaya-kaya banget? Gimana sih caranya mereka menggaji pemain dengan angka selangit dan punya stadion yang besar dan megah, padahal yang nonton ya cuma orang sana?”
Setelah menonton video tersebut, pertanyaan saya pun terjawab.
Pada dasarnya, di Amerika Serikat, tim olahraga yang ada di suatu kota bukanlah klub seperti yang jamak kita kenal di Eropa. Mereka sendiri pun tidak pernah menyebut tim-tim olahraga itu dengan sebutan klub. Adapun, tim-tim tersebut sebetulnya merupakan waralaba dari liga olahraga tertentu.
Sebuah tim bisa hadir di sebuah kota hanya dengan restu liga yang sejatinya berfungsi sebagai perusahaan induk. Simpelnya, semua klub sebenarnya tak berbeda dari cabang-cabang Bebek Pak Slamet yang hanya boleh ada setelah melalui berbagai macam penerawangan feng shui.
Dengan begitu, klub-klub ini pun bisa berpindah dari kota satu ke kota lain jika dirasa animo di sebuah kota tak lagi bisa mendatangkan laba. Beda lho ya dengan klub-klub sepak bola siluman di Indonesia yang ujug-ujug bisa pindah kota dan ganti nama tanpa alasan yang jelas.
Nah, olahraga memang aneh. Paus Yohanes Paulus II pernah berujar bahwa dari segala hal-hal yang tidak penting, sepak bola adalah hal yang terpenting. Meski Paus hanya menyebut “sepak bola”, namun sebenarnya hal ini berlaku juga untuk olahraga pada umumnya.
Mengingat di Amerika Serikat “sepak bola” yang dimaksud oleh Paus Yohanes Paulus II belum sepopuler bisbol, sepak bola amerika, bola basket, maupun hoki es, maka sah bila generalisasi diaplikasikan di sini.
Pada video berdurasi kurang lebih 19 menit tersebut, John Oliver menyentil perihal hubungan antara kota dengan tim olahraganya, terutama dalam soal pembangunan stadion.
Sebagai hal terpenting dari segala yang tidak penting, sebuah tim olahraga seringkali dianggap sebagai representasi dari suatu kelompok. Di kota Glasgow misalnya, ada segregasi sektarian antara Rangers yang Protestan dan Celtic yang Katolik.
Kemudian di kota Moskow, klub-klub olahraga (dulunya) diasosiasikan dengan tempat seseorang bekerja. Misal, seorang tentara akan berafiliasi ke CSKA, sementara pekerja di pabrik mobil ZiL akan otomatis berafiliasi ke Torpedo.
Hal tersebut berlaku di kota-kota yang memiliki lebih dari satu klub. Akan tetapi, bagi kota yang hanya memiliki satu tim olahraga (di tiap cabangnya), maka klub tersebut secara otomatis akan menjadi representasi kota tersebut.
Di Amerika Serikat sendiri, hal seperti ini jamak ditemui. Jarang sekali ditemukan lebih dari satu tim di satu kota. Jika bukan benar-benar kota utama, biasanya hanya ada satu tim olahraga di kota tersebut.
Perlu dicatat bahwa Amerika Serikat adalah negara yang terobsesi dengan olahraga. Lihat saja performa mereka di Olimpiade yang selalu berada di papan atas soal pengumpulan medali.
Kompetisi olahraga antarpelajar pun mereka ikuti betul. Seorang penggila basket di sana, selain memiliki tim NBA favorit juga hampir pasti memiliki tim NCAA Basketball favorit. Di sana, olahraga memang sudah digalakkan sejak dini dan sebagai gerbang menuju liga olahraga profesional, NCAA menjadi sesuatu yang benar-benar penting.
Hal inilah yang kemudian dieksploitasi oleh waralaba-waralaba olahraga tersebut. Mereka tahu bahwa Amerika Serikat adalah negeri penggila olahraga dan ikatan emosional para penggila olahraga dengan tim favorit mereka adalah sesuatu yang irasional.
Ya namanya juga cinta, kan? Waralaba-waralaba tersebut paham betul bahwa jika mereka sudah berhasil mencuri hati para penggemar olahraga di sebuah kota, maka mereka sudah pasti akan mendapat keuntungan besar.
Mereka pun kemudian memiliki posisi tawar yang besar, khususnya terhadap pemerintah kota setempat, khususnya lagi perihal stadion. Hal ini memang tidak terjadi di semua waralaba olahraga, tetapi kebanyakan dari stadion yang digunakan waralaba-waralaba itu dibangun dengan uang rakyat.
New York Yankees memang memiliki stadion yang mereka bangun dengan uang sendiri, tetapi New York Yankees di perbisbolan Amerika Serikat adalah Juventus di persepakbolaan Italia.
Dari sini muncul relasi yang tidak sehat antara sebuah kota dengan tim olahraga yang bermukim di dalamnya. Dengan kemudahan untuk berpindah kota, sebuah tim bisa dengan mudah mengancam untuk melakukan relokasi jika keinginan mereka tak dipenuhi.
Sebuah tim olahraga dari Minnesota bahkan pernah (secara tidak etis) mengeksploitasi seorang bocah penderita kanker demi mendapat stadion baru.
Yang lebih mengesalkan, ketika stadion sudah selesai dibangun, semua pendapatan yang bisa diraih dari stadion, mulai dari penjualan tiket sampai penjualan hak nama, akan masuk ke kantong waralaba yang bermain di stadion tersebut.
Pemerintah kota? Jangan harap. Satu-satunya keuntungan yang didapat pemerintah kota adalah nama kota mereka menjadi lebih dikenal.
Untuk jangka panjang memang tidak ada masalah, akan tetapi bagaimana dengan kota miskin seperti Detroit yang masih harus membangun stadion baru untuk klub hoki es Detroit Red Wings setelah menyatakan diri bangkrut?
Dari total sekitar 650 juta dolar yang dibutuhkan, pemerintah kota harus ikut patungan sebesar 284,5 juta dolar. Ini kan jelas tidak masuk akal.
Tapi tunggu dulu. Masuk akal atau tidak di sini masih bersifat relatif. Di Arizona, walikota Glendale, Jerry Weiers sebenarnya sudah tidak mau “diperas” oleh tim hoki es, Arizona Coyotes yang menginginkan stadion baru.
Sebagai catatan, stadion yang mereka pakai sekarang baru berusia 13 tahun! Pada sebuah dengar pendapat, sang walikota mendapat kecaman keras dari para fans Coyotes. Ia dituduh tidak suportif terhadap olahraga, sementara yang ia lakukan sebenarnya adalah langkah rasional untuk menyelamatkan keuangan kota.
Saya paham betul bahwa terlepas dari segala yang terkesan tak etis ini, industri olahraga di Amerika Serikat boleh dibilang merupakan yang paling maju di dunia.
Bak mesin yang dilumasi dengan sempurna, semua-muanya seakan berjalan lancar di industri olahraga Negeri Paman Sam. Mulai dari pembinaan sampai hak siar televisi, mulai dari infrastruktur sampai segala hiburan yang menyertai, semua berjalan lancar.
Lalu bagaimana dengan sepak bola, khususnya sepak bola di Eropa?
Ketika menyaksikan rutukan John Oliver tersebut, satu hal yang tak bisa lepas dari benak saya adalah soal satu video lagi yang sudah saya tonton sebelumnya. Video yang dimaksud adalah video promosi Stadio della Roma yang nyaris sukses membuat saya murtad menjadi seorang Romanista.
Sebelum masuk ke Stadio della Roma, ada satu hal dari presiden AS Roma, James Pallotta, yang belum kunjung enyah dari pikiran. Hal yang saya maksud adalah jawaban Pallotta ketika ditanya soal alasannya membeli klub ibu kota tersebut. Simpel saja jawaban Pallotta, “Because it’s f***ing Rome!”
Ya, karena Roma adalah Roma. Kota abadi yang usianya lebih tua dibanding agama Kristen dan Islam. Kota yang telah ribuan tahun menjadi salah satu tonggak agungnya peradaban manusia. Kota yang meski tetap termasuk salah satu kota terpenting di dunia, mulai kesulitan mengejar ketertinggalan.
Salah satu dari ketertinggalan adalah stadion sepak bola. Meski megah dan besar, Olimpico adalah stadion tua yang usianya sudah lebih dari setengah abad. Ya, renovasi memang telah dilakukan, akan tetapi, menilik arena-arena modern saat ini, sulit rasanya untuk tetap melihat Olimpico Roma sebagai stadion modern yang representatif.
Untuk itulah Stadio della Roma kemudian dimunculkan ke permukaan. Sebuah stadion ultramodern yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pelengkap seperti jalan raya baru, stasiun kereta, taman bermain untuk anak-anak, dan pusat perbelanjaan.
Dari video berdurasi 10 menit tersebut, ditunjukkan bagaimana komplek Stadio della Roma akan menjadi sebuah pusat aktivitas masyarakat.
James Pallotta sendiri merupakan orang Amerika Serikat keturunan Italia, dan dari fakta ini saja, sulit rasanya untuk tidak melihat motif finansial dari segala aktivitas sang presiden.
Sah memang, karena siapa yang tak mau profit? Lagipula, kalau semua bisa mendatangkan profit, klub juga pasti akan menjadi semakin besar. Mimpi Benito Mussolini untuk memiliki klub dari kota Roma yang (benar-benar) besar bisa jadi akan terwujud di tangan sang emigran.
Selain itu, satu hal yang lagi-lagi tak bisa enyah adalah bagaimana manajemen Roma menekankan soal bagaimana Roma adalah kota yang agung. Dan sebagai kota yang agung, ia layak memiliki segala hal agung pula.
Membangun stadion yang megah, seraya menata ulang AS Roma agar bisa memiliki harga diri yang tinggi adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk menuju Roma yang agung itu.
Meski motif finansial tak bisa dilepaskan, pembangunan stadion ini adalah cara James Pallotta memaknai dan menghargai kota Roma itu sendiri. Melihat relasi yang umum terjadi antara tim olahraga dengan kota di Amerika Serikat, pembangunan Stadio della Roma entah mengapa terasa melegakan.
Ya, ya, pergerakan Against Modern Football memang sama sekali tidak salah. Di Eropa, khususnya, sepak bola – walau sering dianggap sebagai aktivitas para proletar – memang dianggap sebagai produk budaya adiluhung.
Orang-orang Eropa memang sejatinya konservatif. Keputusan suporter Borussia Dortmund untuk memboikot laga melawan Red Bull Leipzig adalah contohnya.
Suporter Dortmund menganggap bahwa Red Bull Leipzig tidak memiliki nilai sejarah yang membuat mereka layak menjadi sebuah klub. Terkesan arogan dan elitis memang, tetapi kenyataannya memang begitu.
Walau di Leipzig keberadaan klub ini sanggup membangkitkan animo persepakbolaan kota tersebut, mereka tidak dianggap oleh para pencinta sepak bola di Jerman. Ironis memang. Aktivitas yang biasa diasosiasikan dengan masyarakat kelas bawah justru memiliki elitismenya sendiri.
Nah, kalau melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat, saya tak bisa membayangkan kalau hal tersebut sampai terjadi dalam skala penuh di sepak bola Eropa yang primordial. Pasti akan lucu sekali, walau kemungkinan untuk itu (setidaknya saat ini) masih sangat kecil.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana klub-klub tradisional seperti Barcelona pindah ke (katakanlah) Beijing karena jumlah fans lebih banyak dan seterusnya.
Well, sebagai penutup, saya ingin berhipotesis bahwa value atau nilai yang ada di persepakbolaan Eropa memang sangat kuat dan hal ini kemudian berpengaruh pula pada relasi antara kota dengan klub.
Kalau mau disederhanakan, di Amerika Serikat, relasi antara tim olahraga dengan kota lebih didasarkan kepada keuntungan finansial, sementara di Eropa, olahraga (khususnya sepak bola) masih sangat primordial dan oleh sebab itu, relasi antara klub dengan kota lebih emosional.
Soal baik buruknya masing-masing relasi, tentu masih harus dielaborasi lagi. Nyatanya, dengan relasi yang demikian, baik olahraga di Amerika Serikat maupun sepak bola di Eropa sudah mampu bertahan setidaknya lebih dari 100 tahun dan masih akan terus berkembang.
Pertanyaan besarnya kemudian adalah, apakah Arsene Wenger harus mundur?