Dua pekan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, sebelum tenda-tenda Pramuka anak sekolahan berdiri, turnamen sepakbola antarkampung dihelat terlebih dahulu. Lapangan sepakbola kampung riuh bukan main. Dari desa yang jauh, mobil pick up dipakai bertandang. Dari desa terdekat, cukuplah berjalan kaki. Rumah di sekitar lapangan, disulap jadi kios. Kadang pula, ada yang mendirikan bangunan semi-permanen. Pedagang menjual apa saja, asal penonton bisa kenyang.
Sepakbola tujuh belasan ibarat sebuah pesta. Penonton berjejalan di pinggir lapangan, dari tua, muda, ibu, bapak, dan tentu saja para bocah. Berdesakan di bibir garis putih, hingga kerap menghalangi laju hakim garis.
Di situlah saya berdiri, dengan es lilin dari gula merah bertoping kacang hijau di tangan kanan dan mata yang memandang kagum ke arah lapangan. Bola yang bergulir, seperti sihir yang memikat penikmatnya dan membawa pada kegembiraan tiada tara. Mungkin berlebihan, tapi begitulah adanya.
Kekaguman saya pada sepakbola, tidak hanya dipupuk lewat pesta tujuh belasan saja. Kebetulan di awal medio 2000-an, Liga Italia Serie A adalah primadona. Industri media dan siaran sepakbola, jadi perantara informasi antara pelosok kampung dan dunia luar.
Ekonomi Indonesia yang mulai membaik, bikin daya beli masyarakat terkatrol. Sebelumnya, menonton televisi hanya bisa dilakukan secara bersama-sama di rumah Kepala Desa atau mereka yang berpunya. Bapak saya sendiri memutuskan untuk membeli televisi bekas berikut antenanya guna menunaikan ‘ibadah’ nonton Serie A.
Akan tetapi, pertandingan-pertandingan yang tayang terlampau larut, bukan tontonan yang pas buat anak sekolahan seperti saya. Berita pagi pun jadi pilihan paling memungkinkan buat mengetahui hasil-hasil laga.
Celoteh pewarta sepakbola di televisi, bikin saya tahu banyak nama pemain dan klub mentereng Serie A. Tetapi, di pengujung musim 2000/2001, orang-orang di kampung lebih banyak membicarakan AS Roma yang saat itu keluar sebagai jawara.
Alhasil, saya mulai mencari dan membaca profil para gladiator Roma seperti Gabriel Batistuta, Hidetoshi Nakata, Vincenzo Montella, Damiano Tommasi, Francesco Totti serta nama lain yang susah saya sebut dengan dialek bahasa daerah. Dari sini pula, saya perlahan menggemari I Giallorossi sampai akhirnya lebih taat mendukung Chelsea.
Saking gemarnya masyarakat pada sepakbola Italia, ia berhasil menciptakan pasarnya sendiri. Tidak sulit menemukan jersi tiruan klub-klub Serie A dijajakan di loakan pedagang kaos di pasar kampung.
Harganya yang miring membuat para pembeli tertarik, Utamanya anak muda dan bapak-bapak penggemar sepakbola. Pedagang Alat Tulis Kantor (ATK) juga tidak mau kalah. Buku tulis bersampul pemain klub Serie A sengaja dipajang di bagian terdepan etalase.
Anak sekolah yang kecintaannya terhadap sepakbola baru bertumbuh, dengan cepat saling berebutan. Kala itu, buku yang memamerkan ekspresi Batistuta, Nakata, Totti, Alessandro Del Piero sampai Ronaldo di lapangan lebih diminati ketimbang buku dengan hiasan wajah Indra L. Brugman atau Primus Yustisio.
Memperhatikan Tim Nasional Italia
Menggemari Serie A, berarti pula jatuh hati kepada tim nasional Italia. Begitulah yang terjadi pada saya. Momen Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang adalah permulaannya.
Namun laga perdana menyaksikan Totti dan kawan-kawan terasa amat menyiksa. Italia kalah dari tuan rumah Korsel di babak 16 besar lewat cara tak masuk akal. Bukan gol emas Taeguk Warriors buatan Ahn Jung Hwan yang membuat saya kesal bukan main, tapi kepemimpinan wasit di laga tersebut.
Pengadil lapangan asal Ekuador, Byron Moreno, berkali-kali membuat keputusan yang terlalu menguntungkan tuan rumah. Penampilan Gli Azzurri mungkin jauh dari kata bagus di laga itu, tapi kecenderungan wasit mengerjai anak asuh Giovanni Trapattoni terasa sekali.
Andai bisa bertemu dengan Moreno, jujur saja, saya ingin melampiaskan kekesalan yang menggumpal di dalam dada ini. Rasanya, cacian begitu jauh dari kata cukup. Sialan betul lelaki Ekuador itu.
Selepas momen Piala Dunia 2002, sepakbola terasa agak berbeda bagi saya. Hampir bersamaan dengan munculnya tayangan Liga Primer Inggris di televisi swasta, Serie A mulai tersisihkan. Pamornya masih ada, tapi makin tersaingi oleh kompetisi teratas di Negeri Ratu Elizabeth.
Apalagi Italia rontok cepat di ajang Piala Eropa 2004 dan Serie A juga dilanda skandal Calciopoli di pertengahan 2000-an. Perhatian saya pun makin teralihkan ke The Blues. Gelandang Argentina, Juan Sebastian Veron, adalah perantaranya.
Walau begitu, saya masih tetap memperhatikan kiprah Gli Azzurri. Dan Piala Dunia 2006 jadi momen yang sangat sulit dilupakan. Tampil apik sedari penyisihan grup, tim asuhan Marcello Lippi akhirnya keluar sebagai kampiun dunia untuk keempat kalinya. Bermain imbang 1-1 dengan Prancis selama 120 menit, laga kudu ditentukan via adu penalti.
Lima algojo Italia yakni Andrea Pirlo, Marco Materazzi, Daniele De Rossi, Del Piero, dan Fabio Grosso berhasil menunaikan tugasnya. Sementara satu dari empat eksekutor Les Bleus yaitu David Trezeguet, gagal menuntaskan pekerjaannya. Gelar ini sendiri bak oase di tengah gurun nan terik.
Sialnya, perjalanan waktu seakan memunggungi Italia. Laju cepatnya sulit sekali diikuti Gli Azzurri sehingga kegagalan terasa akrab. Selain mencapai final Piala Eropa 2012, presensi Negeri Pizza bak pelengkap saja di turnamen mayor lainnya. Bahkan, mereka tak mampu lolos ke putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia kemarin akibat keok di fase playoff menghadapi Swedia.
Nasib Klub Italia di Eropa
Di era 1990-an, klub-klub Italia merupakan penguasa kejuaraan antarklub Eropa. Titel Liga Champions, Piala UEFA, Piala Winners begitu rajin menyambangi Italia. Namun semuanya luluh lantak di era 2010-an. Setelah Inter Milan memenangkan Liga Champions 2009/2010, tak ada satu klub Italia pun yang sukses meraih gelar di Benua Biru.
Mungkin ingatan banyak orang mulai samar tentang Inter-nya Jose Mourinho yang jadi antitesis sepakbola menyerang dan indah kala itu. Pun dengan keperkasaan AC Milan besutan Carlo Ancelotti saat merebut trofi Si Kuping Besar pada musim 2006/2007.
Konsistensi Juventus menembus partai pamungkas Liga Champions selama beberapa musim, apesnya selalu berakhir dengan duka. Padahal secara keseluruhan, performa mereka tergolong bagus dan jadi satu-satunya kesebelasan Italia yang sanggup menyaingi superioritas tim-tim asal Inggris maupun Spanyol.
Ada begitu banyak narasi tentang sepakbola Italia yang membuatnya sulit dilupakan oleh saya yang hatinya kini dimiliki Chelsea Islan. Sesekali, mata saya tetap memperhatikannya. Termasuk saat Serie A lunglai akibat pandemi Corona di Italia seperti sekarang.
Saya sendiri berharap, situasi pelik ini segera berakhir karena saya amat merindukan tontonan berkualitas dari lapangan hijau. Bila segalanya membaik, dengan senang hati saya akan menyaksikan aksi menawan para fantasista dalam laga-laga Serie A di pengujung pekan sebagai opsi tontonan selain partai-partai yang dijalani Mateo Kovacic beserta kolega.
Lekas sembuh Italia dan dunia. Kami merindukan sepakbola.