Berjumpa dengan PSS di Lereng Ceremai

Di satu sore pada hari Jumat, ponselku berbunyi. Tertera nama Mas Firman di layar. Ia adalah seorang teman yang sedang bekerja di Sleman tapi berasal dari Cirebon. Isi pesan yang ia kirimkan kurang lebih seperti ini, “PSS main di Kuningan lawan Persiwa hari Senin besok. Kamu mau nonton nggak?”.

Kabar itu mengejutkan sekaligus menggembirakan buatku. Pasalnya, momen yang sudah lama kunanti akhirnya datang juga. Ya, aku sangat ingin merasakan atmosfer PSS Day di kota yang dekat dengan tempat tinggalku alias tak perlu jauh-jauh berangkat ke Sleman. Jujur saja, ada cukup banyak keterbatasan sehingga aku belum bisa mewujudkan satu perjalanan khusus buat menyaksikan Super Elang Jawa di Stadion Maguwoharjo.

Bermain di Kuningan jelas mengurangi gegap gempita yang biasanya terpancar jelas setiap kali PSS main di kandang. Namun persetan dengan itu semua karena yang terpenting bagiku adalah datang ke Stadion Mashud Wisnusaputra pada hari Senin guna melihat tim dengan kostum hijau itu beraksi. Mengingat PSS bermain di hari kerja, aku pun memutar otak supaya dapat menyaksikan laga tapi pekerjaan yang menumpuk di meja kerja juga terselesaikan tepat waktu.

Sedikit mundur ke belakang, tepatnya pada Desember 2017, aku berkesempatan melihat sarang Super Elja yaitu Stadion Maguwoharjo. Sebuah stadion elegan yang rumputnya berstandar internasional. Sayangnya, saat itu bukan hari pertandingan sehingga kompleks stadion hanya dibuka sebagian. Namun kebetulan kala itu juga ada event bagi motor-motor Vespa modifikasi sehingga stadion tak sepi-sepi amat.

Perhatianku lepas dari motor-motor klasik bikinan Italia tersebut dan segera mengarah kepada tangga berputar yang digunakan untuk masuk ke tribun. Aku butuh waktu beberapa menit hingga sampai di atas. Tribun selatan yang biasa ditempati salah satu faksi suporter fanatik PSS, Brigata Curva Sud (BCS), jadi tujuanku.

Apes, sesampai di depan pintu masuk dari tribun selatan, aku mendapati pintunya masih tertutup dan terkunci. Padahal aku ingin sekali mengambil foto guna memuaskan hasratku yang lama terpendam. Mumpung aku sudah berada di Sleman. Begitu pikirku. Sayangnya, harapan tinggal harapan.

Kekecewaan pada saat itu terbawa hingga Senin jelang keberangkatan ke Stadion Mashud Wisnusaputra. Di benakku, meletup keinginan agar momen ini tak terlewatkan begitu saja. Menyaksikan PSS berlaga secara langsung mesti terwujud.

Selama bekerja, aku terus melakukan kontak dengan Mas Firman. Ia bahkan menanyakan secara detail jam keberangkatan dan rute perjalananku. Kujelaskan kepada Mas Firman bahwa aku akan berangkat dari kantor sekitar tengah hari dan bakal memilih jalur Mandirancan. Aku mengatakan kepadanya untuk bertemu di stadion saja. Opsi tersebut lebih nyaman untuk kami ketimbang bertemu di tengah perjalanan menuju Kuningan.

BACA JUGA:  Thiago Silva Menantang Usia

Beruntung, saat meminta izin dari atasan, prosesnya berjalan mudah. Alasan yang kupilih sederhana saja, ada keperluan. Ya, keperluan untuk nonton pertandingan sepakbola. Walau saat itu aku sedang berpuasa, tapi aku nekat saja.

Setelah izin dikantongi, aku bergegas merapikan barang bawaan sebelum berjumpa klub yang amat kucintai, PSS. Di tengah perjalanan, aku mampir ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) buat mengisi bensin sekaligus ganti baju. Tanpa malu-malu, kuganti seragam kantorku dengan jersi PSS. Rasanya bahagia sekali.

Memakan waktu sekitar 45 menit, aku akhirnya tiba di kota Kuningan. Langsung saja kugeber sepeda motorku menuju kompleks Stadion Mashud Wisnusaputra. Sesampainya di sana, telingaku menangkap bunyi-bunyian yang tak asing dari para pendukung PSS. Yel-yel dan tabuhan drum terus bergemuruh sore itu. Mataku menangkap antusiasme luar biasa dari para supoter Super Elja.

Usai memarkir kendaraan, aku buru-buru mencari tiket pertandingan. Sebetulnya, ada banyak sekali calo yang wara-wiri menawarkan tiket, tapi aku bergeming. Aku enggan membeli tiket dari mereka sebab harganya bisa melonjak dua kali lipat.

Aku pun bertanya kepada suporter PSS yang sudah ada di sekitar stadion. Mujur, salah seorang fans, kalau tidak [salah berasal dari komunitas Capitale, bersedia mengantarku menuju loket pembelian tiket. Tanpa ragu, aku menyapa petugas penjual tiket dengan bahasa Sunda.

Teh, tiketna hiji nu ekonomi sabaraha?

(Berapa harga satu tiket untuk tribun ekonomi?)

Petugas penjual tiket yang seorang wanita itu agak tertegun sambil menjawab, “20 ribu A’. Geuning urang Sleman tiasa nyarios Sunda.”

(20 ribu. Orang Sleman, kok, bisa bicara bahasa Sunda).

Abdi mah lain Sleman, Teh. Tapi abdi urang Cirebon.”

(Aku bukan orang Sleman melainkan orang Cirebon).

Jawaban tersebut bikin petugas penjual tiket itu tersenyum simpul seraya menyerahkan selembar tiket yang kutebus dengan uang 20 ribu Rupiah.

Sembari menunggu jalannya sepak mula pertandingan yang berlangsung beberapa saat pasca-solat Ashar, aku mencari tempat ibadah karena azan sudah menggema. Beruntung, di dekat loket penjualan tiket terdapat sebuah musholla.

Usai menunaikan kewajiban, barulah aku melangkahkan kaki ke dalam Stadion Mashud Wisnusaputra. Tak lupa, aku juga terus berkomunikasi dengan Mas Firman untuk menanyakan keberadaannya.

Ketika sepak mula dilakukan, sorak-sorai di stadion makin terasa. Atmosfer ini pula yang membuatku tak fokus pada aksi Super Elja di atas lapangan. Maka jangan heran bila aku cuma mengingat nama Dave Mustaine, Rifal Lastori, Slamet Budiono, dan Tambun Naibaho sebagai bagian skuad PSS ketika itu.

Seruan, “Ale..Ale..Ale”, terdengar lantas di sekitar stadion. Aku pun larut dalam euforia tersebut selepas Slamet mencetak gol.  Bersamaan dengan itu, Mas Firman menghubungiku dan memberi tahu di mana ia berada. Tanpa canggung, Mas Firman pun menunggu kedatanganku.

BACA JUGA:  Dengan atau Tanpa Irfan Jaya, Super Elja Harus Terbang

Seiring dengan berjalannya laga, chant-chant terdengar semakin nyaring di angkasa. Ada sejumlah chant PSS yang kuhafal dan dengan mudah kunyanyikan. Babak pertama dari laga PSS kontra Persiwa sendiri berujung dengan skor 1-0 bagi keunggulan Super Elja. Tatkala wasit meniup peluit tanda berakhirnya babak pertama, aku hanya bisa merenung.

Aku lantas menghampiri Mas Firman yang saat itu menonton bersama sanak saudaranya dari Cirebon. Usai berbincang cukup lama, terdengar suara dari Capotifo PSS yang meminta para suporter Super Elja untuk berkumpul di tribun belakang gawang buat menyanyikan chant bersama-sama.

Eman adoh-adoh wes tekan kene, mosok mung meneng thok. Hayo mbengok nyanyi nggo PSS.”

(Sudah jauh-jauh ke sini, masa kita diam saja. Ayo berteriak, bernyanyi untuk PSS).

Babak kedua dimulai, aku dan Mas Firman beserta keluarganya sudah ada di tribun belakang gawang sembari mengikuti arahan chant dari Capotifo. Beberapa kali juga aku mendengar umpatan-umpatan yang meluncur karena rasa tidak puas dengan keputusan wasit di lapangan. Mujur, PSS akhirnya membawa pulang kemenangan lantaran skor tidak berubah hingga peluit akhir dibunyikan.

Pada momen itu juga, para penggawa PSS mendekati tribun di mana kami berada untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan. Mengikuti instruksi Capotifo, kami lantas menyanyikan anthem Sampai Kau Bisa.

Buatku, ini adalah momen yang paling esensial karena selama ini cuma bisa mendengarkannya via laman berbagi video. Jujur saja, anthem ini bikin aku meneteskan air mata sebab berisi tentang cinta dan dedikasi yang luar biasa untuk PSS.

Witing tresno jalaran soko kulino.

(Cinta tumbuh karena terbiasa).

Aku teringat akan pepatah Jawa tersebut. Ternyata benar adanya bila cinta dapat bertumbuh karena kita terbiasa dekat, bertemu dan berkumpul. Aku sendiri terbiasa mendengar anthem Sampai Kau Bisa dan akhirnya jatuh cinta kepada PSS walau tumbuh di sebuah kota di timur laut Jawa Barat dan mayoritas mendaku diri sebagai suporter Persib.

“Ketika Anda mulai mendukung sebuah klub, Anda tidak mendukungnya karena piala, pemain atau sejarah. Anda mendukung karena Anda menemukan diri Anda pada klub tersebut.”

Kalimat itu meluncur dari bibir legenda Arsenal dan tim nasional Belanda, Dennis Bergkamp. Bagiku, apa yang diucapkannya sangat tepat dan pasti banyak juga orang yang merasakan itu. Aku, selalu merasa bahwa ada keterikatan antara diriku dengan PSS. Oleh sebab itu aku mendukung mereka kemarin, saat ini, besok, dan selamanya.

Komentar