Cuma Ada Satu Diego Maradona

Tahun 2020 segera berakhir, tetapi ada jutaan kisah di tahun ini yang bikin kita menangis. Bagi penggemar sepakbola, kepergian bintang tim nasional Argentina di Piala Dunia 1986, Diego Armando Maradona, tentu salah satunya.

Mendengar kabar berpulangnya pria boncel dengan magis luar biasa kala beraksi di atas lapangan itu membuat saya saya teringat potongan kalimat pembuka dalam film dokumenter World Cup Legends: Maradona, “Apa yang membuat seseorang menjadi legenda?”.

Pertanyaan ini terasa pas untuk bekas penggawa Barcelona dan Napoli tersebut. Apakah itu diakibatkan kemampuannya mengolah bola? Karisma agungnya di atas lapangan? Kontribusi apiknya bagi tim? Atau hal-hal ajaib lainnya? Well, Maradona memang memiliki semua perangkat yang bikin namanya pantas didapuk sebagai legenda dari lapangan hijau.

Kejeniusannya tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah seniman yang mengukir keindahan di lapangan dengan kaki kiri ajaibnya. Gocekannya maut, kecepatannya aduhai, insting mencetak golnya eksepsional.

Maradona adalah pesona tak terperi yang pernah ada dan menghiasi tiap jengkal lapangan. Sosok kelahiran Lanus tersebut adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk Argentina, untuk kita semua yang menggilai sepakbola.

Iblis dan Malaikat

Satu hal yang sulit dilupakan darinya, tentu aksi memukau dalam laga melawan Inggris di perempatfinal Piala Dunia 1986. Konon, dua gol yang diciptakan Maradona pada laga tersebut menjadi gambaran ia yang sebenarnya. Sepasang gol bersejarah itu menjadi simbol dari dua sisi wajah Maradona yakni iblis yang serentak dengan malaikat.

Gol pertama ia ciptakan dengan begitu licik dan penuh tipu daya, buah dari kejeniusan yang ada padanya. Selain memiliki kaki kiri maut, tangan kirinya juga punya tuah luar biasa. Ia mengecoh mata jutaan orang dengan sentuhan tangan yang berhasil menjebol gawang Peter Shilton.

Wasit pun tak mampu melihat aksi culas tersebut karena lompatan Maradona yang dibarengi dengan colekan tangannya berlangsung hanya sepersekian detik.

Apes buat Inggris, saat itu belum ada Video Assistance Referee (VAR) sehingga pengadil lapangan tetap mengesahkannya. Namun pada akhirnya, sang megabintang mengakui bahwa gol itu memang dibuatnya dengan bantuan tangan.

“Gol itu tercipta berkat bantuan tangan Tuhan dan sedikit sentuhan kepala seorang Maradona”, ujarnya dalam sebuah wawancara.

Kejadian itu sendiri membuat majalah FourFourTwo Indonesia (edisi Juli 2006) menempatkannya pada urutan teratas dari ‘Unforgettable Moments’ dalam sejarah Piala Dunia. Sisi iblis Maradona terekam jelas dari momen yang satu ini.

Akan tetapi, Maradona seakan menebus ‘dosa’ dengan menciptakan gol kedua yang sangat indah. Melampaui nalar manusia ketika itu. El Pibe de Oro, julukannya, memamerkan kelihaian serta kejeniusannya dalam mengolah bola dan mengecoh lawan.

BACA JUGA:  Billy Gilmour dan Masa Depan Sepakbola Skotlandia

Dari separuh lapangan, ia menari-nari dengan bola yang lekat di kakinya, memperdayai para pemain Inggris yang lintang pukang dan lewat satu sentuhan manis, mencocor bola untuk menggetarkan jala Shilton lagi.

Siapapun yang melihat aksi tersebut, pasti terkagum-kagum karena prosesnya begitu menghipnotis dan memanjakan mata. Maradona menghadirkan eksotisme yang sundul langit. Terasa wajar kalau golnya yang satu ini lantas dianugerahi label sebagai Gol Abad Ini. Aura magis dalam gol keduanya ke gawang Inggris juga menerbangkan sisi malaikat dalam diri sang megabintang.

Lihat saja bagaimana teriakan sang komentator Victor Hugo Morales yang mengiringi liukan Maradona tersebut. “El genio del futbol mundial, y déjà el tercero, y va a tocar para Burruchaga. Siempre Maradona! Genio! Genio! Genio! Ta-ta-ta-ta, goolll!!! Goolll! Quieri llorar, Dios santo viva el futbol”.

Morales tampaknya mengalami ‘orgasme’ terbaik selama menjadi komentator sepakbola, dan Maradona-lah yang memberikannya.

Kita, sebagai penggemar sepakbola pun ikut menikmatinya. Hal ini persis seperti yang diungkapkan Maradona bahwa ia adalah pemain yang ingin memberikan rasa bahagia kepada semua orang.

Kemenangan atas Inggris disambut meriah, tak cuma oleh penggawa timnas dan pelatih Carlos Bilardo, tetapi juga rakyat Argentina. Mereka merasa itu sebagai pembalasan dendam yang setimpal atas kekalahan di Perang Malvinas empat tahun sebelumnya.

Maradona tampaknya sudah ditakdirkan untuk hal luar biasa semacam itu. Ia mencetak dua gol spektakuler, satu gol hasil kelicikan dan satunya buah kejeniusan.

Ia membalas kekalahan Argentina dalam perang yang mengorbankan nyawa dengan cara damai (baca: sepakbola). Ia memakai nomor 10, mengapteni timnya, dan mengalahkan Jerman di final secara dramatis, dan menjadi juara dunia di Meksiko pada usia emasnya. Sungguh kisah bak dongeng yang akan abadi diceritakan dari waktu ke waktu.

Oleh pencinta bola, ia dipuja bak dewa, diagung-agungkan bak seorang raja. Sebelum Argentina dikenal karena memiliki seorang Paus, Argentina dikenal lebih dulu karena sosok Maradona. Eksistensinya di lapangan hijau tidak saja menghibur, tetapi turut memberikan andil dalam sejarah sepakbola.

Majalah FourFourTwo Indonesia (edisi Oktober 2010) menjuluki Maradona sebagai ‘playmaker terhebat dari yang terhebat’. Tubuh mungil dan lingkar perut yang terus berkembang seiring perjalanannya kariernya tidak menjadi halangan bagi Maradona untuk beraksi di atas lapangan, sekalipun ia dikawal ketat oleh pemain bertahan tim lawan.

Kemampuannya dalam mengkreasikan serangan menjadikannya sebagai playmaker yang sempurna, tidak saja secara fisik, tetapi juga secara teknik dan visi bermain.

Tidak heran jika ia menerima banyak pernghargaan atas sumbangsihnya dalam dunia sepakbola. Salah satunya adalah cap tapak kaki dalam Walk of Fame abadi ‘Golden Foot 2003’ yang dipajang di Chinese Theatre, Los Angeles. Maradona bukan saja menjadi hadiah semesta untuk sepakbola Argentina, tetapi juga untuk dunia.

BACA JUGA:  Dendam yang Hampir Merenggut Nyawa Maradona

Simbol Perjuangan Napoli

Di sisi lain, selain kehebatannya dalam mengolah si kulit bundar, Maradona adalah ‘simbol perlawanan’. Dendam Argentina terhadap Inggris dalam perang Malvinas ia tuntaskan melalui sepakbola yang menandai rivalitas panjang antara kedua timnas tersebut dalam sejarah Piala Dunia. Namun yang paling mentereng, Maradona adalah simbol perlawanan rakyat Napoli atas dominasi kota-kota di Italia Utara.

Bersama Napoli, sebuah tim kaum buruh dari Italia Selatan, Maradona tampil meledak ibarat letusan gunung Vesuvius yang menghadap ke kota Napoli. Ia mengejutkan Italia dan Eropa, bahkan dunia dengan membawa I Partenopei menuju puncak kejayaan dengan raihan scudetto dan beberapa gelar lainnya.

Ia ‘tampak’ berjuang sendirian dan mengangkat tim itu menuju jajaran klub yang disegani pada masanya. Nyalinya tidak pernah menciut meski harus berhadapan dengan nama-nama beken seperti Juventus dengan Michel Platini-nya atau AC Milan dengan trio Belanda (Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco Van Basten). Itulah sebabnya, di Napoli, Maradona begitu dipuja.

Spanduk-spanduk dengan gambar wajahnya dan tulisan Il Nostro Dio sering mewarnai tribun penonton ketika Maradona tampil. Apapun hasilnya di atas lapangan, Maradona telah memenangkan hati para pencinta sepakbola. Tak heran jika di Argentina dan Napoli, menemukan mural dengan wajahnya sama mudahnya dengan menemukan kasus korupsi di Indonesia.

Kontroversi

Walau demikian, Maradona juga adalah manusia biasa, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia menyimpan banyak kontroversi yang mewarnai kariernya. Ia juga menyadari kelemahannya sebagai manusia yang mudah terlena dengan kesenangan sesaat pada masa kejayaannya.

Di sisi lain, Maradona mengerti bahwa kelihaian dan kemampuannya dalam bermain sepakbola bukan hanya perpaduan bakat alam, hasil latihan, dan kerja keras semata, melainkan juga anugerah dari Tuhan.

Itulah sebabnya, Maradona selau menunjukkan sisi religiusnya di lapangan hijau. “God makes me play well. That’s why I always make the sign of the cross when I walk out onto the field.”

Maradona memang telah pergi untuk selama-lamanya. Namun namanya akan abadi dan selalu mewarnai sejarah sepakbola sepanjang masa. Ia pernah berujar: “If I die, I want to be born again and I want to be a footballer. And I want to be Diego Armando Maradona again.” Ya, cuma ada satu Maradona di dunia ini, kecuali ia terlahir kembali.

Komentar
Penulis adalah seorang pendukung Barcelona yang mengagumi Fransesco Totti. Menyukai tinju dan sepakbola. Dapat disapa dengan ramah di Facebook dengan akun Monteiro Van Halle.