Doping Seharusnya Dilegalkan?

Nama Eufemiano Fuentes barangkali tidak terdengar familiar di telinga awam. Akan tetapi, ceritanya akan lain ketika kita menyebut namanya di kalangan pelaku olahraga. Di kalangan tersebut, ia adalah seorang dokter jenius yang mampu membuat seorang atlet tampil lebih baik dan memiliki banyak pelanggan.

Pada Desember 2010, Fuentes yang memiliki tempat praktik pribadi di Madrid ini ditangkap oleh kepolisian Spanyol pada dalam sebuah operasi yang diberi nama Operation Puerto. Fuentes ditangkap karena dicurigai terlibat dalam skandal doping yang melibatkan banyak atlet profesional, terutama para pebalap sepeda yang berkompetisi di Tour de France. Saat ditangkap, di tempat praktiknya ditemukan substansi-substansi terlarang (baca: doping) yang telah dikotak-kotakkan sesuai dengan nama atlet yang menjadi pelanggannya.

Pada kesempatan yang tak berselang jauh dari penangkapan tersebut, sebuah pernyataan mengejutkan dunia persepakbolaan meluncur dari mulut Fuentes. Dalam pernyataan yang berbau pledoi tersebut, ia berkata, “Jika aku buka mulut, gelar juara Piala Dunia 2010 milik Spanyol akan dicabut.”

Dunia sepak bola, khususnya sepak bola Spanyol pun geger. Untuk meredam berbagai spekulasi yang meresahkan, Cristiano Ronaldo dan Vicente del Bosque, dua nama penting yang berkecimpung di persepakbolaan Spanyol, sampai harus turun tangan untuk menyatakan bahwa sepak bola 100% bersih dari doping. Benarkah demikian?

Doping dalam dunia sepak bola

Konon, doping berasal dari kata ‘dop’, yang merupakan sebutan untuk minuman beralkohol yang dibuat oleh pasukan perang suku Zulu dari kulit anggur. Minuman ini dipercaya mampu meningkatkan kekuatan mereka saat sedang berperang. Dalam konteks kekinian, doping dipahami sebagai upaya ilegal untuk meningkatkan performa seorang atlet, baik dilakukan oleh atlet itu sendiri atau orang lain (pelatih, dokter tim, fisioterapis dll), baik secara sengaja maupun tidak.

Penggunaan doping dalam sepak bola pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan pemain Arsenal bernama Bernard Joy. Dalam sebuah wawancara dengan majalah ‘Forward Arsenal’ pada tahun 1952, Joy mengungkapkan bahwa pada musim 1924-1925, dalam laga Piala FA antara Arsenal dan West Ham, para pemain Arsenal menenggak sesuatu yang ia sebut sebagai “Peps Pill”.

Tak lama setelah Joy ‘berkicau’, tepatnya pada tahun 1954, kontroversi lain mencuat ke permukaan. Kontroversi itu muncul pada final Piala Dunia 1954 yang mempertemukan Jerman Barat dan Hungaria. Ketika itu, tim generasi emas Hungaria yang berisikan para pemain legendaris seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, dan Zoltan Czibor, harus menyerah 2-3 dari tim Jerman Barat. Sesaat setelah pertandingan usai, secara tak sengaja – entah oleh siapa, ditemukanlah banyak jarum suntik di ruang ganti pemain Jerman, yang sejatinya merupakan tim underdog pada pertandingan tersebut.

BACA JUGA:  Sepiring Gudeg, Tongseng, dan Nasib (Gizi) Atlet Indonesia

Dalam suatu investigasi yang dilakukan oleh seorang peneliti bernama Erikk Eggers, terbukti bahwa tim Jerman telah melakukan penyuntikan obat bernama ‘Pervitin’ ke tubuh para pemainnya. Obat tersebut sebelumnya juga pernah digunakan oleh tentara Nazi pada Perang Dunia II sebagai penghilang rasa takut.

Kontroversi penggunaan doping, apabila ditelusuri sejak 1954 hingga 50 tahun berikutnya akan menghasilkan daftar yang sangat panjang. Sebagai contoh, Grande Inter-nya Helenio Herrera tahun 1960, Ajax Amsterdam-nya Rinus Michael tahun 1967, Franz Beckenbauer tahun 1977, Zico tahun 1987, dan Maradona di Piala Dunia 1994 tak lepas dari tuduhan penggunaan doping. Jika diteruskan, daftar ini masih sangat panjang lagi, sepanjang lengkingan Mariah Carey yang mencapai delapan oktaf itu.

Daftar substansi dan metode yang dilarang oleh WADA (World Anti Doping Association) (Courtesy : www.medscape.com)
Daftar substansi dan metode yang dilarang oleh WADA (World Anti Doping Association) (Courtesy : www.medscape.com)

Dalam sebuah artikel berjudul ‘FIFAs approach to doping in Football’, disebutkan bahwa FIFA dengan tegas melarang dan akan menindak tegas segala praktik doping. Upaya melawan doping ini dirintis pada tahun 1999, saat diselenggarakannya Piala Dunia U-17 di Selandia Baru. Saat itu, masing-masing dua pemain dari semua negara peserta dipilih secara acak untuk dilakukan pengecekan darah untuk menentukan apakah terdapat substansi doping atau tidak di darah mereka. Namun, tidak representatifnya jumlah sampel yang diambil membuat hasil penelitian pun menjadi inkonklusif.

Pada tahun 1999 s/d 2005, di semua ajang yang dihelat oleh FIFA, terdapat 3327 pemain yang dites doping. Dari jumlah ini, hanya ditemukan empat pemain yang positif menggunakan substansi yang dilarang. Angka ini tergolong sangat rendah, akan tetapi, perlu diingat sekali lagi, hanya mengambil dua dari 23 pemain yang didaftarkan jelas tidak representatif secara jumlah dan tidak signifikan secara statistik.

Dalam artikel berjudul ‘Drug Use in English Professional Football’, disebutkan bahwa pada musim 2002/03, pernah ada suatu penelitian tentang pengetahuan pemain terhadap penggunaan obat-obatan di kalangan pesepak bola yang melibatkan 706 pemain dari berbagai divisi Liga Inggris. Hasilnya, 49% merasa yakin bahwa sepak bola bersih dari doping, 34% merasa yakin bahwa ada pemain yang menggunakan doping dan 6% tahu siapa saja pemain yang kira-kira menggunakan doping. Dari total 706 pemain tersebut, hanya 65% yang mengaku pernah dicek darahnya untuk mengetahui keberadaan substansi doping di tubuh mereka.

BACA JUGA:  Edgar Davids dan Kacamatanya

Kontroversi Doping

Doping dilarang karena dianggap sebagai sebuah bentuk kecurangan. Selain itu, doping juga memiliki dampak buruk terhadap kesehatan pemain. Seperti kita ketahui bersama, beberapa orang memiliki keuntungan genetis dibanding orang-orang lainnya. Misalnya, pesepak bola asal Afrika umumnya memiliki kepadatan tulang dan kekuatan otot yang lebih baik daripada ras lainnya di muka bumi. Oleh karena itu, jamak sekali kita menemukan pemain-pemain Afrika memainkan peran yang sangat mengeksploitasi fisik.

Sebaliknya, pesepak bola dari Asia semisal Jepang dan Korea sadar betul bahwa mereka tidak akan mampu mengungguli kekuatan fisik pemain-pemain Afrika atau keunggulan teknik pemain-pemain dari Amerika Latin. Sebagai kompensasi, para pemain Asia cenderung bermain lebih ulet dan rajin untuk menutupi kekurangan mereka dalam hal kekuatan tubuh dan kemampuan teknik.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kita pada kesimpulan bahwa otot yang kuat tidak hanya merupakan keuntungan genetis. Untuk memperbesar dan memperkuat otot, kita bisa berlatih di pusat kebugaran serta mengonsumsi makanan dan minuman kaya protein (terutama protein golongan Branched Chain Amino Acid). Melalui cara ini, pemain-pemain non-Afrika pun akhirnya mampu menyamai kekuatan fisik pemain dari Afrika.

Contoh lainnya, orang-orang yang lahir di pegunungan memiliki sel darah merah yang lebih banyak untuk mengkompensasi jumlah oksigen yang lebih sedikit. Orang yang tidak lahir di pegunungan bisa mengakali tubuhnya agar memiliki jumlah sel darah yang sama dengan orang pegunungan dengan menyuntikan Erythropoietin (EPO). EPO adalah zat yang dikeluarkan oleh ginjal untuk memacu produksi darah merah.

Atas dasar inilah, beberapa ahli medikolegal bependapat bahwa doping seharusnya tidak boleh dilarang. Justru, doping seharusnya dilegalkan dengan regulasi yang ketat. Selain itu, riset untuk masalah ini juga harus digalakkan untuk mengetahui sejauh mana doping aman untuk digunakan, serta berapa batasan dosis doping yang mampu ditoleransi oleh tubuh sehingga tak mengakibatkan dampak buruk, khususnya di kemudian hari.

Legalisasi doping? Mungkin saja.

 

Komentar