Tentang Senjakala dan Sepak Bola

Hari Minggu (27/12) lalu saya menyempatkan waktu membaca kolom Bre Redana berjudul Inikah Senjakala Kami… yang kebetulan ditautkan dan banyak berceceran di linimasa media sosial. Membaca judulnya membuat saya paham bahwa mungkin saja, isinya tidak jauh dari sebuah pledoi.

Anda pernah membayangkan Louis Van Gaal membuat sebuah kolom pledoi terkait performa buruk Manchester United musim ini? Alhasil, apa yang tampak, mungkin, adalah seperti apa yang dituliskan Bre Redana. Sangat tendensius. Memuji diri sendiri. Penuh gengsi dan arogansi.

Senjakala seperti apa yang dimaknai Bre Redana dalam tulisannya, mungkin bukan senjakala yang benar-benar harus dikhawatirkan dan dikritisi dengan cara yang menyindir dan membuat jarak yang begitu besar antara wartawan yang satu dengan yang lain.

Bre Redana membagi jarak yang terasa dengan pemilihan frasa “kami” dan “mereka” dalam kolom tulisannya, seperti apa yang dikeluhkan Bayu Galih dalam blog pribadinya.

Menyebut media cetak sebagai sesuatu yang usang, mungkin ada benarnya. Namun poin tentang gagapnya para wartawan senior dalam menanggapi zaman yang semakin bergegas juga tidak serta merta membuat semua telunjuk sepakat menyalahkan zaman yang semakin digital dan para wartawan yang bekerja dengan teknologi yang makin mutakhir.

Lagipula, kualitas tulisan dewasa ini tidak hanya dinilai dari seberapa cepat atau lama ia ditayangkan. Banyak beberapa tulisan yang tayang langsung di media daring juga memiliki kompetensi yang bagus.

Saya percaya, penulis atau pun jurnalis yang baik, tentu tak ingin menghasilkan tulisan atau hasil reportase yang buruk. Terlepas ia tayang di media cetak yang menunggu terbit tiap pagi atau langsung muncul di versi daring dan mudah diakses setiap saat.

Saya teringat perbincangan dengan Sirajudin Hasbi kapan hari yang berujar bahwa mungkin, salah satu alasan menurunnya grafik permainan Manchester United di bawah Van Gaal karena taktik dan pembagian ruang ala Van Gaal memang sudah usang dan tidak aplikatif di zaman sepak bola modern yang semakin taktis dan tak jarang, sangat pragmatis.

Lebih lanjut lagi, salah satu kutipan dari Arsene Wenger di konferensi pers jelang laga melawan Southampton akhir pekan lalu juga cukup menarik. Wenger berujar bahwa dewasa ini, menguasai dan mengontrol permainan tidak serta merta menjamin kemenangan dan dominasi mutlak. Masokis berlebih terhadap penguasaan bola menjadi sesuatu yang tak lagi menjamin sebuah tiga angka dan gelar juara.

Cukup masuk akal ketika kemudian orang-orang seperti Louis Van Gaal dan Arsene Wenger kerapkali disebut ketinggalan zaman dan sangat usang. Namun memaknai senjakala dalam sepak bola dengan berubahnya taktik yang makin kompleks dan dimensi permainan di lapangan yang semakin banyak, tentu tidak sepenuhnya benar.

BACA JUGA:  Geliat Sepak Bola di Sokola Rimba dan Sokola Asmat

Pelatih dan tim manapun tentunya akan beradaptasi dan berubah dengan menyesuaikan zaman. Sebutlah, Barcelona. Kultur menyerang selalu ada. Perubahan dan revolusi pun dibawa secara berkala oleh para pelatih yang datang dan pergi.

Apakah zaman sepak bola modern yang makin bergegas dan semakin pragmatis membuat Barcelona yang ofensif itu mati suri dan kering prestasi?

Sebagai pembaca rutin beberapa kolom bola baik di media cetak dan daring, saya tidak menemukan masalah terhadap keduanya. Beberapa ulasan dan berita di halaman olahraga di beberapa surat kabar nasional tetap menarik minat saya untuk dibaca tiap harinya. Sebutlah halaman Sportivo di Jawa Pos, misalnya.

Kalau kemudian kami—para anak muda digital—lebih sering berselancar di dunia maya dan membaca berita bola di internet, bukan berarti kami alpa sepenuhnya terhadap media cetak. Kalaupun Tabloid Bola dan Soccer masih tayang, saya akan dengan senang hati membeli dan membacanya tiap minggu mereka terbit. Apalagi dengan bonus poster pemain bola, ya.

Media cetak, atau lebih spesifiknya, jurnalisme, tidak pernah benar-benar mati. Sama dengan sepak bola. Platform medianya memang akan bergeser, dari yang menunggu cetak dan terbit di pagi hari, menjadi serba praktis dengan tayang tiap menit dan tiap jam di versi daring.

Lagipula, berita liputan dan segala hal yang ditulis dengan bagus entah di cetak atau daring, akan selalu menarik minat pembaca. Masalahnya adalah di kemauan untuk membaca bagi para pembaca dan seberapa cakap wartawan saat ini menyesuaikan diri dengan zaman yang makin bergegas.

Bre Redana tak perlu menjadi megalomaniak dengan kolom tulisan yang menepuk diri sendiri dengan bangga dan men-sufi-kan posisi wartawan konvensional lebih suci dari wartawan media daring yang disebutnya hanya bermodal gawai pintar dan sangat multitasking.

Apa salahnya menjadi multitasker? Zaman yang menuntut kita harus mampu mengerjakan banyak hal dalam satu waktu bersamaan.

Orang-orang hanya berpindah membaca berita versi daring karena gawai pintar dan teknologi yang makin mutakhir memungkinkan untuk itu. Namun, para kuli tinta pun harusnya sadar bahwa selain akses yang mudah, berita yang ditayangkan atau dicetak di surat kabar tiap paginya harus memiliki suatu analisis, liputan atau isi yang baik pula guna menarik minat baca.

BACA JUGA:  Fanatisme Semu di Sidoarjo

Sebagai pembaca, terlepas saya membaca berita versi cetak atau daring, standar berita yang ingin saya baca dan ketahui tentu harus baik dan berkualitas. Saya dan kita semua para pembaca, memiliki hak untuk sebuah bacaan berkualitas baik di koran cetak atau daring.

Saya pernah merutuki sepak bola modern yang semakin pragmatis dan membosankan. Mengedepankan hasil dan mengabaikan proses. Tak penting gaya main dan filosofi sebuah tim, selama tiga angka bisa diamankan dan gelar juara di tangan.

Apakah layak fenomena ini disebut sebagai senjakala bagi sepak bola menyerang? Walaupun dengan fakta bahwa Barcelona musim lalu begitu mendominasi Spanyol dan Eropa dengan trio MSN-nya yang sangat ofensif?

Sepak bola, laiknya jurnalisme, hanya berpindah platform saja. Beberapa orang menyukai permainan pragmatis karena yang menjadi penting adalah juara. Lagipula, sebagai sebuah kompetisi, sepak bola pun hanya mencari pemenang pertama, bukan pecundang yang menjadi juara kedua dan seterusnya.

Orang-orang usang seperti saya, yang begitu mendewakan sepak bola menyerang  pun dipaksa menerima keadaan ini. Saya pun diam-diam, sambil menahan perut mulas, harus menyaksikan Arsenal bermain pragmatis di beberapa pertandingan terakhir dan tidak perlu protes berlebihan.

Saya memang pernah menulis sebuah esai berjudul “Kenapa Sepak Bola (Harusnya) Menarik?”. Namun guna menyebut tulisan itu sebagai sebuah senjakala sepak bola menyerang tentu tak sepenuhnya benar dan sahih.

Sepak bola, dengan segala perubahannya akan selalu ditonton tiap pekannya. Bukan tanpa alasan kenapa sepak bola adalah olahraga yang begitu digandrungi milyaran orang di kolong langit ini.

Penghujung tahun 2015 mendekati klimaks dan kalender baru di tahun 2016 akan menyapa dalam hitungan jam. Media cetak banyak yang berhenti naik cetak, pun sama dengan beberapa tim dengan filosofi menyerang yang masih meredup. Sebutlah AS Roma dan Arsenal.

Saya bahkan masih duduk di SD dan SMP saat kedua tim tersebut terakhir menjuarai Liga. Namun sekali lagi, perlukah ini ditanggapi dengan sebuah kalimat “senjakala”?

Sepak bola akan beradaptasi dengan zaman. Sebagai jenis permainan yang konon sudah ada sejak zaman Romawi kuno, sepak bola bertahan cukup lama hingga tahun 2015 ini dengan segala evolusi dan berbagai perkembangannya dari masa ke masa. Sepak bola tidak akan pernah benar-benar mati.

Waktu yang fana, sepak bola abadi.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.