Anda mungkin berpikir judul ini berlebilan. Atau mungkin juga ada yang skeptis, cuek atau bahkan tidak percaya, kok bisa-bisanya saya begitu menyukai sebuah klub di liga Inggris yang jelas kalah populer dengan Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea atau bahkan Manchester City yang cenderung punya basis suporter besar di Indonesia.
Awal Mula Perkenalan dengan Sepak Bola
Petualangan cinta saya dengan sepak bola dimulai tahun 1992 tepatnya gelaran Piala Eropa 1992 di Swedia, waktu itu usia saya masih sembilan tahun.
Ketika itu semifinal mempertemukan Denmark vs Belanda, yang mana dalam pertandingan itu harus diselesaikan melalui adu penalti. Bukan Peter Schmeichel, Brian Laudrup, Ronald Koeman atau bahkan Van Basten yang membuat saya tertarik, tetapi adalah sosok penendang terakhir dan penentu kemenangan dari Denmark yang bernama Kim Christofte.
Tendangan penaltinya berhasil mengecoh kiper Belanda Hans van Breukelen. Selebrasinya yang berputar-putar di area penalti kemudian melompat sambil mengepalkan tangannya membuat saya benar-benar tersihir. Jederrr… saya seperti telah sadar bahwa inilah olahraga yang paling saya sukai, sepak bola. Kenangan luar biasa.
Seingat saya, selebrasi Kim Christofte juga sempat menjadi penutup acara Planet Football pertengahan tahun 1990-an di RCTI. Acara sepak bola yang biasa dibuka dengan tayangan astronot sedang bermain bola di bulan itu.
Dan tahun 1993, dimulailah petualangan mencari klub idola. Saat itu liga yang paling kondang adalah Liga Italia.
Pilihan jatuh pada AC Milan yang pada musim 1992/1993 dan 1993/1994 berhasil meraih Scudetto. Ya, hanya gara-gara Milan juara saya jadi tifosi Milan, meski tidak terlalu fanatik. Dan dengan setia terus mengikuti kabar berita klub tersebut. Apalagi kalau disiarin televisi, pasti saya duduk paling depan.
Sampai sekarang-pun saya masih tifosi AC Milan. Dan skuat favorit saya di Milan adalah musim 1997/1998 dan musim 1998/1999.
Musim 1997/1998, meski Milan terdampar di posisi 10 tetapi saya sangat suka dengan pemain-pemain seperti Dario Smoje, Steinar Nielsen, dan pemain yang kelak menjadi siluman dari Venezia, Filippo Maniero.
Untuk musim 1998/1999, ditandai dengan kedatangan Mr. 3-4-3, Alberto Zaccheroni plus pemain-pemain bawaannya seperti Luigi Sala, Thomas Helveg, Andres Guglielminpietro, si Golden Head Oliver Bierhoff ditambah pemain muda seperti Massimo Ambrosini, Francesco Coco plus musim debutnya kiper Christian Abbiati. Mereka akhirnya Scudetto lagi.
Awal Mula Sejarah Menjadi Pendukung The Boro
Saya tak sekadar mengikuti Liga Italia, tapi juga menyimak Liga Inggris. Tepatnya pada musim 1995/1996, pergerakan mata saya bergeser ke Liga Inggris dan akhirnya untuk pertama kali saya mendengar nama Middlesbrough FC. Saya masih kelas 6 SD saat itu.
Ketika itu ada berita tentang Middlesbrough yang baru promosi ke Premier League mengalahkan salah satu tim kuat saat itu, Chelsea. Saat itu Boro mengalahkan Chelsea 2-0 di Riverside Stadium. Pencetak golnya Craig Hignett dan Jan Aage Fjortoft. Dan Craig Hignett tercatat dalam sejarah sebagai pencetak gol pertama di kandang Boro yang baru, Riverside Stadium.
Pekan demi pekan kemudian berlanjut hingga akhirnya terdengar lagi berita heboh datang dari Middlesbrough yang pada bulan Oktober berhasil merekrut hot prospect dari Brasil bernama Osvaldo Giroldo Junior alias Juninho a.k.a Little Fella. Tak ada yang menduga dia mau bergabung ke Middlesbrough karena begitu banyaknya tim besar Eropa ingin meminta tanda tangannya.
Saat itu sedikit demi sedikit saya mulai tertarik dengan klub tersebut. Hingga akhirnya bulan Februari 1996 saya memproklamirkan diri menjadi seorang Borofan.
Apa alasannya? Apakah dilatih oleh legenda Inggris Bryan Robson? Ada Juninho? Jawabnya bukan. Jujur saja saya sangat dipengaruhi oleh pencetak gol pertama di Riverside Stadium, iya nomor punggung 21, Craig Hignett.
Saya sangat menyukai permainannya. Seorang striker yang digeser menjadi gelandang tetapi mampu bermain sangat bagus dan punya tendangan mematikan. Pernah suatu ketika saya menyapanya di Twitter dan dia membalasnya! Meski musim itu Boro finis di urutan 12 tetapi inilah klub kebanggaan saya. Saya adalah Borofan.
Cerita yang penuh kejutan
Musim 1996/1997, ekspektasi saya saat itu sangat tinggi sekali. Musim itu bisa dibilang adalah momen paling heboh dalam kehidupan saya sebagai suporter sepak bola terutama menjadi pendukung Middlesbrough.
Bagaimana tidak, saat itu Boro merekrut si White Feather, Fabrizio Ravanelli dari Juventus, mengikat penggawa timnas Brasil Emerson ditambah adanya Juninho dan Craig Hignett, Boro saya prediksi bisa membuat kejutan di Liga Inggris, paling tidak mereka bisa lolos ke kompetisi Eropa.
Tapi apa yang terjadi? Mereka malah terdegradasi. Dua kesempatan emas mendapatkan Piala FA dan Piala Liga-pun juga gagal setelah di final dikalahkan Chelsea dan Leicester City. Lengkap sudah derita saya.
Saya menangis saat itu. Bagi saya degradasi adalah seperti kiamat buat saya. Saat itu belum ada yang namanya internet. Informasi hanya diperoleh dari tabloid BOLA, GO atau harian cetak. Dan tentu saja berita-berita mereka paling banyak dimuat dari klub-klub teratas Liga Inggris, bukan Divisi bawah. Kesempatan melihat siaran langsung di TV-pun semakin tipis. Tapi percayalah, saya begitu setia dengan Middlesbrough.
Meski begitu ada kenangan pertandingan Boro yang masih melekat di kepala yaitu pertandingan semifinal FA Cup antara Middlesbrough vs Chesterfield. Disiarin TV membuat saya bisa langsung melihat aksi-aksi pemain Middlesbrough sebelum mereka drop ke First Division.
Ketinggalan 0-2, berhasil membalas lewat Ravanelli dan Hignett, unggul lewat sundulan Gianluca Festa saat perpanjangan waktu, tapi pada menit akhir Extra Time, Chesterfield berhasil menyamakan kedudukan.
Sangat seru dan membuat jantung dagdigdug. Pertandingan harus di-replay dan Boro menang 3-0. Di final, Boro dikalahkan Chelsea 0-2 lewat salah satu gol jarak jauh dari Roberto Di Matteo.
Dan musim 1997/1998 dibuka dengan perginya pilar-pilar Boro. Ravanelli, Emerson dan Juninho. Musim itu benar-benar kering berita tentang Middlesbrough. Saya tidak tahu siapa saja pemainnya. Seingat saya hanya ada dua berita transfer yang melibatkan Middlesbrough dimuat di media, yaitu ketika Boro mengincar pemain Barcelona Jose Maria Bakero dan Dion Dublin dari Coventry City, meski akhirnya gagal semua.
Tetapi sedikit terobati ketika Piala FA melawan Arsenal ditayangkan TV, saya jadi tahu siapa saja pemain Boro saat itu. Ternyata ada Magic Man Paul Merson, kapten Andy Townsend dan Gianluca Festa tetap bertahan. Di pertengahan musim ada tambahan pemain seperti Hamilton Ricard, Marco Branca dan si Badut, Paul Gascoigne.
Dan prestasi waktu itu adalah lolos ke final Piala Liga setelah di semifinal mengalahkan Liverpool –berita saya peroleh dari RRI, tapi lagi-lagi di final kalah dari Chelsea 0-2.
Tapi berita paling heboh saya peroleh dari koran Kedaulatan Rakyat yang memberitakan kalau Middlesbrough berhasil promosi lagi ke Premier League. Saat itu saya seperti orang menang togel, meloncat-loncat kegirangan karena saya akan lebih mudah dekat lagi dengan Middlesbrough. Semangat kembali terbakar karena saya akan lebih sering melihat aksi-aksi dari para pemain Middlesbrough di televisi.
Dari musim ke musim jelas saya selalu mengikuti berita apa pun mengenai Middlesbrough. Termasuk musim 1998/1999 yang Boro tidak memperpanjang kontrak pemain favorit saya Craig Hignett. Tapi saya tetap bergeming, Middlesbrough adalah klub favorit saya meski kehilangan sosok terbesar kenapa saya menjadi Borofan, dan Craig Hignett tetap pemain pujaan saya dimana pun dia bermain.
Antara musim 1998/1999 sampai musim 2004/2005 sebenarnya banyak yang bisa saya ceritakan, tapi nanti panjang sekali, oleh karena itu saya akan langsung ke musim 2005-2006. Kenapa?
Karena musim itu adalah musim fenomenal Middlesbrough di Eropa. Tepatnya Piala UEFA yang mana Boro berhasil menembus final.
Pertandingan perempat final vs Basel dan semifinal vs Steau Bucharest adalah pertandingan paling heroik dalam sejarah Middlesbrough.
Bagaimana tidak, Middlesbrough secara agregat ketinggalan 0-3 tapi bisa membalikkan keadaan dan menang. Hanya menonton cuplikannya saja, sampai sekarang saya masih bergetar bangga.
Sundulan terbang Massimo Maccarone menjadi ikon kala itu, ditambah suara komentator Allie Brownlee –komentator Middlesbrough TV sejak 1968— begitu menggelora membuat suasana seperti mampu memenangkan Liga Champions.
Dan ketika itu setelah perempatfinal saya nazar untuk membuat jersey Middlesbrough jika mereka berhasil masuk final. Dan nazar saya terwujud. Saya bergerak cepat mencari kain-kain kaos sendiri, membuat gambar sablon dan sedikit memaksa seorang penjahit untuk menjahitkan kaos jersey saya.
Saya membuat tujuh potong jersey yang berbeda-beda. Bukan original tetapi saya sangat bangga memakainya. Persoalan jersey ini, saya pertama kali dapat jersey Boro tahun 2000. Yaitu jersey away musim 1999/2000. Buatan lokal harganya Rp 37.500 dan saya langsung beli dua potong. Sampai saat ini saya punya tiga jersey Boro original, lainnya GO dan buatan lokal.
Era emas Middlesbrough tak berlangsung lama. Musim 2008/2009 bencana terjadi lagi. Peralihan pelatih dari Steve McClaren ke Gareth Southgate belum begitu berhasil dan Boro degradasi lagi. Saya kembali diuji. Tetapi internet paling tidak, bisa membantu saya untuk update berita tentang Middlesbrough. Jujur tidak sedikit-pun kecintaan saya luntur bahkan ketika Middlesbrough dalam keadaan terburuk sekalipun.
Awal musim 2009/2010 kelihaian seorang Southgate telah terlihat, tapi ironis dia dipecat saat Boro ada di posisi empat klasemen dan hanya terpaut dua poin dari pemuncak klasemen.
Digantikan pelatih kondang Gordon Strachan, performa The Boro malah semakin menurun. Padahal amunisi Boro di bawah Strachan sangat mengerikan untuk ukuran Championship. Ada Kevin Thomson, Scott McDonald, Stephen McManus bahkan topskor Liga Skotlandia, Chris Boyd. Hingga akhirnya dia dipecat dan digantikan oleh pelatih favorit saya, Tony Mowbray, pahlawan lokal Middlesbrough yang sangat mencintai klubnya.
Era baru
Tony Mowbray masih belum beruntung hingga akhirnya digantikan mantan pemain no. 2 Real Madrid, Aitor Karanka (AK) sampai saat ini.
Dan sekarang saatnya Middlesbrough benar-benar siap kembali ke Premier League. Di bawah polesan AK, Boro menjadi tim yang kuat di Championship. Pengalaman mengalahkan duo Manchester juga menjadi kebanggaan tersendiri.
Musim lalu tinggal selangkah lagi promosi, tetapi terganjal Norwich City. Sampai sekarang saya masih belum mau melihat pertandingan final play-off musim 2014/2015. Bahkan saya hanya mengetahui hasil pertandingannya lewat running text TV yang saya tidak sengaja membacanya.
Saat itu saya benar-benar takut melihat hasil finalnya. Entah itu menunjukkan saya pengecut atau itu wujud kecintaan saya ke Middlesbrough karena saya tidak mau mendengar berita buruk tentang Boro saat itu.
Saya berjanji akan melihat pertandingan itu, tetapi menunggu Middlesbrough promosi dulu, karena itu adalah satu-satunya obat untuk menyembuhkan luka kekalahan menyakitkan itu.
Dan musim ini saya punya nazar akan bersepeda dengan sepeda lipatku, waktu siang hari dan panas, rute -+15km jika Middlesbrough berhasil promosi. Meski punya sepeda tetapi saya jarang bersepeda, dan itu tantangannya. Semoga terwujud.
Anda tentu bertanya kenapa saya tak membuat fanbase Middlesbrough Indonesia. Alasannya sederhana, kesempatan dan perangkat yang kurang mendukung jadi pengganjalnya.
Meski begitu saya punya hubungan dengan pendukung Middlesbrough yang ada di Indonesia. Untuk menyebut beberapa di antaranya adlaah Dimas Dhyara, Kristian Adi Putro, dan Gigih. Sedikit, tapi kami semangat untuk bertukar cerita mengenai The Boro.
Ada yang bilang, “tak peduli kamu mencintai klub itu dari kapan, tapi yang paling penting sampai berapa lamakah kamu akan bertahan bersama klub itu,” 20 tahun bukanlah waktu yang pendek, setidaknya saya bisa membuktikan saya berhasil bertahan dengan situasi apa pun yang terjadi dengan klub kesayangan saya dan dengan waktu yang akan terus bertambah.
Middlesbrough, it’s in the blood.
NB: Semoga lekas sembuh untuk Allie Bownlee.