Kalau Anda mencermati dengan teliti setiap lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan terbaik di negara ini, ada satu kata-kata penting yang tidak boleh tidak Anda lewatkan untuk dibaca dalam lembar lowongannya. Selain kualifikasi tentang latar belakang pendidikan yang baik, nilai akademis yang memukau, ada satu syarat mutlak yang biasanya dituliskan para perekrut karyawan yakni, “Putra-Putri Terbaik”.
Rekrutmen untuk para calon tentara dan petugas kepolisian pun biasanya juga akan dibubuhi dengan embel-embel kata “Terbaik” untuk para calon rekrutmennya yang baru. Mereka, entah para pemilik perusahaan atau para petugas seleksi di kepolisian dan militer, tentu menyeleksi seketat mungkin untuk mendapatkan calon-calon yang terbaik.
Semua hanya ingin yang terbaik. Tidak ada yang menginginkan untuk merekrut calon polisi atau tentara yang berkualitas buruk dan tidak pilih tanding.
Untuk mendaftar di kepolisian saja misalnya, Anda harus memiliki fisik tegap dan sehat. Tidak boleh bermata minus atau memiliki kelainan apa pun. Gigi harus bersih dan tidak ada lubang. Tidak boleh ada cacat sedikit pun di badan Anda.
Dan yang pasti, tidak boleh ada kekurangan di sisi akademis. Semua dipersiapkan untuk sebuah kesempurnaan, hanya, untuk menjadi tentara atau polisi.
Lalu, bagaimana dengan kita yang bermodalkan pas-pasan dan memiliki kualifikasi yang tidak cukup baik untuk menembus persyaratan itu? Bagaimana dengan kami-kami ini, para pecundang dengan nilai pas-pasan, dan gigi penuh lubang serta mata minus yang untuk operasi lasik pun perlu dana yang tak sedikit?
Mengetahui sekian banyak fakta tersebut, membuat teringat satu sosok yang ajaibnya, musim ini begitu bersinar sangat terang. Jauh lebih terang dari Pep Guardiola atau Luis Enrique sekalipun.
Dia bersinar di antara deretan pelatih kelas atas di Liga Inggris semisal Arsene Wenger, Louis Van Gaal, hingga Jose Mourinho (yang akhirnya dipecat Chelsea) dan Jurgen Klopp. Pria asli Roma, yang sepanjang karier melatihnya, lekat disebut pecundang.
***
“Ketika datang pada 2004 di Chelsea, orang bertanya kenapa saya yang datang. Jawabnya sederhana. Chelsea ingin menang dan itu tidak mungkin dicapai bersama Ranieri. Bukan salah saya, kalau kemudian ia (Ranieri) dianggap pecundang di Chelsea.”
Penggalan kalimat di atas adalah ucapan Jose Mourinho pada sebuah wawancara pada sekitaran bulan Mei tahun 2010 ketika ia masih bersama Internazionale Milano dan Claudio Ranieri masih membesut AS Roma.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Ranieri selama ia melatih Chelsea selain fakta bahwa ia yang mengambil keputusan jitu untuk merekrut Frank Lampard dari West Ham untuk kemudian waktu mengubahnya menjadi legenda terbaik Chelsea. Dia juga yang mendatangkan salah satu gelandang bertahan terbaik dunia dalam sosok Claude Makelele ke Stamford Bridge.
Satu hari setelah Roman Abramovich datang mengakuisisi klub pada tahun 2003, sang raja minyak Rusia langsung melakukan negoisasi kontrak dengan Sven-Goran Eriksson untuk melobi kemungkinan melatih Chelsea pada musim depannya. Dengan kondisi, Ranieri masih bercokol sebagai pelatih resmi Chelsea.
Tidak cukup sampai di situ, tekanan untuk Ranieri juga terlampau besar untuk ukuran sebuah tim yang dikucurkan dana besar tapi masih beradaptasi dengan pemain-pemain barunya saat itu.
Setelah setahun lebih berpolemik dengan kontroversi tentang Eriksson dan isu pemecatan, Ranieri melepas jabatannya dan menyerahkan kepada Jose untuk meneruskan sebuah pekerjaan yang dimulainya dan ia bangun dengan fondasi pemain yang cukup baik.
Ranieri meninggalkan fondasi yang bagus untuk memuluskan langkah Jose melakukan hegemoni yang panjang bersama Chelsea selama beberapa tahun di Inggris.
Ini yang orang abaikan, karena yang diingat adalah siapa yang membawa mereka menjadi juara, bukan siapa yang meninggalkan warisan fondasi untuk tim. Apa Anda ingat George Graham atau Bruce Rioch ketika membicarakan sejarah Arsenal yang sudah terlanjur melekat dengan sosok Arsene Wenger? Sesederhana itu.
Dan dongeng tentang pecundangnya Ranieri berlanjut di beberapa klub dan timnas yang sempat ia arsiteki. Valencia, AC Parma, Juventus, AS Roma, Inter Milan hingga AS Monaco pernah merasakan sentuhan The Tinkerman sebelum ia akhirnya menukangi timnas Yunani tepat setelah Piala Dunia 2014.
Anda tahu “prestasi” terbaik Ranieri bersama timnas Yunani? Dikalahkan Kepulauan Faroe di kandang sendiri dalam kualifikasi Euro 2016.
***
Bersama Leicester City musim ini, Ranieri adalah sosok yang baru. Semacam reborn. Ia menemukan semangat dan gairah yang baru bersama Leicester.
“Saya menyukai semangat para pemain Inggris, tapi, kamu tahu, saya seorang Italia. Dan kami (orang Italia) sangat suka segala hal tentang taktikal.” Sebuah kalimat yang memberi gambaran jelas bagaimana Leicester City bermain dengan sangat amat beringas musim ini.
Kesampingkan euforia lahirnya kembali efektifitas formasi klasik 4-4-2 ala Leicester City, karena Atletico Madrid asuhan Diego Simeone sudah melakukannya dengan baik dua tahun lalu kala menembus final Liga Champions dan menjuarai La Liga 2013/2014.
Yang ditawarkan Ranieri di Leicester adalah apa yang kita semua perlukan sebagai motivasi dan cerita hidup. Ranieri, sebagai sosok, melepaskannya sejenak dari keterikatan dengan Leicester City, adalah simbol dari para pecundang yang menemukan semangat dan gairah baru setelah bertahun-tahun hidup dalam sorot mata merendahkan dari banyak orang dan cap “Pecundang” yang melekat di kening.
Leicester pantas juara, bukan hanya karena mereka bermain sangat determinan dan begitu superior. Bukan hanya karena Jamie Vardy dan gelontoran golnya yang mengalir. Bukan hanya karena para pemain Leicester yang berlari lebih banyak dan lebih jauh dari para pemain Liga Inggris lainnya.
Leicester pantas juara, karena Ranieri. Leicester pantas juara, karena kami, saya dan mungkin Anda, menemukan diri kita bersama Ranieri. Leicester bukan tim kecil dan miskin. Ia memiliki bujet belanja yang jauh lebih banyak dari AC Milan sekalipun. Tapi Ranieri, membuat kita mampu memberi sebuah kepantasan untuk Leicester agar mereka juara musim ini.
Leicester City layak juara, lepas dari semua data statistik apa pun, karena Ranieri dan hasil kerjanya bersama Leicester adalah dongeng dari seorang pecundang yang bersiap menjadi pemenang.
Ia menangis haru selepas kemenangan 0-2 di kandang Sunderland (10/4). Sebuah air mata, yang mungkin, bisa diterjemahkan sebagai sebuah penantian panjang akan sebuah pengakuan. Momen yang layak ia dapatkan selama kariernya sejauh ini.
Ranieri jelas bukan Arrigo Sacchi. Ia tak akan mampu menyulap Leicester City bermain sebombastis Sacchi dan AC Milan pada masanya. Ia juga bukan sosok revolusioner macam Johan Cruyff atau Joseph Guardiola. Ia hanya pelatih biasa. Koleksi trofinya nihil, kecuali kalau capaian sebagai juara Ligue 2 bersama AS Monaco dan sederet prestasi peringkat kedua mau dimasukkan.
Di kecepatan lari beringas milik Jamie Vardy, di dalam gerak spartan N’Golo Kante, di balik umpan panjang ciamik milik Danny Drinkwater, di sela-sela liukan olah bola lincah Riyad Mahrez, dan di bawah komando matang sang kapten, Wes Morgan, Leicester City sangat layak juara musim ini.
Bukan buat apa-apa, bukan buat siapa-siapa. Hanya buat Claudio Ranieri.
Ranieri nangis. :") pic.twitter.com/gbcnRPlYkX
— FourFourTwo ID (@FourFourTwoID) April 10, 2016