Zona Amerika Selatan sudah begitu populer menjadi salah satu kiblat utama sepak bola dunia. Bersama benua Eropa, Amerika Selatan menjadi maharaja sepak bola di bumi. Tercatat, sembilan trofi Piala Dunia bersemayam di wilayah seluas 17.840.000 km2 ini usai diboyong pada 1930, 1950, 1958, 1962, 1970, 1978, 1986, 1994, dan 2002.
Sembilan trofi tersebut disumbangkan oleh Argentina (2 gelar), Brasil (5 gelar), dan Uruguay (2 gelar). Tanpa mengecilkan negara-negara lain di wilayah ini, ketiganya jelas menjadi kekuatan utama sepak bola Amerika Selatan. Apalagi triumvirat ini seakan tak pernah kehabisan talenta-talenta hebat di lapangan hijau.
Akan tetapi sebuah kejadian menakjubkan sekaligus memalukan sedang menimpa dua negara yang disebut terakhir. Pada gelaran Copa America Centenario 2016 di Amerika Serikat, baik Brasil maupun Uruguay secara mengenaskan harus angkat koper terlebih dahulu walau mereka dijagokan menggondol trofi juara.
Berada di grup B, Brasil harus puas duduk di tempat ketiga usai kalah bersaing dengan Peru dan Ekuador. Philippe Coutinho cs. hanya sanggup meraup empat angka hasil dari sekali menang, sekali imbang, dan sekali kalah. Kemenangan yang direngkuh kubu Selecao pun cuma berasal dari Haiti, negara undangan di turnamen ini dan hanya nangkring di peringkat 74 dunia (per Juni 2016).
Kontroversi gol tangan setan Raul Ruidiaz di partai terakhir penyisihan grup melawan Peru memang mewarnai ketersingkiran negara yang punya koleksi delapan titel Copa America ini. Namun suka tidak suka, Brasil kudu mengakui jika penampilan mereka sepanjang Copa America Centenario ini jauh dari kata memuaskan. Kegagalan yang juga menjadi penyebab dipecatnya sang pelatih, Carlos Dunga, oleh CBF (Federasi Sepak Bola Brasil).
Nasib serupa dialami Uruguay yang juga harus puas finis di peringkat tiga klasemen akhir grup C di bawah Meksiko dan Venezuela. Sepasang kekalahan dari El Tri dan La Vinotinto di dua laga perdana penyisihan grup menjadi penegas betapa bobroknya performa Uruguay di Copa America Centenario.
Luis Suarez, bintang Los Charruas, bahkan terlihat geram pasca-timnya secara mengejutkan ditumbangkan Venezuela dengan skor tipis 0-1. Kemenangan 3-0 atas Jamaika di partai pamungkas grup pun sia-sia. Ikhtiar Uruguay merebut gelar ke-16 mereka di turnamen Copa America pun menguap.
Efeknya, posisi Oscar Tabarez di balik kemudi timnas Uruguay pun dikabarkan terancam akibat keterpurukan ini meski dirinya telah menjadi juru taktik timnas selama satu dekade.
Satu-satunya triumvirat yang tersisa di Copa America Centenario hanyalah Argentina. Dibanding dua “rekannya” yang memble, sejauh ini Argentina dianggap sebagai salah satu penampil terbaik.
Anak asuh Gerardo Martino melaju ke babak knockout usai memuncaki klasemen akhir grup D dengan rekor tanding sempurna, tiga kali menang dari tiga kali bermain. Sepuluh gol dilesakkan Angel Di Maria dkk. sementara jala Sergio Romero cuma pernah bobol satu kali saja. Lionel Messi, alien utama kubu La Albiceleste bahkan tak sekalipun turun sebagai starter di tiga pertandingan yang dilakoni Argentina.
Indikasi bahwa Argentina bakal menjadi kampiun? Jangan buru-buru menganggukkan kepala.
Bila merunut sejarah, Argentina merupakan anggota triumvirat yang paling lama puasa gelar Copa America. Brasil memboyong trofi Copa America terakhir mereka pada 2007 silam sementara Uruguay empat tahun berselang alias 2011. itu kita diwajibkan flashback ke tahun 1993 untuk menilik kapan Argentina terakhir kali menjuarai Copa America.
Ya, tepat 23 tahun silam. Rentang waktu yang bila diibaratkan seorang manusia menempuh pendidikan, maka seharusnya sudah bergelar sarjana.
Pada ajang Copa America 1993 yang diadakan di Ekuador kala itu, dwigol Gabriel Omar Batistuta sudah cukup untuk menenggelamkan Meksiko, lawan mereka di final dengan skor tipis 2-1. Gelar itu sendiri merupakan torehan ke-14 buat Argentina di ajang Copa America.
Setelahnya, delapan edisi Copa America silih berganti (1995-2015), pun begitu dengan jejeran pemain bintang yang tak ada habisnya namun puasa gelar Argentina di Copa America tak jua usai. Tiga kali Argentina menjejak final, yaitu pada 2004, 2007, dan 2015, namun tiga kali pula mereka harus meratapi kegagalan.
Pada final Copa America 2004 di Peru, gol Kily Gonzalez dan Cesar Delgado bagi Argentina mampu disamakan oleh Luisao dan Adriano untuk Brasil. Skor 2-2 di waktu normal bertahan hingga perpanjangan waktu.
Kedua tim pun harus menjalani adu penalti untuk mencari pemenang. Kesialan menghampiri Argentina, dua penendang mereka, Andres D’Alessandro dan Gabriel Heinze gagal menunaikan tugasnya dengan baik. Brasil pun menang adu penalti dengan skor 4-2.
Upaya Argentina kembali kandas di tangan Brasil pada Copa America 2007 di Venezuela. Pada final yang dimainkan di stadion Jose Pachencho Romero di Maracaibo, La Albiceleste digulung Douglas Maicon cs. dengan skor telak 3-0.
Dua gol dari Julio Baptista dan Daniel Alves serta gol bunuh diri Roberto Ayala meluluhlantakkan impian skuat besutan pelatih yang membawa mereka juara Copa America 1993, Alfio Basile.
Sementara pada final Copa America 2015, Argentina yang juga difavoritkan menjadi kampiun harus mengakui ketangguhan tuan rumah Cile yang didukung puluhan ribu suporternya. Skor imbang tanpa gol berlangsung hingga waktu normal. Bahkan ketika dua babak perpanjangan waktu dilaksanakan, tak ada satu gol pun yang tercipta.
Alhasil, adu tos-tosan menjadi jalan keluar mengatasi kebuntuan. Naas buat Argentina, Gonzalo Higuain dan Ever Banega gagal menuntaskan tugas sebagai algojo. Mereka pun menyerah 1-4 sebab semua pemain Cile sukses mengeksekusi penalti.
Mengapa saya meminta Anda untuk tidak buru-buru menganggukkan kepala bahwa bagusnya performa Argentina selama babak penyisihan grup adalah indikasi mereka bakal keluar sebagai kampiun?
Karena di tiga kejuaraan saat mereka gagal di final tersebut juga diawali dengan penampilan yang cukup apik di fase penyisihan grup. Parahnya, penyakit kambuhan Argentina justru kerap muncul di fase-fase penentuan nan kritis, termasuk saat gugur di perempat final Copa America 1999 dan 2011.
Argentina seakan menemui dinding tebal di fase knockout sehingga sulit mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Bermain buruk lalu kalah dan mesti menerima pahitnya kegagalan seakan menjadi trademark tersendiri buat Argentina serta terjadi berulang-ulang dalam dua dasawarsa terakhir.
Terbilang mirip dengan salah satu tim nasional sepak bola berjuluk Garuda, bukan?
Namun bila di kesempatan yang mulia kali ini Argentina sukses melewati periode tersebut, gelar juara Copa America Centenario bukanlah hal yang tidak mungkin. Karena seperti yang kita ketahui juga bila skuat La Albiceleste di kejuaraan kali ini bisa dikatakan setara atau bahkan lebih baik ketimbang di Copa America 2015.
Terlebih dengan fakta bahwa pengganjal utama seperti Brasil dan Uruguay sudah pulang kampung lebih dulu, mungkin bisa menambah motivasi Messi cs. untuk merengkuh gelar juara. Tuan rumah Amerika Serikat, juara bertahan Cile, dan kuda hitam Kolombia memang bisa menjadi penghalang walau halangan terbesar bagi Argentina tetaplah diri mereka sendiri.
Hanya ada dua laga tersisa yang memisahkan La Albiceleste dengan status kampiun Copa America Centenario guna menyudahi paceklik gelar mereka.
Bagaimana, sudah siap berbuka puasa, Argentina?