Pertengahan musim 2013/2014, penggemar sepak bola lumayan kaget kala Victor Valdes menyatakan ogah memperpanjang kontraknya bersama Barcelona. Valdes tetap kukuh pada pendirian meski klub memberikan penawaran berulang kali. Jauh-jauh hari, Valdes mempersilakan klub untuk mencari penggantinya.
Keputusan Valdes tersebut cukup mengagetkan lantaran selain asli produk La Masia, posisinya di bawah mistar Barcelona juga tidak terancam. Sebuah situasi yang menjadi banyak impian banyak kiper. Namun, Valdes memilih untuk meninggalkan kenyamanan itu.
Meskipun dianggap sebagai salah satu dari 3 kiper terbaik dunia versi Bodo Illgner, namun tentu masih segar di ingatan bahwa kiper yang satu ini begitu rajin bikin blunder. Masih ingat ketika Valdes dipermalukan Angel Di Maria dalam laga panas El Clasico? Atau ketika dipermalukan Ivan De La Pena dalam Derby Catalan?
Apalagi, Valdes meninggalkan Barcelona tidak dengan sempurna. Setelah memutuskan tidak memperpanjang kontrak, Valdes malah mengalami cedera ligamen parah pada 26 Maret 2014, beberapa bulan sebelum kontraknya berakhir.
Pertandingan terakhirnya bersama El Barca juga tidak terlalu berkesan. Ia hanya bermain selama 22 menit ketika Barcelona melawan Celta Vigo.
Sebagai putra asli Catalan dan telah bermain reguler di bawah mistar Barcelona sejak usia 20 tahun, tentu saja keputusan Valdes menjadi kehilangan besar bagi Azulgrana. Pencarian kiper dimulai, bertepatan dengan revolusi baru Barcelona di bawah Luis Enrique.
Tampaknya, peran Valdes memang sedemikian besar sehingga Barcelona sampai perlu merekrut dua kiper dengan kualitas setara, yaitu kiper asal Jerman, Marc-Andre ter Stegen dan kiper Cile, Claudio Bravo.
Valdes meninggalkan Barcelona setelah kurang lebih 12 tahun mengabdi. Sementara itu, Bravo melepas kariernya yang penuh warna bersama Real Sociedad yang sudah berjalan selama 8 tahun. Keduanya sama-sama kiper senior, dengan Valdes setahun lebih tua. Keduanya juga kiper matang di La Liga.
Seandainya Valdes tidak pernah berpikir untuk hengkang, boleh jadi Bravo tidak akan pernah mampir di Camp Nou.
Dan sekarang, siapa yang menyangkan bahwa keputusan Valdes memengaruhi banyak hal. Salah satunya adalah roda nasibnya yang berubah 180 derajat berbeda dengan roda nasib milik Bravo.
Tiba di Spanyol pada usia 23 tahun, bersama Asier Riesgo, Bravo menjadi duet penjaga gawang termuda di La Liga. Bravo tiba di San Sebastian 3 musim setelah Real Sociedad tampil mengejutkan dan nyaris juara La Liga.
Kedatanyannya memang terjadi di saat yang tidak mengenakkan. Sociedad bukan lagi klub yang sempat membuat kejutan. Mereka justru menjadi pesakitan yang pada akhirnya terdegradasi setelah berjuang begitu keras. Tiga musim yang singkat mengubah wajah Sociedad sepenuhnya.
Saat Valdes sedang moncer-moncernya bersama Barcelona dengan tiga gelar semusim, Bravo justru merintis karier dalam senyap di Segunda.
Dua musim lamanya Bravo mengawal gawang Sociedad di kasta kedua. Pada musim kedua, Bravo mewarnai kariernya dengan gol, satu-satunya sepanjang kariernya hingga saat ini yang dicetak melalui tendangan bebas.
Pada musim itu, Bravo bermain 25 kali, kebobolan 22 kali, dan 10 kali ia berhasil menjaga gawang Sociedad tetap steril.
Musim 2010/2011, Bravo dan Sociedad kembali ke kasta tertinggi. Musim demi musim, Bravo semakin tidak tergantikan. Dalam 4 musim selepas kembali ke La Liga, Bravo selalu bermain di lebih dari 30 pertandingan. Walau begitu, angka kebobolan yang dibukukan kapten tim nasional Cile itu juga tidak bagus-bagus benar.
Musim pertama kembali ke La Liga, Bravo menderita 66 gol, alias nyaris 2 gol per pekan. Musim berikutnya, angka itu diperbaiki menjadi 51 dan kemudian 40, meski kemudian memburuk lagi ke angka 52.
Karier Bravo bersama Sociedad memang berwarna. Salah satunya adalah ketika pemain yang mempunyai nama lengkap Claudio Andres Bravo Munoz tersebut berhasil membawa Txuriurdins ke Liga Champions 2013/2014.
Di kompetisi antar-klub Eropa paling bergengsi tersebut, Bravo merumput 7 kali, kebobolan 9 gol, dan sempat clean sheet 3 kali. Sebuah raihan yang tidak buruk untuk Sociedad di kancah Liga Champions.
Jika Valdes meniti kariernya yang penuh gelimang piala, Bravo melakoninya dengan begitu perlahan. Sampai pada akhirnya, Valdes mengucapkan selamat tinggal kepada Barcelona dan Bravo menginjakkan kaki di Catalan. Roda kehidupan mulai berputar.
Pada musim pertamanya di Camp Nou, Bravo meraih sukses besar, meski ada sedikit cela karena dia tidak sekali pun merumput di ajang Liga Champions. Gelar La Liga pertama berhasil diraihnya.
Bagaimana dengan Victor Valdes? Kiper eksentrik tersebut kesulitan mendapatkan klub baru selepas sembuh dari cedera. Ia akhirnya diizinkan berlatih bersama Manchester United. Pun sodoran kontrak untuk bergabung bersama United akhirnya diterima Valdes.
Bravo bermain 37 kali di La Liga saat Valdes hanya mencicipi 2 pertandingan di Liga Primer Inggris. Makin menyedihkan lantaran salah satu pertandingan yang dijalani Valdes di Inggris adalah “hanya” sebagai pengganti David De Gea yang cedera saat melawan Arsenal. Ia bahkan kebobolan lewat gol bunuh diri.
Di musim yang sama di Spanyol, Bravo mencatatkan prestasi kebobolan paling sedikit sepanjang keriernya, yaitu hanya 19 kali memungut bola dari gawangnya sendiri.
Pada akhir musim 2014/2015, Bravo memantaskan posisinya sebagai kiper Barcelona spesialis La Liga, berdampingan dengan ter Stegen. Valdes? Masih menjadi cadangan juniornya yang sama-sama berasal dari Spanyol, De Gea. Sungguh pertunjukan roda nasib yang tiada terduga sebelumnya.
Musim berikutnya, Valdes semakin terpuruk saat Bravo menjadi pahlawan sesudah membawa Cile menjadi juara Copa America 2015. Valdes tergusur dari bangku cadangan United oleh Sergio Romero, yang dikandaskan Bravo di final Copa America.
Sempat tidak jelas nasibnya selama setengah musim, Valdes akhirnya pindah ke Belgia bersama Standard Liege. Bravo? Berjaya di La Liga, meski tidak seperkasa musim sebelumnya. Bravo bahkan masih dapat bonus mengangkat trofi Piala Dunia Antarklub.
Tiga musim silam, jika Valdes dan Bravo bertemu, itu adalah duel Barcelona yang unggulan melawan Sociedad, si kuda hitam. Namun, sesuai putaran roda nasib, pertemuan keduanya kali ini akan terasa berbeda,
Saat ini, Bravo bermain bersama Manchester City, klub yang sukses mencatatkan 10 kemenangan dan 1 kekalahan dalam 11 laga, sedangkan Valdes “beruntung” diberi kesempatan oleh teman lamanya, Aitor Karanka, untuk menjaga pertahanan Middlesbrough.
Bravo kini bersama “si unggulan”, sementara Valdes bersama “si kuda hitam”. Kembali, hanya tiga musim, roda nasib memperlihatkan putarannya.
Valdes yang kini berambut—beda dengan masa jayanya di Barcelona yang plontos—boleh jadi adalah kiper biasa-biasa saja di Premier League. Di Riverside pun masih ada Brad Guzan, kiper dengan pengalaman bermain di Inggris yang lebih baik. Peluang bermainnya tak selalu aman.
Sebaliknya Bravo, dianggap berhasil melebur dalam skema permainan Pep Guardiola dan hasilnya jelas, City menguasai Liga Primer Inggris di awal musim ini.
Entah, apakah Valdes menyesali pilihan hidupnya 3 tahun silam atau tidak. Namun kini yang kita saksikan adalah pertunjukan nasib manusia dalam roda nasib yang akan terus berputar.