Francesco Totti pernah berkata, “Modern players are a bit like nomads. They are following the money, not their heart. Not many athletes follow their heart. They decide to move elsewhere to win trophies and to earn more money. Football has changed a lot, it is all about money now.”
Sang Pangeran Roma menambahkan, “Players change teams all the time, to make a bit more money elsewhere. It’s more about money than about passion. People go to the stadiums to enjoy themselves and to see players in action who will always be with their team. They expect not to be betrayed. Just look at what happened with Higuain, leaving Napoli for Juventus. It’s a disaster.”
Kutipan di atas merupakan reaksi Totti menanggapi kepindahan Gonzalo Higuain menuju Juventus pada bursa transfer musim panas lalu. Apa yang dilontarkan olehnya seakan menjadi titik kulminasi tentang bagaimana kegeramannya melihat situasi sepak bola modern era sekarang.
Kondisi aktual saat ini memang menunjukkan bahwa kekuatan modal dalam industri sepak bola begitu hagemonik. Namun sepertinya, perubahan tersebut tak pernah berhasil menyentuh idealisme il pupone.
Sebenarnya, bila kita melihat ke belakang, Higuain bukan orang pertama dan satu-satunya pelaku “kejahatan pengkhianatan” semacam itu. Hadirnya era industri modern sepak bola selalu menghasilkan “judas”, mulai dari Luis Figo hingga Robin van Persie.
Dengan kondisi tersebut, pemain seperti Totti semakin langka atau bahkan akan dianggap sebagai deviant (penyimpangan) dalam dunia sepak bola modern.
Kenapa? karena dengan segala bakat dan kemampuannya, Totti akan selalu menarik perhatian kesebelasan super kaya yang siap mengakomodasi kepentingan finansial dan capaian gelar selama ia berkarier.
Totti, dengan segala tingkah laku dan pernyataan-pernyataannya, dapat juga dipahami sebagai bentuk resistensi seorang manusia terhadap ide dan gagasan bagaimana modernitas itu bekerja.
Ia seakan ingin mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap sebagai pemain ideal bagi sepak bola saat ini. Untuk itu, perlu kiranya mengetahui lebih jauh bagaimana tipe pemain ideal dibentuk akibat lahirnya modernitas dalam dunia sepak bola.
Virus N-Ach
Seiring perkembangan zaman, kita tentu mengenal istilah modernitas. Modernitas dan industrialisasi hampir selalu berjalan beriringan. Kehadirannya kini telah mendominasi kehidupan di berbagai sektor, tak terkecuali dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola.
Munculnya tim-tim “kapitalis modern” seakan menegaskan dan menjadi manifestasi dari paham tersebut karena modernitas dianggap merupakan jalan paling optimis menuju perubahan.
Sifatnya yang diklaim begitu cepat, progresif, dan revolusioner diasumsikan cocok dengan perkembangan masyarakat ke depannya yang dalam hal ini dikontekskan dengan industri modern sepak bola.
Salah satu implikasi dari lahirnya modernitas ialah budaya kompetitif, dan jelas dari setiap kompetisi membutuhkan pemenang. Individu yang tidak mengangankan dan menginginkan menjadi juara tentu tidak bisa disebut sebagai manusia modern.
Kebutuhan akan berprestasi tersebut, menurut seorang pemikir modernitas bernama David C McClelland dalam bukunya berjudul The Achieving Society disebut sebagai virus N-Ach atau virus Need For Achievment.
Selain motif uang, tentu keinginan meraih prestasi menjadi faktor kunci dalam kasus transfer para “judas” seperti Higuain dan van Persie. Sebagai pesepak bola modern, mereka baik secara langsung maupun tidak langsung telah menghidupi pemikiran yang telah disebutkan di atas.
Kebutuhan untuk selalu berprestasi adalah yang membedakan pemain modern dan pemain tradisional seperti Totti. Tentu saja saya tidak mengatakan Totti tidak berprestasi sama sekali. Ia pernah meraih scudetto bersama AS Roma.
Namun, dengan begitu banyaknya tawaran dari berbagai klub besar Eropa, sepertinya akan mudah baginya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Memang, semua orang tidak ada yang menginginkan kekalahan bagi dirinya dan virus N-Ach akan selalui menemui perwujudannya dalam setiap individu modern termasuk pesepak bola.
Bila kita sering mendengar istilah glory hunter pada diri pemain (atau bahkan penggemar) sepak bola, hal itu dapat dipahami sebagai perwujudan dari virus N-Ach dan sikap untuk menjadi manusia modern.
Pilihan tetap menjadi tradisional
Salah satu sikap yang paling dibenci oleh hadirnya modernitas ialah tradisionalisme. Tradisionalisme dianggap sebagai penghambat apa yang dianggap oleh rezim modernitas sebagai progres atau kemajuan.
Dengan adanya kondisi tersebut, sikap tradisional harus direduksi atau bahkan dihilangkan dari masing-masing individu. Pada pemain sepak bola, tradisionalisme hanya akan membuat karier seorang pemain berhenti pada level tertentu, atau dengan kata lain tidak memungkinkan untuk terjadinya progres pada kariernya.
Kita boleh menyebut Totti sebagai pribadi naif dengan segala kesempatannya pindah menuju kesebelasan terbaik pada masa jaya, atau menganggap dirinya terlalu utopis untuk mengharapkan banyak pemain meniru idealismenya.
Akan tetapi, sikap tradisional dalam diri kapten Roma berupa loyalitas luar biasa kepada Tim Serigala Ibu Kota seolah menjadi sebuah resistensi terhadap industrialisasi dalam sepak bola.
Lebih jauh, ia telah mengibarkan bendera perlawanan terhadap modernisasi sepak bola yang telah melahirkan banyak nama pengkhianat mulai dari Ashley Cole hingga Carlos Tevez.
Fransesco Totti mungkin satu di antara sedikit pemain hebat yang memilih tetap memelihara tradisionalisme dalam dirinya. Ia menolak menjadi pemain modern demi mencapai prestasi tertinggi dan memutuskan bertahan bersama AS Roma sepanjang kariernya hingga saat ini.
Konsekuensi pilihannya memang berat, dalam level domestik, mungkin Roma pernah menjadi scudetto bersamanya, akan tetapi tidak halnya dengan kompetisi bergengsi Liga Champions. Bila saja Totti memilih bergabung dengan Real Madrid atau AC Milan mungkin tulisan ini tidak akan pernah saya buat.
“Jalan sepi” yang dipilih Totti tidak selamanya membuatnya menderita. Ia jelas mendapatkan hal manis dan tak terbeli, bahkan oleh berpuluh-puluh trofi yang mungkin bisa ia dapat jika memilih hengkang dari Roma.
Penghormatan terhadapnya bukan hanya dari pendukung I Lupi, tapi juga dari penikmat sepak bola bukan suporter AS Roma. Keistimewaan ini nampaknya sepadan dengan berbagai pengorbanan sepanjang kariernya.
Musim ini mungkin menjadi pentas terakhir Totti sebagai pesepak bola profesional dan beberapa waktu lalu, ia resmi mencetak gol ke-250 sepanjang perjalanannya di Serie A.
Sebagai penonton sepak bola, mencari padanan Totti selepas pensiun mungkin akan sangat sulit.
Sangat sulit mencari pemain yang tidak hanya hebat dan mampu mencetak banyak gol, sekaligus mampu menjaga pemikirannya. Pada akhirnya, Totti tetaplah Totti, si pemain tradisional yang menolak menjadi pemain modern karena ia memang tidak membutuhkannya.