Apakah kalian semua pernah merasa heran dengan orang yang jago bermain sepak bola atau futsal padahal seorang perokok? Kita semua nampaknya punya teman yang seperti ini.
Teman yang sering mencetak gol, rutin ikut lomba atau kompetisi, bahkan hampir selalu jadi pilihan utama saat bertanding. Dan ketika beberapa menit sebelum dan sesudah pertandingan, ia menyempatkan diri menghisap, setidaknya, satu batang rokok.
Uniknya, saat kita tanya bagaimana rasanya merokok sebelum dan sesudah berolahraga, mereka menjawab, “Biasa saja.”
Jawaban yang nampaknya tidak sesuai ekspektasi karena yang kita tahu, selama ini, rokok adalah penyebab utama penyakit paru-paru dan jantung. Kedua organ tersebut adalah organ yang paling penting bagi manusia ketika berolahraga.
Namun, kenapa bisa para perokok menjawab “biasa saja” ketika ditanya pengaruh merokok sebelum dan/atau sesudah olahraga. Dan yang lebih aneh lagi, mereka tetap bisa bermain bagus.
Bahkan, di dunia profesional pun banyak atlet hebat yang merokok. Di dunia sepak bola, ada nama Zinedine Zidane, Dimitar Berbatov, Jack Wilshere, hingga salah satu legenda besar bernama Johan Cruyff.
Di dunia tenis, ada nama Anna Kournikova, petenis asal Rusia, salah satu yang terbaik di dunia. Pada artikel ini, penulis akan membahas pengaruh rokok terhadap performa atlet, termasuk atlet sepak bola.
Secara teori, salah satu dampak utama dari merokok terhadap kinerja atlet adalah penurunan fungsi paru-paru. Hal ini mengakibatkan penurunan stamina dan kinerja karena otot kesulitan mendapatkan oksigen yang memadai, sehingga menjadi lebih cepat lelah.
Perokok juga cenderung lebih sering menderita sesak napas dibandingkan mereka yang bukan perokok karena otot-otot dan jantung yang menuntut lebih banyak oksigen dari paru-paru agar kinerjanya dapat tetap baik.
Dampak lain dari merokok pada atlet adalah efeknya pada kesehatan jantung dan peredaran darah. Merokok menyebabkan pembuluh darah mengerut dan memblokirnya dengan plak, sehingga berpotensi meningkatkan tekanan darah.
Mengerutnya pembuluh darah jelas akan mengurangi aliran darah ke otot-otot, lalu membatasi jumlah oksigen yang diterima.
Hilangnya aliran darah secara signifikan dapat mengurangi daya tahan otot, sedangkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk memompa darah melalui pembuluh darah tersumbat. Ini sekaligus berhubungan dengan masalah paru-paru tadi.
Dampak buruk selanjutnya adalah memperbesar peluang untuk cedera. Ketika otot-otot, jantung, dan otak tidak menerima cukup oksigen, ketajaman mental dan fisik akan menurun drastis.
Hal ini akan memengaruhi atlet dalam membuat keputusan di lapangan. Lebih berbahaya lagi, atlet akan merasa pusing, bahkan pingsan.
Lalu, merokok juga dapat mengurangi kekuatan tulang dan menghambat kemampuan tubuh untuk memperbaiki kulit, ligamen, dan tendon. Hal ini sekaligus dapat menjelaskan bahwa atlet perokok membutuhkan waktu sembuh dari cedera yang lebih lama dari bukan perokok.
Dari mana semua dampak buruk tersebut berasal? Penyebab utamanya adalah nikotin dan karbon monoksida. Selama proses menghisap rokok, perokok menyerap 1-2 miligram nikotin per batang rokok.
Paparan nikotin melalui rokok menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatik yang mengarah ke peningkatan pelepasan katekolamin epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal.
Pelepasan ini menyebabkan nikotin merangsang peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Inilah yang disebut sebagai efek hemodinamik, termasuk bentuk efek lainnya, seperti peningkatan kontraktilitas otot jantung, stroke volume, dan cardiac output.
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berbau, berasal dari pembakaran berbagai bahan bakar dan juga hadir dalam asap tembakau.
Hal paling berbahaya dari CO adalah sifatnya yang cepat memasuki darah, serta fakta bahwa afinitas hemoglobin untuk mengikat CO adalah 250 kali lebih besar dari afinitasnya mengikat oksigen.
Yang dimaksud afinitas adalah kecenderungan suatu unsur atau senyawa untuk membentuk ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain. Ini menyebabkan hemoglobin dapat lebih mudah mengikat CO, dan menggusur molekul oksigen.
Karbon monoksida yang mengikat hemoglobin membentuk senyawa carboxyhemoglobin. Pembentukan carboxyhemoglobin tentu akan mengurangi kapasitas tubuh untuk membawa oksigen dari darah.
Padahal, oksigen sangat dibutuhkan oleh otak, otot, dan jantung, serta organ-organ tubuh lainnya. Selain itu, CO juga dapat mengikat mioglobin yang menyebabkan penurunan signifikan dalam transportasi oksigen ke mitokondria (organel sel tubuh manusia yang berfungsi untuk kegiatan pernapasan sel guna menghasilkan energi).
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa ada hubungan linear antara penurunan VO2max dengan peningkatan kadar CO, walau penurunannya tidak signifikan secara statistik sampai tingkat CO darah melebihi 4%.
Meskipun begitu, kinerja atlet di atas treadmill dapat berkurang pada tingkat CO sebesar 3%. Latihan submaksimal kurang dari 60% dari VO2max tampaknya tidak terpengaruh sampai tingkat CO darah melebihi 15%.
Sampai di sini, lalu mengapa masih banyak atlet perokok yang performanya tetap hebat?
Ada beberapa faktor, di antaranya menurut Dr. Michael Ussher, salah satu pengajar dari St George’s Hospital Medical School, atlet-atlet yang terlatih dengan baik memiliki tubuh yang lebih handal untuk membuang nikotin dan karbon monoksida dari dalam tubuh lebih cepat dari mereka yang bukan atlet.
Benar bahwa karbon monoksida dapat mengurangi kapasitas untuk berolahraga. Akan tetapi, jika mungkin hanya menghisap satu batang saja, beberapa jam sebelum olahraga, maka efek yang diberikan cenderung kecil.
Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta merokok diizinkan secara bebas dalam olahraga, terutama untuk atlet profesional. Profesor Stephen Spiro, wakil ketua British Lung Foundation, menyatakan bahwa keliru jika beranggapan bahwa seorang atlet dengan fungsi paru-paru supernya tidak akan mendapat masalah jika merokok.
Ia lebih lanjut berkata, “Mereka (yang merokok) harus bekerja pada tingkat 120% dari normal, sehingga persentase beberapa poin dari fungsi paru-paru mereka bisa menjadi perbedaan antara meraih emas atau perunggu.”
Dampak buruk merokok juga bersifat jangka panjang. Kalau sekarang belum terasa, di masa tua nanti bisa jadi akibatnya baru terasa. Misalnya, ada dua atlet yang melakukan debut dan pensiun di usia sama.
Prestasi yang dicatatkan masing-masing atlet tidak jauh berbeda. Namun, si atlet yang bukan perokok memiliki kualitas hidup (dari segi kesehatan) yang lebih baik dari atlet yang perokok.
Bahkan, Johan Cruyff yang hebat nan sakti di atas lapangan juga meninggal karena penyakit kanker paru-paru yang berhubungan dengan kebiasaan merokok, bukan?
Kemudian, apa ada dampaknya terhadap asupan gizi? Hasil penelitian menunjukkan adanya ketergantungan yang lebih besar terhadap konsumsi glukosa sebagai sumber bahan bakar oleh perokok.
Akibat dari simpanan karbohidrat dalam tubuh terbatas adalah meningkatnya ketergantungan pada glukosa yang berakibat pada kelelahan dini perokok selama beraktivitas fisik. Walaupun, jumlah penelitian untuk hal ini masih cukup terbatas.
Asupan protein juga harus menjadi perhatian khusus karena ada hubungannya dengan pemulihan. Seperti yang telah dijelaskan di awal, proses penyembuhan cedera pada atlet perokok akan lebih lama, dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Jadi, konsumsi protein juga harus ditingkatkan karena tidak hanya berhubungan dengan pemulihan saja, tetapi juga langkah preventif terhadap cedera.
Asupan vitamin C harian untuk para perokok juga harus ditingkatkan sebesar 35 miligram lebih tinggi daripada bukan perokok. Diet sumber vitamin C termasuk dari buah-buahan dan sayuran bisa menjadi pilihan. Beberapa makanan juga bisa dipertimbangkan, seperti sereal, minuman olahraga, dan berbagai sumber gizi lainnya.
Suplemen vitamin C juga dianjurkan karena atlet juga tidak dapat mengonsumsi sayuran dan buah secara berlebihan. Tentu, suplemen yang dipilih harus yang tidak termasuk dalam kategori doping dan aman bagi atlet.
Atlet profesional, terutama di negara maju, asupan gizinya sudah benar-benar disesuaikan dan memiliki disiplin yang ketat. Kita di Indonesia, yang mana masih banyak cabang-cabang olahraga yang mengabaikan kebutuhan gizi atlet dan kedisiplinan latihan atletnya, tentu harus jauh lebih ketat dalam pengawasan.
Kita tidak bisa berkata, “Zinedine Zidane saja yang perokok bisa hebat dan jadi legenda, mengapa saya tidak?”
Ya, karena dia Zinedine Zidane. Selain asupan gizi dan kedisiplinan, tentunya ia juga sudah dianugerahi bakat sepak bola. Negaranya pun, Prancis, memiliki pembinaan sepak bola yang lebih baik dibandingkan Indonesia, sehingga potensinya dapat berkembang sesuai ekspektasi.
Kompetisi usia muda pun terselenggara, sehingga ia sudah merasakan kompetisi yang kompetitif sejak masih belia.
Teman-teman, kita memang bukan atlet profesional, tetapi mengapa kita lebih cepat merasa lelah dibandingkan mereka? Karena walaupun perokok, mereka lebih sering berolahraga daripada kita.
Jadi, salah satu kunci untuk menjaga kebugaran, baik perokok, maupun bukan, adalah rutin berolahraga. Dari keseluruhan penjelasan di atas, kesimpulannya tetap sama, yaitu merokok tetap tidak dianjurkan bagi para atlet, maupun bukan.