Basa-basinya cukup sampai menit ke-26. Bola silang dari Leroy Sane dituntaskan Raheem Sterling. Manchester City membuka keunggulan atas AS Monaco.
Dari sini, 7 gol lagi tercipta dalam kurun waktu 56 menit, menyudahi sebuah pertandingan yang akan dikenang sebagai salah satu laga klasik Liga Champions.
Ada dua peristiwa yang menjadi penentu alur pertandingan ini. Pertama, ketika permintaan penalti Sergio Aguero justru membuahkan kartu kuning baginya.
Setelah penolakan ini, para pemain Monaco cenderung menguasai pertandingan, maka tak heran 5 menit berselang Kylian Mbappe justru membalikkan keadaan lewat bola mati yang mengejutkan pertahanan City.
Kedua, kegagalan Falcao memperlebar angka menjadi 3-1 melalui titik putih. Momen ini memberikan tekanan psikologis yang semula ditanggung tim tuan rumah kepada Monaco.
Jika ada yang menyebutkan sepakbola perkara memanfaatkan momentum sebaik mungkin, pertandingan ini bisa jadi contoh yang tepat. Monaco mencetak 1 gol, sebaliknya City melesakkan 3 gol dalam tempo singkat dengan memanfaatkan momentum yang mereka dapatkan.
Kemenangan 5-3 City bisa disikapi sebagai pertunjukkan kematangan mental anak asuh Pep Guardiola. Bagi Monaco pun kekalahan ini mengeksploitasi kelemahan yang biasa ditemui di sebuah tim yang mengandalkan begitu banyak pemain muda.
Dalam starting line-up Monaco, hanya ada 4 pemain berusia di atas 24 tahun. Bandingkan dengan City yang menurunkan 8 pemain dengan kriteria serupa.
Namun sejatinya, runtuhnya mentalitas Monaco dalam sekejap tak lantas menutupi potensi yang dimiliki tim ini. Ada banyak momen saat Tiemoue Bakayoko begitu merajai lapangan tengah sekalipun berhadapan dengan gelandang sekelas Yaya Toure.
Bernardo Silva dan Thomas Lemar membuktikan kekhawatiran Pep akan permain sayap Monaco. Selain itu, golnya di menit ke-40 membuat Mbappe yang masih berusia 18 tahun semakin disandingkan dengan sosok Thierry Henry.
Entah sejauh mana langkah Les Monégasques di Liga Champions musim ini, Monaco memang dikenal punya catatan bagus di kompetisi Eropa. Kualitas itulah yang ingin diraih kembali oleh Dmitry Rybolovlev saat mengambil alih kepemilikan Monaco dari tangan keluarga kerajaan.
Pada tahun 2011, rasanya ganjil mengetahui Monaco adalah finalis Liga Champions tujuh musim sebelumnya. Mereka di ambang kehancuran. Kondisi keuangan kacau balau dan posisinya di dasar divisi dua Liga Prancis.
Kemudian datanglah Dmitry Rybolovlev, seorang pengusaha Rusia yang membangun kekayaannya selama masa transisi pasca-Soviet dengan membeli perusahaan milik negara atau yang biasa disebut oligarki. Seperti kebanyakan pemilik ambisius di jaman sepakbola modern, Rybolovlev berpikir uang bisa membeli segalanya.
Proyek masyhurnya dimulai pada musim kedua Rybolovlev menjadi orang nomor wahid di AS Monaco. Mengakhiri Ligue 2 di posisi ke-8 musim sebelumnya jelas bukan hasil yang diharapkan.
Menyambut musim 2012/2013 ia mendaulat Claudio Ranieri sebagai manajer. Terbukti The Tinkerman hanya butuh satu musim untuk membawa Monaco promosi ke Ligue 1.
Tema tim sarat bintang mengiringi musim kembalinya Monaco. Rybolovlev merestui pembelian besar-besaran yang menghabiskan 160 juta Euro pada musim panas 2013.
Dibantu sang agen super Jorge Mendes, komoditas panas waktu itu secara mengejutkan memilih bergabung bersama Monaco, sebut saja duo Kolombia Radamel Falcao dan James Rodriguez.
Selama 89 tahun kehadirannya di sepakbola, AS Monaco untuk pertama kalinya seakan mampu mengimbangi gemerlapnya kasino, hotel bintang lima, dan yacht mewah yang tersebar di negara mungil tersebut.
Pada laga-laga kandang Monaco di Stade Louis II, jangan heran melihat atlet kondang seperti petenis Novak Djokovic atau pembalap Formula 1 Lewis Hamilton nimbrung di kursi VIP. Mereka memang tinggal di sana karena satu alasan.
Meskipun kebutuhan negeri monarki ini masih banyak bergantung kepada Prancis, tapi ada kesepakatan khusus antara keduanya soal pajak.
Semenjak dekade 1970-an, Prancis hanya bisa membebankan pajak kepada warganya sendiri yang tinggal di Monaco. Itu sebabnya Monaco seperti surga bagi orang-orang berpendapatan tinggi yang ingin menghindari pajak penghasilan mencekik di negeri asalnya.
Jorge Mendes pasti tak lupa menyertakan trik ini untuk merayu Falcao ke Monaco.
Tentu saja keistimewaan yang dimiliki Monaco membuat cemburu klub Prancis lainnya. Isu penyetaraan pajak seringkali disuarakan setiap prestasi Monaco terlihat menanjak.
Di musim kala Monaco berhasil menembus final Liga Champions, federasi sepakbola Prancis melansir laporan yang menyebutkan Monaco diuntungkan sekitar 8 juta Euro tiap tahun karena kebijakan tersebut.
Puncaknya pada 2013, badan liga profesional Prancis atau LFP mengancam akan mencabut lisensi bermain Monaco di Ligue 1 mulai Juni 2014 jika klub berseragam merah-putih itu menolak untuk memindahkan kegiatan administrasinya ke wilayah hukum Prancis.
Tuntutan yang disetujui anggota LFP itu dimaksudkan untuk memaksa Monaco “menikmati” pajak penghasilan baru yang akan segera disahkan. Presiden Francois Hollande mengusulkan untuk meningkatkan pajak penghasilan menjadi 75% bagi individu yang mempunyai pendapatan lebih dari 1 juta euro dalam setahun.
Dengan porsi sebesar itu, klub di seluruh Prancis khawatir Monaco punya keunggulan masif terutama soal perekrutan pemain asing. Sebagai gambaran, jika Falcao menerima 1 juta euro selama sebulan di Monaco, maka klub lain di Prancis memerlukan 1,75 juta euro agar penyerang berjuluk El Tigre ini membawa pulang angka yang sama.
Enam bulan sebelum ancaman tersebut menjadi kenyataan, LFP akhirnya menjamin hak istimewa Monaco tetap terjaga asalkan mereka mau membayar 50 juta euro sebagai pengganti pajak.
Pengadilan Prancis kemudian membatalkan perjanjian ini. Mereka menanggap LFP tak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara pajak di Prancis.
Ada yang menganggap kecemburuan klub Prancis terhadap Monaco tak beralasan. Perlu diingat klub ini berada di negara di mana 75% dari 37.800 penduduknya adalah warga asing.
Musim ini sekalipun, di tengah penampilan terbaik mereka selama beberapa tahun terakhir dengan memimpin Ligue 1, rata-rata kunjungan penonton Monaco tetap yang terendah di antara 19 kontestan lainnya.
Nominal 8 juta Euro yang disebutkan FFF pada 2004 sebenarnya tak serta merta membuat Monaco lebih diuntungkan. Klub-klub tradisional seperti Marseille atau Lyon mengantongi 18 dan 17 juta euro hanya dari pendapatan tiket di musim yang sama.
Pengalaman ini membuat Rybolovlev sadar membangun tim dengan pemain-pemain bintang bukan model bisnis yang tepat untuk Monaco. Lagipula, ambisinya tampil di Liga Champions akan terbentur Financial Fair Play (FFP) yang sedang gencar digalakkan UEFA. Ia harus mencari pendekatan yang lebih seimbang.
Melepas beberapa pemain mahalnya adalah langkah pertama yang ia tempuh. Falcao yang baru semusim bermain, dititipkan sementara di Manchester United. Musim berikutnya, giliran Chelsea yang bertugas menampung Falcao.
Hal ini mustahil terjadi tanpa campur tangan Jorge Mendes. Falcao, yang tampil buruk selama membela United, sama-sama berada di bawah agensi Mendes dengan manajer Chelsea saat itu, Jose Mourinho.
Jorge Mendes juga andil dalam memaksimalkan nilai transfer James Rodriguez ke Real Madrid sebesar 75 juta euro pada 2014. Monaco meraup untung 30 juta Euro dari transaksi ini, uang yang segera diputar Rybolovlev untuk menciptakan wajah baru Monaco yang berisikan pemain-pemain muda.
Beruntung Monaco mempunyai salah satu jaringan pemandu bakat terbaik di Prancis.
Dirintis presiden klub, Jean-Louis Campora yang tertarik dengan kesuksesan Nantes pada era 1970-an bermodalkan pemain-pemain akademi, pemain potensial dari seluruh Prancis mulai dipantau Monaco sejak mereka masih berumur 11 atau 12 tahun.
Namun karena setiap klub dilarang merekrut pemain di bawah usia 14 tahun yang bukan berasal dari wilayahnya, Monaco seringkali membiarkan pemain-pemain tersebut masuk institusi pelatihan milik federasi seperti INF Clairefontaine.
Mereka baru akan diikat kontrak ketika menginjak 15 tahun. Kylian Mbappe adalah contoh terakhir yang mengikuti alur ini, sama seperti pemain terbaik yang pernah dihasilkan akademi Monaco, Thierry Henry.
Strategi pembelian pun kini menyasar talenta muda yang didapatkan secara murah, setidaknya dibandingkan dengan fase awal kepemimpinan Rybolovlev.
Mendatangkan Thomas Lemar dan Tiemoue Bakayoko masing-masing hanya membutuhkan 4 dan 8 juta euro. Bernardo Silva yang kabarnya baru dilepas Monaco di kisaran 80 juta euro, didatangkan dari Benfica dua tahun lalu seharga 16 juta euro.
Rybolovlev tentu kegirangan jika ada yang menawar Silva dengan harga segila itu. Hingga saat ini, kepindahan Anthony Martial tetap menjadi kemenangan terbesar kebijakan transfer Monaco. Didapatkan seharga 5 juta euro dari Lyon, United menebusnya dengan harga 10 kali lipat pada 2015.
Strategi semacam ini sebenarnya serupa dengan apa yang dilakukan Roman Abramovich di Chelsea. Dijembatani Jorge Mendes, kedua oligarki Rusia ini tak jarang saling membantu seperti yang terjadi pada peminjaman Falcao.
Sayangnya, pemain muda yang dibina melalui sistem peminjaman ke klub lain masih saja kesulitan untuk mendapatkan kepercayaan di tim utama. Jika akhirnya mereka terpaksa dijual, seperti pada kasus Romelu Lukaku atau Kevin de Bruyne, selisih keuntungannya tak terlalu signifikan.
Claudio Ranieri hengkang setelah kontraknya habis meskipun berhasil mengakhiri musim promosinya di Ligue 1 sebagai runner-up. Rybolovlev memandang Ranieri bukan sosok yang tepat untuk menangani pemain-pemain muda Monaco.
Ia justru menggandeng Leonardo Jardim. Nama yang mulanya mengherankan fans Monaco yang segelintir itu.
Periode singkatnya bersama Sporting Lisbon akan diingat sebagai kebangkitan akademi yang berjasa melahirkan calon-calon pemain terbaik dunia dalam diri Luis Figo dan Cristiano Ronaldo.
Produk akademi semacam William Carvalho, Adrien Silva, maupun Cedric Soares di tangan Jardim menjadi pemain kunci yang memulihkan predikat Três Grandes (penghuni 3 besar Liga Portugal selain Benfica dan Porto) setelah terlepas selama dua musim.
Jardim bukan manajer yang ragu menaruh kepercayaan di pundak pemain muda, karakter yang diidamkan Rybolovlev.
Terpilihnya Jardim yang terdengar asing semestinya mengundang kenangan indah di benak suporter Monaco. Pada 1987, seorang pria jangkung yang sepertinya pergi meninggalkan Nancy tanpa catatan istimewa, ditunjuk sebagai pelatih baru.
Kelak pria ini mengantarkan Monaco ke masa keemasannya sembari konsisten mengorbitkan pemain dari akademi. Emanuel Petit, Thierry Henry, Lilian Thuram di antara para pemain muda berbakat kala itu.
Pendekatan baru yang diterapkan Rybolovlev terbukti mampu mempertahankan capaian mereka di atas lapangan. Posisi Monaco di liga merosot satu peringkat pada musim pertama Jardim memegang kendali.
Namun mereka menyimpan cerita manis saat berhasil menaklukan Arsenal yang ditukangi seorang pria jangkung dari Prancis dengan skor 3-1 di Emirates. Kepergian selama 11 tahun tak membuat Monaco lupa caranya menang di Liga Champions.
Sepanjang Monaco meraih tiket tampil di Liga Champions, mereka mempunyai etalase terbaik untuk menampilkan pemain-pemain mudanya, menjualnya dengan harga tinggi, kemudian digantikan dengan talenta-talenta baru yang telah diendus sekian lama.
Gelar liga yang mungkin direngkuh di akhir musim ini mengirim pesan bahwa klub yang menyambung hidupnya dari hasil penjualan pemain tak selamanya berprestasi ala kadarnya.