Sepakbola dan stadion adalah dua hal yang tak terpisahkan walau sepakbola tak melulu dimainkan di situ. Kita bisa memainkan sepakbola di manapun yang kita mau, asal ada sepetak tanah datar supaya bola bisa bergulir. Cukup.
Akan lain ceritanya apabila kita ingin memainkan sepakbola secara layak sesuai dengan seluruh aturan yang berlaku. Tentu, kita membutuhkan stadion yang representatif.
Betapa kehadiran sebuah stadion sangat penting bisa terlihat ketika sebuah wilayah menjadi tuan rumah ajang sepakbola. Entah turnamen sekelas Piala Dunia, Piala Soeratin tingkat provinsi atau bahkan kejuaraan sepakbola antar kampus. Semua butuh stadion yang layak untuk menggelar pertandingan.
Namun merawat stadion pasca-penyelenggaraan turnamen adalah pekerjaan rumah tersendiri. Mungkin kita masih ingat tentang stadion-stadion yang terbengkalai di Brasil setelah gelaran Piala Dunia 2014 atau bagaimana hebohnya pemberitaan di media massa Indonesia kala menyoroti buruknya kondisi Stadion Utama Riau selepas Pekan Olahraga Nasional (PON) 2014.
Situasi serupa namun tak sama juga terjadi di Kabupaten Ponorogo. Stadion Gelora Batoro Katong yang menjadi pusat pembinaan calon pesepakbola keadaannya memprihatinkan. Lapangannya nyaris gundul dan berdebu pada musim kemarau, tapi berubah seperti sawah kala musim penghujan tiba.
Di stadion inilah tim kebanggaan masyarakat Kota Reog, Persepon Ponorogo, bermarkas. Dan sedikit informasi untuk Anda semua, di tempat ini pula Dian Agus Prasetyo, mantan kiper timnas Indonesia U-23 di Asian Games 2006, menyemai mimpinya jadi pesepakbola profesional.
Hampir semua ajang mayor di Ponorogo pernah digelar di Stadion Batoro Katong. Mulai dari konser musik hingga kejuaraan pacuan kuda yang kini tak lagi ada.
Sebagai satu-satunya stadion di Ponorogo, nyatanya arena ini jauh dari kata layak. Kesan tak terawat akan terlihat bahkan sebelum memasuki area dalam stadion. Tembok yang menghitam berlumut di sekelilingnya seolah tinggal menunggu waktu untuk roboh.
Sumber foto: Penulis
Memasuki kawasan dalam stadion, mata akan disuguhi pemandangan lapangan yang nyaris gundul. Di samping lapangan terdapat tribun utama di sisi barat dan sebelah selatan. Kedua tribun ini adalah saksi bisu mandeknya prestasi sepakbola di kabupaten yang menjadikan reog sebagai ikonnya.
Lapangan adalah bagian terpenting dari sebuah stadion. Begitu juga di Stadion Batoro Katong. Setiap hari, lapangan ini tak pernah sepi dari aktivitas menendang bola.
Pagi hingga siang hari, lapangan ini digunakan oleh para pelajar yang sedang melaksanakan jam pelajaran olahraga. Ketika senja tiba, giliran klub-klub sepakbola di sekitar Ponorogo yang menggunakannya. Sungguh padat untuk sebuah stadion yang nyaris tak terawat.
Suporter Tuntut Renovasi
Selayaknya sepakbola amatir di Indonesia, Ponorogo juga masih bergantung pada pemerintah daerah dalam urusan sepakbola dan infrastrukturnya. Tiga komunitas suporter Persepon, yaitu Warok Mania, Curva Nord Wengker, dan Bad Sector Crew terhitung sejak tahun 2018 gencar menagih janji Bupati Ponorogo untuk merenovasi stadion. Berbagai aksi sudah dilakukan Ponorogo fans.
Meminjam lirik Didi Kempot, “gek opo salah, awakku iki, kowe nganti tego mblenjani janji”, dari lagu berjudul Cidro ini, sangat menggambarkan perasaan Ponorogo fans yang merasa diingkari oleh janji renovasi. Padahal mereka sudah melakukan banyak aksi guna menagih janji, mulai dari unjuk rasa, melontarkan unek-unek di grup Facebook warga, hingga menyebar pamflet dan selebaran di penjuru kota.
Dibanding stadion milik kota lain di wilayah Jawa Timur bagian barat, Stadion Batoro Katong bisa disebut sebagai yang terburuk. Bahkan di Liga 3 Zona Jawa Timur musim 2018 lalu beredar guyonan di kalangan suporter bahwa mengalahkan Persepon di kandang sendiri adalah pekerjaan mustahil.
Tim sekelas Persibo Bojonegoro yang pernah bermain di Piala AFC saja tak kuasa melawan keperkasaan Persepon di Stadion Batoro Katong yang kondisi lapangannya tak karuan. Apalagi tim-tim sekelas Barcelona atau Manchester City yang permainannya mengalir dan butuh lapangan berkualitas mumpuni. Mereka bisa malu berat begitu pulang dari Stadion Batoro Katong.
Terasa makin ironis ketika pada tahun ini Persepon ditunjuk menjadi salah satu tuan rumah Piala Soeratin zona Jatim. Stadion yang kurang layak membuat Persepon harus menyewa stadion milik IAIN Ponorogo dan Lapangan Rajawali Bungkal untuk menjamu lawan-lawannya.
Momentum ini sendiri dijadikan ajang Ponorogo fans untuk bersuara lebih keras lagi dalam menagih janji renovasi. Selain mendukung Persepon muda, kelompok suporter ini mulai mengkampayekan kepada masyarakat Ponorogo bahwa di kota ini juga ada kesebelasan sepakbola yang pantas didukung. Sebuah upaya yang patut di apresiasi, mengingat minimnya perhatian dari pemerintah daerah akan eksistensi Laskar Suromenggolo.
Sejenak ingatan saya terbang ke masa 20 tahun yang lalu saat diajak bapak menyaksikan Jacksen F. Tiago dan koleganya sesama legiun asing asal Brasil bertanding melawan Persepon All Stars yang digawangi Uston Nawawi dan segenap pemain lokal top Jawa Timur di Liga Indonesia pada awal tahun 2000-an.
Serunya pertandingan itu membuat saya bertanya-tanya, kira-kira kapan lagi Stadion Batoro Katong menjadi arena pemain top nasional menendang bola disaksikan Ponorogo fans yang bernyanyi di tribun.