AC Milan: Wujud Sempurna Visi Berlusconi dan Eksekusi Galliani

Berbicara tentang AC Milan pada era 1990-an hingga awal 2000-an, berarti berbicara tentang pasang surut. Banyak prestasi, tetapi tidak sedikit pula momen memalukan. Banyak pemain hebat, namun ada pula beberapa pemain flop.

Begitulah Milan, salah satu dari anggota The Magnificent Seven, atau Il Sette Magnifico, alias tujuh kesebelasan luar biasa. Mereka membingkai kompetisi Serie A Italia yang begitu memesona pada era 1990-an hingga awal 2000-an.

Sebagaimana layaknya sebuah klub, I Rossoneri memang mengalami pasang surut seperti yang dijelaskan secara singkat di atas. Akan tetapi, Milan agak sedikit berbeda dibandingkan dengan klub-klub lain.

Saat menuai kesuksesan, Milan memiliki tim yang tidak hanya meraih trofi, tapi juga memainkan sepakbola yang begitu atraktif dan memanjakan mata. Semua lini bertabur pemain bintang, bahkan hingga ke bangku cadangan.

Dari tahun 1990 hingga 2003 saja misalnya, Milan empat kali lolos ke babak final Liga Champions, dengan memenangkan dua di antaranya. Namun, Milan juga pernah berada dalam nestapa ketika dikalahkan Olympique Marseille dan Ajax Amsterdam pada final Liga Champions 1993 dan 1995.

Era Arrigo Sacchi, Perkenalan Pertama Berlusconi

Segala kisah ini, bagaimanapun tidak lepas dari peran seorang mastermind, sosok yang berpengaruh sekaligus kontroversial. Anda bisa mencintai sekaligus membencinya, mengagumi sekaligus meledeknya, dialah Silvio Berlusconi.

Berlusconi merupakan pengusaha sukses asli kota Milan yang begitu mencintai sepakbola. Ia melihat I Rossoneri sebagai klub yang bisa dijadikan sebagai citra diri yang sudah dibangunnya: glamor, berprestasi, sekaligus dicintai dan bisa diterima pasar.

Kompleks latihan Milanello langsung dipermak menjadi sebuah fasilitas latihan berkelas dunia. Taman-taman yang indah, restoran dan kafe mewah, lapangan latihan berkualitas tinggi, tempat konferensi pers yang nyaman menjadikan Milanello tiada banding.

Pengalaman di bidang media dan publikasi membuatnya paham betul cara mempromosikan klub ini. Pemberitaan masif di stasiun televisi dan jaringan medianya serta rangkaian wawancara eksklusif dengan pemain membuat publik begitu mudah mencintai I Rossoneri.

Berlusconi juga tahu betul bahwa ia tidak mampu mengurus Milan seorang diri. Untuk itulah ia menunjuk Arrigo Sacchi sebagai pelatih yang ia yakini bisa mengejawantahkan visinya di lapangan.

Sementara itu, di luar lapangan, ia membutuhkan eksekutor handal yang juga memiliki visi tajam dan kemampuan negosiasi yang sangat mengagumkan. Pilihan ini jatuh pada Adriano Galliani.

Dalam tulisannya di These Football Times, Christopher Weir menggambarkan Galliani sebagai sosok yang amat rasional dan terukur. Keberadaannya dapat mengimbangi Berlusconi yang flamboyan dan sensasional.

Galliani kemudian mempekerjakan Ariedo Braida, seorang Direktur Olahraga dengan kemampuan scouting dan negosiasi yang tak perlu diragukan.

Mereka berdua mencarikan pemain-pemain yang cocok untuk mengimplementasi ide-ide dasar Berlusconi dan Sacchi. Di mana mereka berdua selalu menginginkan timnya bermain menyerang dan menghibur, cara bermain yang berbeda dengan tim-tim Italia saat itu.

BACA JUGA:  Drama Tersaji dari Divisi Championship

Mundur ke akhir tahun 1980-an, dari hasil pencarian yang dilakukan Galliani dan Braida, datanglah sosok-sosok hebat. Sebut saja Roberto Donadoni dan Carlo Ancelotti.

Hadir pula trio Belanda: Ruud Gullit, Marco Van Basten, dan Frank Rijkaard. Mereka berkolaborasi dengan lulusan-lulusan terbaik akademi Milan yang tengah dipanen: Franco Baresi, Paolo Maldini, dan Alessandro Costacurta.

Ketika pemain-pemain ini bersatu dalam sebuah tim, lalu bermain di bawah arahan seorang pelatih penentang catenaccio bernama Sacchi, jadilah sebuah kesebelasan penuh kenangan yang mampu memenangi dua Liga Champions secara beruntun.

Era Fabio Capello, Membawa Serie A ke Puncak Dunia

Sebuah era tentu saja tidak pernah abadi. Ketika Sacchi dipanggil tugas oleh negara untuk melatih tim nasional Italia, Berlusconi sudah menyiapkan sosok pengganti yang kala juga dipandang skeptis oleh publik, yaitu Fabio Capello.

Capello sebenarnya sudah lama bekerja di Milan sebagai staf pelatih. Oleh karena itu, ia sudah tahu seluk-beluk Milan dan sudah mengenal pemain-pemainnya, terutama Maldini, Baresi, dan Costacurta.

Pada era ini pula, kompetisi Serie A mengalami kejayaan. Begitu banyak tim yang mengumpulkan pemain bintang di bawah pemilik-pemilik klub yang ambisius. Infrastruktur anyar yang dibangun lantaran Italia menjadi tuan rumah Piala Dunia 1990 juga sangat mendukung.

Klub-klub Italia pun silih berganti memenangkan kejuaraan antarklub Eropa, yaitu Liga Champions dan Piala UEFA. Hal itu menjadikan kompetisi Serie A Italia sebagai yang terbaik di dunia pada era tersebut.

Kembali ke Capello, ia memiliki pendekatan berbeda dengan Sacchi. Bersama I Rossoneri, pelatih kelahiran 1946 itu lebih pragmatis. Baginya, bermain sepakbola tidak melulu bergantung pada satu sistem.

Kuartet Baresi, Maldini, Costacurta, ditambah Christian Panucci ia tempatkan untuk menjamin kekokohan lini belakang. Capello kemudian menempatkan seorang gelandang yang bertugas melindungi beknya. Pilihan itu jatuh ke Marcel Desailly, sosok perebut bola dan petarung yang alot.

Oleh Capello, Desailly diduetkan dengan pemain yang memiliki kemampuan mengatur permainan yang juga lulusan akademi, yakni Demetrio Albertini. Sementara itu, dua gelandang lain dibebaskan untuk membantu dua penyerang.

Untuk mengisi pos itu, didatangkanlah sosok-sosok kaya imajinasi semisal Zvonimir Boban, Dejan Savicevic, dan Gianluigi Lentini. Sistem Capello ternyata berhasil membuat para penyerang memainkan sepakbola terbaik mereka.

Van Basten misalnya, begitu menikmati sistem Capello di mana ia hanya ditugasi mencetak gol. Berbeda tatkala ia juga diminta bergerak dalam sistem yang rapi atau diminta membantu pertahanan di bawah Sacchi.

Capello pula yang kemudian mengorbitkan nama-nama tersohor, misalnya Jean-Pierre Papin, Florin Raducoiu, Brian Laudrup, George Weah, hingga dua penyerang lokal, Daniele Massaro dan Marco Simone.

Di bawah Capello, Milan berhasil melanjutkan era kesuksesan Sacchi, meski lebih mengutamakan pertahanan kokoh. Kemenangan sensasional atas Barcelona pada final Liga Champions 1994 bisa dikatakan sebagai pertandingan terbaik Capello sepanjang ia melatih.

BACA JUGA:  Samir Handanovic: Batman yang Kehilangan Kekuatan Supernya?

Tidak hanya itu, ajang Serie A yang empat kali dimenangi Capello juga meninggalkan rekor-rekor fantastis. Musim 1991/1992 ditandai gelar yang sangat identik dengan Capello, yaitu sepakbola efektif.

Saat itu, Milan hanya mencetak 36 gol dari 34 laga, tetapi hanya kebobolan 15 kali, hingga menjadikan Milan tak terkalahkan sepanjang musim. Rekor invincible ini bahkan bertahan hingga 58 pertandingan, torehan yang hingga kini menjadi rekor Serie A.

Menggeliat Di Era Ancelotti, Lalu Perlahan Tenggelam

Perjalanan memang tidak selamanya mulus. Milan memang begitu menghargai para legendanya. Namun, di lain sisi, kebijakan ini membuat biaya gaji Milan membengkak dan regenerasi begitu terhambat. Nyaris semua pemain yang didatangkan Berlusconi tersebut berharga mahal dan bergaji tinggi.

Keinginan agar I Rossoneri berprestasi di segala ajang yang diikuti, termasuk fokus memenangkan Liga Champions, menjadikan skuat Milan selalu gemuk agar tetap stabil di kompetisi lokal.

Ini menjadikan Milan sebagai klub yang sedari dulu mengeluarkan biaya tinggi. Seiring berjalannya waktu, biaya-biaya yang tinggi ini tidak mampu diimbangi pemasukan yang dihimpun.

Di tengah masuknya para investor dari Rusia dan Timur Tengah pada awal dekade 2000-an, Milan memang masih mampu menggeliat di bawah arahan Ancelotti.

Dengan kemampuan manajerial yang mengagumkan, Ancelotti mampu menyatukan pemain-pemain nomor 10 di satu lapangan, lalu digabungkan dengan penyerang-penyerang berkelas dunia dan lini belakang yang kokoh.

Era Il Meravigliosa atau mereka yang mengagumkan ini, sayangnya menjadi yang terakhir dalam rangkaian kisah sukses Milan pada era Berlusconi. Setelah itu, Milan terus menurun.

Di sisa-sisa tenaga, Berlusconi memang masih bisa menghadirkan Zlatan Ibrahimovic, Robinho dan juga berhasil mengorbitkan Thiago Silva di bawah pelatih Massimiliano Allegri.

Meski berbuah sekali scudetto, namun kesuksesan ini tidak bertahan lama. Kemunduran finansial perusahaan Berlusconi sudah tak mampu lagi ditutupi, dan Milan tidak bisa terus menerus mengandalkan kemampuan diplomasi Galliani.

Tahun 2017, Milan pun dijual ke Rossoneri Sport Investment Lux, konsorsium yang dipimpin Yonghong Li dengan harga nyaris 750 juta euro. Singkat cerita, tahun 2020 ini kepemilikan Milan telah berganti dari Li ke Elliott Management Corporation, sebuah modal ventura yang berbasis di New York, Amerika Serikat.

Pada kurun waktu ini, wajah Milan pun berubah total. Berlusconi memang mewarisi trofi dan kejayaan, tetapi juga meninggalkan kondisi finansial yang sulit dipulihkan dan skuat yang perlu dirombak ulang, bahkan hingga sekarang.

[Best_Wordpress_Gallery id=”30″ gal_title=”AC Milan Legends”]

NB: Seluruh ilustrasi yang ada di artikel ini dikerjakan oleh para ilustrator yang tergabung dalam Indonesian Football Artist / IFA (idfootballartist). Fandom.id mendapat kesempatan untuk menayangkan karya-karya terbaik IFA. Daftar ilustrator yang terlibat untuk ilustrasi edisi #MengingatSejarah AC Milan ini: Boban (@Heyjudh), Maldini (awal.27), Baggio (@galihsatr), Bierhoff (@31×95), Weah (galihmr16), Desailly (@febryan_ari26), dan Albertini (gnldsgn).

Komentar
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast