Kunci Sukses Perkembangan Sepak Bola Thailand

Thailand dikenal sebagai negara pariwisata. Turis dari berbagai negara mulai dari Eropa hingga Indonesia menjadikan lokasi wisata di Pattaya, Bangkok, dan lainnya sebagai tujuan wisata.

Namun, negeri Gajah Putih ini tak semata dikenal karena wisatanya. Mereka memiliki kultur sepak bola yang kuat juga punya prestasi mengkilap di lapangan hijau. Bahkan kini mereka tak sekadar menguasai Asia Tenggara tapi coba mendobrak Asia yang selama ini dikuasai negeri Asia Timur dan Timur Tengah.

Pernah terpuruk hingga kehadiran Zico membawa angin perubahan

Setelah Peter Withe sukses memberi banyak gelar rentang tahun 1998-2002, Thailand mulai menurun. Tanpa gelar di Piala Tiger 2004 dan Piala AFF 2007/2008, Football Association of Thailand (FAT) akhirnya membuat gebrakan dengan mendatangkan nama kondang yang sudah malang melintang di Liga Premier Inggris, Bryan Robson, untuk menjadi pelatih tim senior mereka. Tiba di bulan September 2009, Robson berhasil membuat debut manis dengan membungkam Singapura 3-1 di Kualifikasi Piala Asia 2011.

Walaupun demikian, dirinya tak mampu membayar ekspektasi tinggi yang diberikan dan puncaknya adalah ketika Piala AFF 2010 yang digelar di Vietnam dan Indonesia. Bermain di Grup B bersama tuan rumah Indonesia, Malaysia, dan Laos, mereka tak pernah sekalipun mencicipi kemenangan. Robson akhirnya mengundurkan diri pada Juni 2011. Saat itu pula, Thailand hampir menunggu 10 tahun untuk sebuah gelar bergengsi di tingkat Asia Tenggara.

Berbeda dengan seniornya, tim muda Thailand mampu membuat harum nama negaranya. Menjadi penguasa di South East Asia (SEA) Games dan selalu lolos penyisihan grup Asian Games (AG), akhirnya memunculkan satu nama. Dialah Kiatisuk “Zico” Senamuang, sang legenda dengan gol dan cap terbanyak di timnas Thailand. Zico –julukan Kiatisuk Senamuang yang merujuk pada legenda sepak bola Brasil— menjadi orang yang paling hangat diperbincangkan kala itu karena berhasil membawa tim muda Gajah Putih meraih gelar SEA Games 2013 dan peringkat 4 AG setahun kemudian.

Berkat prestasinya tersebut, Zico ditunjuk menjadi pelatih kepala tim senior. Tak peduli seumur jagung dan bau kencur, Thailand ingin dibawanya menjadi kampiun ASEAN. “Saya ingin memenangkan Piala AFF, saya ingin menang untuk rakyat Thailand,” kata Zico dalam sebuah wawancara jelang turnamen AFF 2014 dan diulangi jelang final leg pertama.

Mengandalkan mayoritas skuat muda, Thailand berhasil dibawanya mengangkat trofi Piala AFF 2014 dengan mengalahkan Malaysia 4-3 dan menjadikan dirinya orang yang pertama memenangkan Piala AFF (dulu Piala Tiger) sebagai pemain maupun pelatih.

BACA JUGA:  Jelang Final Leg II Piala AFF 2016: Tempo dan Angan Juara

Last but not least, di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Asia & Kualifikasi Piala Asia 2019, Thailand belum sekalipun merasakan kekalahan. Satu grup dengan Irak, Vietnam, Tionghoa Taipei, (dan sejatinya Indonesia), Thailand mampu memuncaki klasemen dengan nilai tujuh. Jika mereka bisa mempertahankan tren positif ini, bukan tidak mungkin timnas Thailand akan melenggang mulus ke fase-fase kualifikasi berikutnya.

Foto 1 - Kiatisuk “Zico” Senamuang (AFP).
Foto 1 – Kiatisuk “Zico” Senamuang (AFP).

Ya, sebenarnya dalam sepak bola, Thailand juga cukup morat-marit. Namun dengan dedikasi yang kuat untuk negara, ditambah dengan pengelolaan pemain muda yang konsisten, mereka mampu kembali ke jalur yang semestinya.

Manajemen yang perfectionist dan liga dengan klub yang stylish.

Namun, dedikasi yang kuat belum menjamin sebuah tim bisa langsung menjadi sang juara. Diperlukan juga pengelola yang handal di bidangnya. Sedikit informasi bahwa Presiden FAT, Worawi Makudi, sebetulnya pernah divonis 16 bulan penjara karena memalsukan dokumen di tahun 2013. Tidak hanya itu, berbagai permasalahan termasuk masalah korupsi juga pernah menimpa. Tapi hebatnya, klub-klub Thai Premier League (TPL) terus konsisten dalam mengelola aset-aset mereka. Dimulai dari peningkatan mutu akademi hingga branding klub untuk menaikkan nilai tawar mereka. Kita ambil contoh dari klub yang memuncaki klasemen TPL sementara, Buriram United.

Kondisi internal klub yang kondusif

Buriram United ini adalah “klub lama rasa baru”. Buriram United dulunya bernama PEA FC dan berbasis di kota Ayutthaya, namun pindah ke kota Buriram pada 2010 dan langsung menjadi primadona. Setahun kemudian, mereka mampu memborong tiga gelar yakni TPL, Thai FA Cup, dan League Cup.

Alasan yang paling sederhana adalah kekuatan skuatnya. Buriram United diisi nama beken macam Suchao Nutnum (eks Persib), Theerathon Bunmathan, serta si kembar Surat dan Suree Sukha. Kebijakan transfer pemain impor juga tak main-main. Tercatat beberapa pemain gres pernah membela klub ini seperti Rafael Coelho (eks U-18 Brasil), Jay Simpson (eks Arsenal dan Hull City), dan Andrez Tunez (masih aktif di timnas Venezuela). Dengan kualitas yang sedemikian rupa, klub ini mampu bersaing di ajang sekelas AFC Champions League dan saat ini sudah masuk 10 besar klub se-Asia. Hal tersebut tentu harus didukung oleh finansial klub yang baik, dan Buriram United mampu menjawab semuanya.

BACA JUGA:  Akuisisi Newcastle United, Akankah Terwujud?
Foto 2 - Andres Tunez (ist).
Foto 2 – Andres Tunez (ist).

Pencitraan klub yang sukses

Krisis finansial hampir tidak pernah muncul ke permukaan karena selain memiliki skuat yang mentereng, Buriram United juga memiliki citra yang sangat baik. Dibanding klub-klub Asia Tenggara lainnya, penampilan dan performa klub Thailand, khususnya Buriram United, sangatlah terasa modern. Jika anda berkesempatan mengunjungi Thailand, hadirlah ke stadion yang mempertemukan dua tim papan atas TPL macam Buriram United dan Muangthong United. Di sana, anda mungkin akan melihat sesuatu yang berbeda untuk anda jadikan pengalaman baru.

Foto 3 - Buriram United vs Muangthong United (ist).
Foto 3 – Buriram United vs Muangthong United (ist).

Beberapa tahun belakangan ini, tanah Inggris telah menjadi kiblat para pengelola liga dan klub sepak bola negeri Gajah Putih. Mereka seakan meniru apa pun yang ada di persepakbolaan negeri Tiga Singa. Tak ayal, dari jersey hingga stadion-pun menjadi sangat stylish dan perfeksionis. Dengan konsep yang kental dengan citarasa Eropa, mayoritas klub papan atas TPL mampu menarik sejumlah sponsor besar untuk menanamkan modalnya di klub. Para sponsor setidaknya akan mendapatkan jaminan keuntungan, karena dengan konsep ini, bukan tidak mungkin, stadion akan selalu penuh dan aksesoris klub yang sangat trendy bisa terjual habis. Belum lagi siaran di televisi akan menjadi sangat menarik dengan terlihat rapinya stadion saat pertandingan berlangsung. Dengan kata lain, klub akan memperoleh banyak keuntungan yang berimbas pada suksesnya promosi perusahaan yang menjadi sponsor di klub tersebut. Akhirnya, klub-pun tak usah memeras keringat mengenai masalah finansial.

Harus diakui, Thailand memang sangat mendominasi sepak bola di Asia Tenggara. Walaupun sempat porak-poranda dalam waktu yang lama, tapi perlahan mereka mampu kembali bersaing. Itu pun diraih dengan waktu yang tidak sebentar.

Terakhir, tulisan ini dibuat hanya untuk berbagi pengetahuan kepada seluruh pencinta sepak bola nasional. Harapannya, tulisan ini bisa memberikan ide atau inspirasi untuk perkembangan sepak bola negeri ini. Sudah tak perlu lagi mencari role model sepak bola hingga jauh-jauh ke Benua Biru. Kita bisa melihat bagaimana Thailand berkembang. Dan bukan tidak mungkin dengan perjuangan, pengorbanan, serta tekad yang kuat, Garuda bisa terbang sangat tinggi meninggalkan pesaing-pesaingnya termasuk si Gajah Putih. Bravo Indonesia!

 

Komentar