Minggu, 14 Juni 2015. Belum genap sehari setelah harapan penikmat sepak bola Indonesia akan emas SEA Games diluluhlantakkan oleh negara digdaya, Thailand, cabang bola voli putri pun merasakan kegagalan serupa. Langkah mereka untuk melaju ke partai puncak dihentikan oleh wakil dari negara yang sama.
Di balik segala duka, muncul kabar gembira dari cabang olah raga yang identik dengan golongan menengah ke atas, bola basket. Kedua tim nasional basket Indonesia, putra dan putri, berhasil memperbaiki raihan medali SEA Games dua periode lalu. Lebih hebatnya lagi, bagi basket putri, ini adalah medali pertama mereka setelah 18 tahun. Dan sekadar informasi saja, lawan yang berhasil mereka kalahkan adalah Thailand, peraih medali emas basket putri SEA Games dua periode sebelumnya. Hal ini seakan menjadi pelepas dahaga yang tentu saja berawal dari keseriusan cabang basket membenahi kompetisinya.
Kompetisi merupakan hulu dari prestasi setiap cabang olah raga. Kompetisi yang terstruktur rapi dan berjenjang merupakan salah satu ciri pembinaan yang ideal. Di tengah seretnya prestasi olahraga Indonesia secara umum, hal yang paling sering menjadi kambing hitam ialah inkompetensi para pengurus cabang olahraga dalam hal regenerasi pemain. Hal ini pula yang menjadi keresahan bersama pada cabang olahraga (yang katanya) paling populer se-Indonesia, sepak bola.
PSSI seolah latah dan baru mendeklarasikan pembinaan sebagai fokus utama mereka pada kepengurusan 2015 ini. Keberhasilan tim nasional U-19 yang pada 2013 lalu menjadi juara tingkat Asia Tenggara jelas tidak bisa dipandang sebagai keberhasilan pembinaan karena memang sejatinya pembinaan sepakbola usia muda di Indonesia belum tertata kalau tidak mau dibilang belum terbentuk.
Kompetisi sepak bola kategori usia dini di Indonesia sebenarnya sudah banyak. Sebut saja Liga Kompas Gramedia, Danone Cup, Piala Suratin, maupun Liga Pendidikan Indonesia. Akan tetapi, dari sekian banyak kompetisi usia muda, sedikit yang merupakan program PSSI, dan selebihnya merupakan program institusi swasta yang memiliki kepedulian terhadap sepak bola nasional. Dilihat dari ruang lingkupnya, sebenarnya Liga Pendidikan Indonesia memiliki posisi paling strategis dalam mengakomodasi pembinaan sepak bola nasional, akan tetapi dari segi pelaksanaan, seakan-akan kompetisi ini salah asuhan dan muaranya pun tidak sebaik yang dicita-citakan. Sebaiknya kita mundur sejenak untuk berkaca pada cabang olahraga lain yang telah lebih dahulu maju dalam hal kompetisi junior.
Adalah bola basket dengan Development Basketball League (DBL)-nya yang patut menjadi panutan. DBL, yang mulai bergulir pada tahun 2004, awalnya merupakan kompetisi basket tingkat sekolah menengah atas (SMA) yang diselenggarakan terbatas di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya. Seiring dengan animo masyarakat yang meningkat, DBL mulai melebarkan sayapnya. Mulai tahun 2008, kompetisi ini menasional. Tercatat dari awalnya hanya melibatkan satu propinsi, tahun ini DBL akan digulirkan di 22 provinsi.
DBL yang awalnya hanya ditangani oleh beberapa orang, kini dikelola oleh sebuah perusahaan yang bernama PT. Deteksi Basket Lintas Indonesia (PT. DBL). Perputaran uang yang hanya berawal dari modal sebesar 40 juta rupiah, kini telah mencapai milyaran nilainya. Basket yang awalnya adalah olah raga nomor dua di Indonesia kini bersiap merebut tahta tersebut dari sepak bola. Jenjang kompetisi DBL sendiri berawal dari DBL Competition di tiap kota penyelenggara lalu dilanjutkan dengan DBL First Teams yang berupa penyaringan pemain untuk membentuk tim terbaik, kemudian DBL Camp, penyaringan 12 pemain terbaik dan terakhir DBL All-Stars, tur ke luar negeri tim pemain terbaik DBL Camp tadi.
Kekuatan utama DBL terletak pada kekuatan media yang mendukungnya. Pencetusnya, Azrul Ananda, adalah CEO Grup Jawa Pos yang tersebar di seluruh Indonesia dan tidaklah mengherankan apabila kompetisi yang ia besut besar dan berkembang karena media. Kemampuan DBL dalam mengolah media dapat terlihat dari pemanfaatan media sosial (Twitter dan Facebook) serta situs web resmi DBL itu sendiri.
DBL yang mengambil posisi strategis dalam menyambung mata rantai pembinaan basket Indonesia yang terputus seakan dimudahkan dengan optimalnya publikasi dan dokumentasi dari media-media tersebut. Rataan penonton yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu bukti optimalnya peran media dalam mempublikasikan DBL. Pada wawancara dengan CNN Indonesia akhir 2014 silam, Azrul Ananda bahkan berani menargetkan peningkatan jumlah penonton pada tahun 2015 ini sampai 20 persen. Sorak sorai penonton yang meriah mendukung sekolahnya tentu akan berpengaruh kepada para pemain yang berlaga di tengah lapangan. Ramainya penonton yang hadir inilah yang menjadi salah satu parameter keberhasilan DBL.
Setengah hatinya penyelenggaraan Liga Pendidikan Indonesia
Sepak bola yang merupakan olah raga nomor satu di Indonesia sebenarnya mempunyai kompetisi junior yang jauh lebih luas cakupannya dibandingkan DBL. Liga Pendidikan Indonesia (LPI), begitulah kompetisi ini dikenal. Kompetisi ini dimulai pada tahun 2009 dan merupakan program bersama antara Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dengan didukung oleh PSSI. Tercatat, pada tahun 2010, kompetisi ini diikuti oleh sekitar 3.000 sekolah baik tingkat SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi. Peluang yang begitu mewah ini sayangnya tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh PSSI maupun pengelola LPI.
Keriuhan penonton dalam mendukung almamater kebanggaannya tidak terasa gemanya di kompetisi LPI ini. Cakupan yang demikian luas justru menjadi bumerang bagi pelaksanaan LPI. Kompetisi yang berjenjang mulai tingkat kabupaten, propinsi, hingga nantinya dipertandingkan di tingkat nasional tidak mampu dikelola dengan baik sehingga pelaksanaan kompetisi ini pun seakan-akan hanya rutinitas semata tanpa adanya nilai yang hendak ditanamkan kepada para peserta. Pengelolaan yang kurang optimal tercermin antara lain dari publikasi yang tidak maksimal. Pada awal pelaksanaan, terdapat media sosial serta situs web yang cukup up-to-date dalam mempublikasikan serta mendokumentasikan hasil-hasil yang dicapai di tiap daerah. Seiring berjalannya waktu, entah karena pengelola yang sibuk melakukan tindakan nyata di lapangan atau apa, situs web ligapendidikan.com kini tidak lagi bisa diakses dan akun Twitter @LigaPendidikan, entah akun resmi atau tidak, terakhir aktif pada 2011 lalu.
Ditinjau dari fakta-fakta di atas, maka bisa dikatakan bahwa DBL lebih progresif meski berada di luar zona nyaman sedangkan LPI justru stagnan, terlena oleh kenyamanan yang mereka miliki. Bagaimana tidak progresif? Sebagai kompetisi yang dikelola oleh pihak swasta dan berada pada tingkat SMA, PT. DBL justru dimintai tolong untuk mengelola liga professional oleh para klub professional, suatu hal yang hampir tidak mungkin terjadi di lingkup sepak bola Indonesia dengan berbagai kekakuan dan ancaman-ancamannya. Selain itu, demi mengakomodasi minat penonton yang semakin membludak, PT. DBL juga membangun DBL Arena, lagi-lagi suatu hal yang belum mampu diwujudkan di lingkup sepak bola Indonesia, sebuah PT (ingat: semua klub ISL sudah berbentuk PT.) membangun arena olahraganya sendiri tanpa perlu berdalih bahwa infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah.
Selain itu, DBL juga mampu menjalin kerja sama dengan kompetisi basket paling termasyhur sejagat raya, NBA. Khusus untuk poin satu ini, LPI bisa sedikit berbangga hati karena mereka juga memiliki program memberangkatkan empat pemain terbaiknya ke klub anggota Real Madrid meskipun keberlanjutan program tersebut pun perlu disangsikan. Poin terakhir yang mugkin menjadi pukulan telak baik bagi LPI maupun PSSI secara keseluruhan ialah kemampuan DBL membangkitkan kembali kompetisi basket wanita baik di tingkat junior maupun profesional, sesuatu yang baru sampai di benak pengurus PSSI awal tahun ini.
Zona nyaman memang melenakan. Hal inilah sepertinya yang terjadi pada LPI. Bagaimana tidak? Sebagai program yang dicanangkan oleh tidak hanya satu, melainkan tiga instansi pemerintah (Kemendiknas, Kemenpora, dan PSSI), seharusnya keberlangsungan program ini akan relatif lebih mudah daripada program pembinaan lain yang diadakan pihak swasta. Pembiayaan LPI sendiri berasal dari dana APBN, APBD, serta dari sponsor dan donatur sehingga dari segi pendanaan pun relatif lebih nyaman bagi pelaksana LPI. LPI dengan segala privilege yang mereka miliki seakan melupakan salah satu tujuan utama terbentuknya LPI seperti yang tertera pada materi workshop LIPIO 2010 yaitu mendorong terciptanya sepak bola sebagai sebuah industri.
Demi menghapus stigma penulis yang berat sebelah, maka perkenankan saya membeberkan beberapa kelebihan LPI. Keberlangsungan kompetisi LPI mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dari awalnya berkisar antara 3.000 tim pada 2010, pada tahun ketiga, jumlah tim yang berpartisipasi mencapai 8000-an tim. Peningkatan yang mencapai lebih dari 300% meskipun klaim tersebut tidak dapat dicek ulang karena minimnya pengarsipan dari pihak pengelola. Di pihak lain, DBL ternyata mengalami peningkatan yang jauh lebih signifikan. Dari awalnya hanya diikuti 95 tim, pada tahun keenamnya, jumlah peserta telah meningkat menjadi 1087 tim, atau mencapai sepuluh kali lipat. Kelebihan LPI yang tak akan terbantahkan ialah bahwa LPI mampu mencakup seluruh propinsi di Indonesia meskipun sejatinya kuantitas yang banyak tidak akan berarti apa-apa dengan pengelolaan yang sekenanya.
Di pengujung tulisan ini, mungkin memang tidak layak membandingkan DBL dengan LPI. Ketika DBL dijalankan oleh anak muda dengan ide meletup-letup, LPI dijalankan oleh para pengurus cabang PSSI yang sudah sulit untuk dipercaya. Ada baiknya, para pengampu kebijakan di sepak bola sedikit memalingkan mukanya ke pembinaan pemain muda, lewat LPI. Bila boleh saya mengutip pernyataan Azrul Ananda, apabila ingin mengejar prestasi maka tidak boleh melupakan fondasi, yaitu partisipasi yang nantinya akan menghidupi industri olah raga itu sendiri. Sudah saatnya para pemangku jabatan sepak bola Indonesia menepi sejenak keluar dari zona nyaman yang mulai melenakan mereka.