Apa yang lebih hebat dari sebuah tim yang mampu menggerakkan ribuan hingga ratusan ribu orang untuk berada di pihak mereka dan melupakan loyalitas serta idealisme mereka masing-masing?
Leicester City melakukan itu dengan sempurna musim ini. Ia wajah revivalis sejati. Semangat mereka adalah semangat semua orang.
Hidup selalu tentang kegagalan dan kesuksesan. Narasi Leicester adalah tentang kegagalan dan kesuksesan yang dibalut dalam satu fragmen romantis. Wajah pecundang pada musim lalu yang sekadar berjuang lolos dari degradasi lalu berubah drastis musim ini menjadi penantang utama gelar juara. Orang suka cerita romantis dan media mencintai cerita kejutan.
Leicester adalah sensasi. Si spesialis gagal dari Italia itu berubah menjadi seorang jenius taktik yang hebat. Penyerang dari liga amatir itu menjadi setara Luis Suarez milik Barcelona dengan gelontoran golnya tiap pekan. Pemain sayap kanan berbadan kecil kurus dari Aljazair itu menjelma ibarat Lionel Messi dan berpeluang menjadi pemain terbaik pada akhir musim nanti.
Leicester City adalah soal cerita orang kebanyakan dari kita yang berubah dari pecundang menjadi seorang yang hebat. Leicester menawarkan drama. Leicester ibarat novel romantis yang membuai ribuan orang untuk menjadi suporter mereka tiap pekannya. Anda tak perlu menjadi gila dan sinting untuk mendukung Leicester. Jujur saja, kita semua, menyukai Leicester.
***
Cerita dongeng selalu butuh sorotan, pun Leicester City musim ini. Mereka datang ke Emirates dengan susunan pemain-pemain terbaik mereka sepanjang musim ini yang konsisten mempecundangi lawan-lawan tiap pekannya.
Juara bertahan sempat dihajar 2-0, Manchester City dipecundangi dengan gagah sepekan sebelum datang ke London. Manchester United dipaksa menjadi saksi rekor gol beruntun Jamie Vardy. Belum lagi Liverpool dan cerita tendangan voli sensasional Vardy dari luar kotak penalti yang membius Simon Mignolet hingga Jurgen Klopp.
Sayangnya, Arsenal tak menyukai dongeng melankolis Leicester. Puasa gelar liga yang terlampau lama membuat mereka benci dengan drama dan bualan melankolis tentang akhir kisah manis di penghujung kisah romantis yang syahdu.
Era Invicibles mengendap dalam rekaman video dan hanya dinikmati berulang-ulang ketika waktu luang. Gelar juara Piala FA dua musim beruntun bukan jaminan prestasi yang diinginkan di zaman yang serba instan dan mewah ini. Pemain ingin gelar liga. Suporter ingin gelar liga. Dan Arsenal butuh gelar liga.
***
Ketika Vardy lepas dari penjagaan lini belakang dalam sebuah blitzkrieg kilat ala Ranieri musim ini, Arsenal harus sadar, bahwa serangan ini akan sangat menyakitkan nantinya. Terlebih, ketika muncul bayangan bahwa gol akan terjadi di penghujung babak pertama menjelang jeda.
Gol selalu mengubah tensi pertandingan. Mengubah suasana hati pemain. Whenever it scored, it changed the whole game. A goal is a goal. Abaikan prosesnya.
Kita tidak sedang belajar mengenai kenapa sisa-sisa fosil makhluk purba bisa menjadi cadangan minyak bumi bagi manusia pada masa depan. Gol tidak butuh penjelasan saintifik. Gol tak perlu deret statistik dan rekap taruhan bandar judi. Kita mengabaikan banyak hal untuk melihat satu gol tercipta dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Dan di titik itulah kenapa trik Jamie Vardy untuk mengkaitkan kaki kirinya saat dihadang Nacho Monreal adalah cerita tersendiri. Orang tak perlu penjelasan apakah itu sebuah diving atau bukan. Ketika peluit ditiup dan penalti diberikan, Arsenal harus sadar, semua orang ada di pihak Leicester.
Semua orang ingin Leicester menang. Seorang Gooner yang taat pun ingin Leicester menang. Saya tidak malu mengakui bahwa saya melompat kegirangan kala tendangan kaki kanan Riyad Mahrez menjebol gawang Joe Hart pekan lalu (6/2). Kita semua menyukai dan mendukung Leicester, asalkan, mereka tidak sedang melawan tim idola kita, benar begitu bukan?
***
Arsenal butuh perubahan sikap dan mentalitas yang benar untuk menghadapi Leicester di babak kedua. Arsenal harus ingat, ia tak sedang melawan sebelas pemain Leicester di lapangan, tapi ia melawan banyak orang. Linimasa media daring ramai dengan kicauan untuk Leicester dan puja-puji yang berderet-deret. Jamie Vardy sempat memuncaki trending topic di Twitter.
Leicester mengubah suasana hati banyak orang dengan satu buah diving dan satu buah penalti “kotor”. Di titik ini pula kita harusnya paham, kenyamanan di puncak klasemen dan angan akan sebuah gelar membuat banyak orang bisa melakukan apa pun.
Menjadi wajar kenapa Vardy “terjatuh” setelah kontak fisik yang hampir tidak ada sama sekali dengan Monreal. Dan wajar pula kenapa Steven Gerrard terpeleset ketika itu saat melawan Chelsea. Angan untuk juara dan puncak klasemen acapkali membuat orang lupa daratan, ya?
***
Sebuah kartu merah basa-basi dari Danny Simpson dan gol balasan dari Theo Walcott membuat Arsenal sadar, peluang untuk menjaga asa juara adalah saat ini atau tidak sama sekali. Berkali-kali, Alexis Sanchez dan Mesut Ozil yang kebetulan sedang off-form mendapat peluang dan gagal mengubahnya menjadi gol yang dicari Arsenal demi peluang gelar musim ini.
Di penghujung laga, tepat beberapa detik jelang peluit akhir, datang bola tanggung diperebutkan Monreal dan Marcin Wasilewski. Bola tinggi yang melayang itu sudah akan disundul oleh Monreal ketika bek kanan Leicester berbadan tegap ini datang menyergap dengan barbar dan spartan untuk sebuah pelanggaran beberapa meter di depan kotak penalti Leicester.
Abaikan kenapa di menit 90 lebih sekian menit pertandingan tak juga dihentikan. Abaikan juga kenapa ketika bola tanggung itu masih melayang wasit tak segera meniup peluit. Anda mengabaikan kemungkinan Vardy melakukan diving berbuah penalti lalu menuntut wasit karena tak meniup peluit ketika masa injury time sudah habis? Lucu betul.
Karena kemudian, di sinilah cerita sesungguhnya terjadi. Ketika freekick manis Ozil dikonversikan menjadi gol oleh kepala si anak Manchester yang menjadi joker terbaik Arsenal saat ini.
Which one who chat shit and then get banged, dear Jamie?