Ada Apa Dengan Arsenal?

Judul dan isi artikel ini nantinya jelas bukan dalam rangka memperingati lanjutan film Ada Apa Dengan Cinta seri 2 yang akan resmi tayang April nanti. Pergulatan batin Rangga yang akan pergi ke Amerika Serikat dan meninggalkan Cinta di Jakarta masih terlampau ringan dibandingkan dengan beratnya kepala Arsene Wenger akhir-akhir ini. Setidaknya, dalam empat pertandingan terakhir setelah kemenangan heroik atas Leicester City lalu.

Jadi begini, sebenarnya apa yang salah dari Arsenal belakangan ini?

Eksplanasinya bisa sangat panjang dan bisa sangat pendek, tergantung bagaimana kita ingin mengkaji apakah betul Arsenal sedang bermasalah atau tidak.

Ketika utang pembangunan Stadion Emirates masih membelenggu dan membatasi manuver Wenger di bursa transfer, beberapa suporter masih mewajarkan prestasi Arsenal yang itu-itu saja, mengingat Arsenal bersaing dengan tim-tim kaya raya yang disponsori para sugar daddy. Belum lagi Manchester United yang kesehatan finansialnya masih terjaga.

Masalah Arsenal tidak pernah sangat jelas tergambarkan tapi itu nampak ketika Anda mengikuti Arsenal sejak lama. Kemenangan luar biasa di Emirates atas Leicester adalah perihal mentalitas. Tertinggal lebih dahulu oleh gol penalti kontroversial Jamie Vardy, Arsenal bisa menyamakan skor dan berbalik menang lewat sebuah gol di akhir pertandingan.

Kartu merah memang membantu, tapi ini masalah mentalitas yang bertahun-tahun sejak perginya generasi Patrick Vieira dkk sudah menjadi polemik di tubuh Arsenal. Mentalitas itu tiba-tiba muncul dan lahirlah pertandingan yang penuh drama itu. Tapi anehnya, kemenangan heroik dari tim asuhan Claudio Ranieri itu justru menjadi titik balik mentalitas juara skuat Arsenal di beberapa pertandingan belakangan ini.

Wenger sebenarnya bukan tidak paham hal ini. Kedatangan Per Mertesacker pada 2011 lalu adalah bentuk antisipasinya untuk memberikan sosok pemimpin tim di Arsenal. Juga datang bersamanya Mikel Arteta yang kemudian didaulat menjadi kapten utama selepas Thomas Vermaelen hijrah ke Barcelona musim lalu.

Kapten, sederhananya, adalah tentang bagaimana sebuah tim membutuhkan sosok pemimpin di dalam lapangan sebagai wakil dari pelatih. Selepas era Patrick Vieira dan Thierry Henry, Arsenal selalu miskin sosok berpengalaman yang berkarakter dan mempunyai kharisma. Ya setidaknya, ia bisa diandalkan saat terjadi konfrontasi di lapangan atau terjadi gesekan dengan tim lawan.

BACA JUGA:  Keraguan Antonio Conte

Cesc Fabregas menjadi kapten karena dia satu-satunya pemain kelas A yang dimiliki Arsenal saat itu. Menjadi wajar kenapa kemudian Wenger mendaulat pemuda Catalan itu sebagai kapten dan membangun tim di sekelilingnya. Tapi Cesc, bukan sosok yang berwibawa dan tegas, terlebih lagi, Cesc (saat itu) belum bermental pemenang.

Cesc pergi dan naik pangkatlah seorang perwira matang dari Belanda saat itu, Robin Van Persie. Mudah saja mengangkat Van Persie sebagai kapten. Dia bomber mematikan dan pemimpin serangan yang mumpuni. Beri saja ia ban kapten dan ia akan menggila.

Dan benar saja, ia menggila. Gelontoran golnya mengalir dan ia dipuja. Tapi, ia bukan sosok berkarakter yang dibutuhkan seperti Henry. Van Persie tidak inspiratif. Tidak ada pemain-pemain muda Arsenal yang mengidolakannya saat itu.

Periode ini bergeser berurutan ke Thomas Vermaelen, Mikel Arteta hingga Per Mertesacker. Ketiga nama tersebut punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Mereka punya wibawa, tapi tidak lugas dan tegas. Salah satu dari mereka adalah juara dunia, tapi ia tak bermental juara yang tanguh.

Arsenal, di titik yang krusial ini, butuh sosok pemimpin yang disegani, mampu mengangkat tim, dan tidak takut beradu argumen dengan lawan di lapangan. Lihat bagaimana Mertesacker dengan gontai meninggalkan lapangan usai memperoleh kartu merah di laga melawan Chelsea lalu.

Mertesacker adalah seorang Gunner yang taat, tapi ia tidak sekeras karang. Ia jelas tidak sedikit pun mendekati garangnya Tony Adams atau Martin Keown.

Anda ingat bagaimana Keown “meneror” Ruud Van Nistelrooy dahulu kala itu? Arsenal butuh sosok seperti itu. Dan sialnya, satu-satunya pemain di tim Arsenal saat ini yang memiliki gairah dan karakter kuat adalah Jack Wilshere. Brengseknya lagi, ia lebih betah di meja perawatan daripada di lapangan.

***

Hasil imbang melawan Hull City di kandang, lanjut dengan kekalahan di kandang pula melawan Barcelona, disusul kunjungan kecil ke Manchester yang menyebalkan, lalu diteruskan pula tren busuk itu dengan kekalahan tolol melawan Swansea.

BACA JUGA:  Bisakah Arsenal Kembali Berjaya di Inggris?

Tiga laga tanpa kemenangan itu terjadi di kandang sendiri. Di depan puluhan ribu suporter sendiri. Di rumah yang seharusnya membuat nyaman, Arsenal justru tampil kikuk dan panik.

Di tengah periode krisis ini pula kenapa Arsenal benar-benar butuh sosok pemimpin. Logikanya begini, bagaimana mungkin pasukan Jenderal Sudirman rela berangkat perang dan bertempur sampai mati hanya demi seorang jenderal penyakitan yang bahkan ketika berangkat perang gerilya harus ditandu ramai-ramai?

Ini masalah kharisma dan karakter. Seorang pemimpin harus berkarakter dan berani. Kharisma dan wibawanya harus terasa agar semua segan dan menghormati.

Arsenal butuh bermain penuh determinasi dan punya karakter. Wengerball sudah tidak ampuh dan Wenger paham betul itu. Tapi, determinasi itu butuh pemicu.

Kalau saya seorang prajurit, saya pasti memilih pulang ke rumah dan dipanggil pengecut daripada pergi perang dengan seorang jenderal yang lunak dan tak berkarakter. Tidak ada yang menjamin ke pasukan bahwa semua akan baik-baik saja.

Tidak ada yang membentak dengan keras ketika seseorang melakukan kesalahan. Dan sosok seperti itu tidak ada di Arsenal, bahkan, sudah lenyap dan tidak membekas sejak hilangnya Adams, Vieira bahkan Henry.

Kenapa mentalitas itu penting? Karena dengan mental yang terjaga, taktik dari pelatih bisa dieksekusi dengan baik.

***

Lalu, apakah Arsene Wenger harus keluar dari Arsenal?

Begini saja, analogikan Anda hidup di sebuah keluarga dan beberapa kali Bapak Anda melakukan kesalahan yang menjengkelkan hingga membuat Anda kecewa.

Bapak Anda tidak mampu membelikan seperangkat PS 4 dan televisi layar datar yang bagus. Pun alpa membelikan gawai pintar yang canggih. Sesekali bahkan, bapak Anda melakukan kesalahan-kesalahan elementer yang menyebalkan dan memuakkan. Pertanyaannya, haruskah Anda meminta Ibu bercerai dengan Bapak dan mencari suami lain?

Hidup itu, kawanku, tidak semudah menemukan gudeg yang enak di Yogyakarta.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.