Entah ini perasaan saya saja yang kebablasan, atau memang begitu adanya. Komentar Arsene Wenger sebelum melawan West Ham membuat saya tercenung. Komentar Wenger tersebut berkaitan dengan rencana kepindahan West Ham ke Olympic Stadium mulai musim depan.
Begini kata Wenger: “Well done. You have won in the lottery and you do not need to sweat like I did for long years and fight for every pound. So it’s very well done.”
Jika dibandingkan dengan Emirates yang ditaksir mencaplok dana hingga 390 juta poundsterling, West Ham dipandang Wenger sangat beruntung.
Bagi manajer asal Prancis tersebut, West Ham bak memenangi sebuah lotre setelah bersaing dengan Tottenham Hotspur untuk hak pakai Olympic Stadium yang berkapasitas 60 ribu tempat duduk. Klub asal London yang sebelumnya bermarkas di Boleyn Ground ini harus merogoh kocek hingga 15 juta poundsterling rincian sewa 2,5 juta poundsterling per tahun untuk mengontrak di Olympic Stadium.
Mungkin bagi pembaca, komentar tersebut terasa normatif, biasa saja. Namun, jujur saya terganggu dengan “penegasan” macam itu. Memang, Wenger adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam proses berdarah-darah Arsenal membangun Emirates Stadium. Namun, tak perlu seorang Wenger mendaku sebagai orang yang paling menderita.
Apakah Wenger cemburu dengan “keberhasilan” West Ham mendapatkan stadion dengan harga murah? Selama proses pembangunan Emirates beserta pelunasan hutang, Wenger memang dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang, hingga sesak setengah mati.
Dana transfer yang terbatas memaksa Wenger memutar otak demi menyiapkan skuat yang kompetitif setiap tahunnya. Tekanan untuk lolos ke kompetisi Eropa terasa makin berat setelah setiap tahunnya terjadi eksodus pemain-pemain kunci.
Untuk soal ini, Wenger boleh menepuk dada. Akui saja, tak banyak manajer di luar sana yang mau setia memenuhi ucapannya bahwa ia akan menyelesaikan misi membangun dasar baru hingga rampung.
Sebuah misi yang jelas berat mengingat sepak bola modern yang patokan utamanya “hanya” titel. Bagi manusia dengan level lebih tinggi, sebuah warisan manis terkadang lebih berharga ketimbang pesta pora ketika juara.
Lalu kenapa Wenger bisa bertahan di tengah himpitan ekonomi dan ekspektasi tinggi dari fans?
Wenger tumbuh di luar kota Strasbourg. Ayahnya ikut dalam Perang Dunia II yang membuat kata “disiplin” terpatri dalam keseharian Wenger. Semasa kecilnya, Wenger harus membantu usaha keluarga di sebuah bistro dan bengkel mobil. Oleh sebab itu, tradisi kerja keras sudah tertanam di dalam benak Wenger sejak belia. Selain itu, keluarga Wenger juga menekankan soal kejujuran.
Ketika membantu usaha keluarganya, Wenger belajar mengamati tingkah laku para fans sepak bola yang menghabiskan waktu berjam-jam demi menonton siaran ulang sebuah pertandingan lalu berdiskusi.
Wenger memetakan apa yang para fans tersebut sukai dan apa yang tidak mereka sukai. Dari situ, Wenger belajar bahwa proses selalu lebih mulia ketimbang sebuah hasil, apalagi yang instan, seperti seorang penggangur dari Portugal.
Dari pengalaman tersebut, tidak heran apabila Wenger dengan “berani” memainkan Thierry Henry dan Robin van Persie, keduanya seorang winger menjadi striker.
Wenger paham bahwa keduanya senang mencetak gol, melakukan dribble yang membuat fans menahan napas, dan melepaskan tembakan parabolic yang menghipnotis kiper lawan. Keberanian, yang dilandasi penelitian mendalam terhadap seorang pemain berbuah manis.
Pemujaan terhadap proses juga ia terapkan kepada Tony Adams. Ketika Wenger pertama kali datang ke Arsenal, skipper Arsenal tersebut sedang berada dalam tahap pertama mengatasi kecanduan alkohol. Dibutuhkan waktu hingga 18 bulan bagi Adams untuk benar-benar lepas dari kebiasaan mengonsumsi minuman keras.
Pergulatan tersebut dimenangi Adams, dengan sokongan Wenger. Adams mampu kembali ke performa terbaiknya dan Inggris memetik salah satu bek tengah terbaik mereka sepanjang sejarah. Ya, intinya adalah proses, sama seperti usaha membangun rumah untuk masa depan.
Proses, adalah kata yang disarikan dari pemahaman kerja keras, disiplin, dan kejujuran di tengah keluarga Wenger. Maka di satu sisi, kita bisa memahami nada “merendahkan” ketika Wenger berucap bahwa West Ham tidak perlu berproses karena “hanya” memenangi sebuah lotre.
Apalagi, Wenger menambahkan bahwa West Ham tidak perlu menderita seperti dirinya. Sebuah pernyataan, yang bagi saya, cukup mengecewakan, namun unik.
Kenapa kecewa? Kembali ke pernyataan saya di atas, Wenger tak perlu mendaku karena memang bukan hanya beliau yang menderita.
Tengok para fans di London yang ikhlas mengeluarkan biaya (tertinggi di Inggris) untuk bercinta dengan Arsenal di Emirates. Ingat juga para fans di penjuru dunia yang membeli produk asli, yang uangnya masuk ke kas Arsenal.
Siapa tahu, uang pembelian jersey asli dari seorang fans di Malang yang skripsinya hanya mitos, bisa untuk membeli satu sak semen pembangunan Emirates. Atau uang pembelian merchandise asli dari fans jomblo asal Gresik bisa untuk beli cat anti bocor untuk mengecat langit-langit Emirates yang cantik itu.
Intinya, banyak pihak yang terlibat dan ikut berdarah-darah ketika Emirates dibangun. Bukankah kebersamaan tersebut yang membentuk Arsenal? kebersamaan dalam keharmonisan yang dibingkai Victoria Concordia Crescit.
Apakah kalimat Wenger yang dialamatkan kepada West Ham tersebut mencerminkan keharmonisan? Kalimat tersebut justru tidak mencerminkan proses yang selama ini dianut Wenger sejak masih ingusan, namun menggambarkan kesombongan dan minta belas kasihan.
Sombong, yang ironisnya terlihat dari situasi di atas lapangan. Berhasil unggul 2 gol dengan cantik, Arsenal lengah dan tidak menunjukkan cara bertahan yang ideal. Naif, mereka murah hati sekali mengizinkan pemain-pemain West Ham melepaskan crossing yang dialamatkan kepada Andy Carroll. Seperti naga yang mendapatkan hujan, Carroll meruntuhkan kepercayaan diri skuat Arsenal secara keseluruhan.
Dari sekadar ucapan, akibatnya terlihat di atas lapangan. Keharmonisan, yang berhilir kepada kemenangan diciptakan dari pinggir lapangan.
Jika keharmonisan sudah terkikis dari citra seorang Wenger, lalu apa yang bisa meyakinkan kita bahwa Arsenal tumbuh dari kebersamaan? Orang Jawa menyebutnya andap asor dan lembah manah, yang artinya rendah hati dan mempunyai hati yang lapang.
Jika West Ham mendapatkan stadion baru dengan “mudah”, ya tidak perlu disikapi dengan sinis. Mungkin memang manajemen mereka sudah bekerja dengan baik untuk mencuri hak pakai Olympic dari Tottenham Hotspur.
Saya tidak berbicara dalam konteks Wenger Out atau In Wenger We Trust. Saya berbicara soal introspeksi diri. Jadikan ucapan keblinger dari Wenger sebagai contoh untuk kita. Sebuah contoh bahwa kesombongan dan selalu mendaku akan berakhir celaka.
Pada akhirnya, slogan Victoria Concordia Crescit tidak boleh hanya penghias logo klub saja. Slogan indah tersebut harus terus diperam dan dikhidmati, mulai dari fans, penjaga loket tiket stadion, tukang parkir stadion, petugas keamanan, pedagang asongan di Emirates, para jomblo yang nonton sendirian di dalam stadion, para fans yang bernyanyi dengan lantang, para ball boy, kitman, staf, pemain, manajer, hingga owner (kalau ada).
#COYG.