“Saya tidak perlu seorang agen, karena saya tidak akan meninggalkan Arsenal”
Sepengetahuan dan seingat memori saya, ucapan di atas keluar dari mulut Jack Wilshere medio 2009 atau 2010 lalu, usai Arsene Wenger memasukkan namanya ke dalam daftar pemain tim utama Arsenal untuk musim yang baru.
Ucapan itu menggambarkan bahwa Wilshere, adalah apa yang kelak diharapkan para suporter untuk menjadi The Next Mr. Arsenal usai era Tony Adams berakhir di London Utara. Hampir semua jenjang usia di Hale End Academy milik Arsenal dilahap Wilshere dengan tangkas dan brilian.
Steve Bould, pelatih kepala akademi (sekarang asisten manajer tim utama) menyanjungnya setinggi langit dan menyebutnya sebagai bakat terbaik di angkatan seumurannya yang terdiri dari Benik Afobe, Henri Lansbury, hingga Emmanuel Frimpong yang tampan itu.
Arsene Wenger juga berani memberinya debut di usia muda (16 tahun) pada musim 2008/2009. Dan Wilshere pula yang digadang-gadang menjadi penerus sang kapten dari Catalan, Francesc Fabregas, yang ajaibnya, kini berseragam biru di London Barat. Wilshere banjir pujian di usia muda, karena talenta dan bakat yang besar.
Kontrol bolanya ciamik, akurasi umpannya bagus, kemampuan tekelnya tak buruk. Ia sempat menjadi aktor protagonis kala Arsenal meraih kemenangan harum atas Barcelona di Emirates Stadium pada 2011 lalu.
Sederet pujian mampir karena ia dipandang memiliki kombinasi karakter yang kuat dan kualitas teknik. Pep Guardiola pernah menyebut pemain seperti Wilshere ada ratusan di Spanyol, tapi Arsene tak bergeming dan menyebut bocah asli Stevenage ini sebagai kombinasi teknik ala Spanyol dan mental ala Inggris.
Dan sialnya, mental ala Inggris itulah yang yang membawa Wilshere menuju era kegelapan di kariernya.
Cedera dan kualitas mental
Rekam jejak cedera Jack Wilshere jauh lebih panjang dari deret trofi yang diraih Arsenal sejak 2004. Fakta ini benar adanya dan bukan rekayasa belaka. Dari lutut, engkel, ligament, hingga hamstring sudah khatam dilahap. Seorang kawan saya bahkan menyebut nama tengah Jack Wilshere dengan “already injured”.
Dibanding Aaron Ramsey yang sempat mengalami patah kaki, atau Abou Diaby yang sempat berkutat dengan cedera paha yang lama, problematika cedera Wilshere sebenarnya bisa dibatasi apabila ia tahu posisi terbaik yang cocok baginya.
Owen Coyle, bekas pelatih Wilshere semasa peminjaman di Bolton Wanderers menyebutnya cocok sebagai gelandang sentral karena kemampuan tekel dan karakter mainnya yang keras. Tapi, saya lebih sepakat dengan opini eks pelatih Inggris, Fabio Capello, yang melabeli Wilshere sebagai holding midfielder ala Andrea Pirlo.
Kurang ajar memang menyandingkan pemain injury prone macam Wilshere dengan Pirlo. Namun, Wilshere punya visi permainan dan kualitas umpan yang ciamik. Ia memiliki kualitas umpan seperti Fabregas.
Tapi tak jarang, ia menunjukkan mobilitas berlebih yang justru membuatnya tak mampu mengembangkan bakatnya di posisi terbaik. Itu ditunjang dengan kebiasaan Arsene yang kerap meletakkan beberapa gelandang tengahnya di posisi sayap untuk memperkaya dimensi taktik sang pemain.
Ini menjadi masalah, karena, Jack Wilshere adalah pemain Inggris. Tidak banyak pemain asli Britania Raya yang memiliki pemahaman taktik yang baik. Arsene pun, usai medio 2010 ke atas, mulai clueless dan hampir tak memiliki taktik yang kompeten.
Ia lebih senang membiarkan pemainnya bermain free role di lapangan dan berkreasi dengan kualitas individu masing-masing, dibanding mempersiapkan taktik dan mengeksekusinya dengan tepat.
Ini berimbas ke banyak pemain, salah satunya ya Jack Wilshere. Wilshere kebingungan menentukan posisi terbaiknya ditambah ketidakmampuan Arsene untuk menemukan posis yang pas bagi Wilshere.
Ini diperparah dengan banyaknya transfer masuk di Arsenal yang berisi gelandang-gelandang terbaik semisal Santi Cazorla, Granit Xhaka, hingga Mesut Ozil. Mau ditaruh di mana seorang Jack Wilshere kemudian?
Keluar dari Arsenal adalah solusi terbaik
Peminjaman eks kapten Arsenal U-19 ke Bournemouth adalah solusi tepat dan baik bagi kedua belah pihak. Ia akan mendapat menit bermain di skuat Eddie Howe. Ditambah, Arsenal mendapatkan tempat yang pas untuk membiarkan Wilshere berkembang secara taktikal.
Eddie Howe, juga Roberto Martinez (semasa di Everton) mampu memperagakan Juego de Posicion, sebuah konsep permainan yang lekat dengan sosok Josep Guardiola. Pemikiran Eddie Howe ini bagus untuk membantu Wilshere mengembangkan potensi bermainnya.
Untuk memahami Juego de Posicion lebih lanjut, silakan unduh Fandomagz dengan tajuk “Tactics” di sini.
Entah ia mau lebih turun ke bawah untuk menjadi deep-lying playmaker atau naik ke atas sebagai nomor #8. Howe jelas tahu bahwa ia bisa memaksimalkan potensi dan bakat Wilshere yang mulai disangsikan publik Inggris. Itupun, kalau ia tak cedera.
Dan yang paling utama, Wilshere akan memperoleh menit bermain yang jauh lebih banyak dibandingkan di Arsenal. Dalam skema 4-2-3-1 favorit Arsene, hampir semua posisi di tim utama sudah pasti tidak membutuhkan Wilshere, mengingat progres permainannya yang cenderung stagnan.
Wilshere akan dirindukan?
Digadang-gadang sebagai penerus kapten Arsenal dan timnas Inggris, pria yang berulang tahun tepat pada 1 Januari ini perlu membuktikan kapasitasnya di Bournemouth. Peminjaman adalah hal logis, Francis Coquelin hingga Hector Bellerin menempuh jalan tersebut sebelum menembus tempat inti di tim utama.
Satu yang pasti, Wilshere adalah suporter Arsenal sejak kecil. Ia sekeluarga adalah pemegang tiket musiman Arsenal yang mahalnya selangit itu. Ia mendukung klub ini sejak usia 9 tahun. Ia juga yang mengaku tidak membutuhkan agen karena tak akan meninggalkan Arsenal.
Satu musim di pesisir Bournemouth akan memberi jawaban yang jelas, masih layak atau tidak bapak dari Archie dan Delilah ini kembali berseragam Meriam London.
Jalan untuk menjadi The Next Mr. Arsenal memang masih panjang dan Wilshere sedang diburu waktu. Ia berusia 24 tahun dengan progres karier yang lambat dan riwayat cedera yang panjang.
Tidak perlu sedu-sedan berlebih melepas pemain yang kerap kedapatan merokok ini. Waktu yang akan memberi kepastian apakah Wilshere akan seperti Tony Adams atau, mungkin, kariernya justru berakhir tragis seperti Sebastian Deisler.