Sepak Bola dan Kehidupan Lain yang Lebih Penting

Pertama kali memutuskan menjadi seorang penggemar sepak bola, penulis memilih Juventus sebagai idola, karena pada medio 2003 Juventus dan Serie A nya menjadi liga yang meriah dengan theme song Centrocampo yang familiar didengar di SCTV. Tidak lama setelah itu, saya justru lebih menyukai menyaksikan pertandingan liga Inggris yang terkesan wah, alasannya karena pada saat itu sedang happening-nya David Beckham dan saat Beckham pergi pada musim 2003-2004, Manchester United membeli seorang bocah yang berasal dari Madeira, Portugal bernama Cristiano Ronaldo. Wonderkid yang diprediksi akan menjadi pemain besar kala itu.

Kenikmatan yang lebih didapat ketika tim kesayangan yang kita bela memenangi suatu pertandingan, meledek teman yang membela klub rival adalah puncak sebagai seorang die hard fans yang berjarak ribuan kilometer jauhnya dari Old Trafford.

Saya menyebut die hard fans sebagai sarkas bahwa kita sebagai penikmat klub sepak bola luar negeri, sesungguhnya tidak lebih dari sekadar angka-angka dalam cakupan bisnis yang dijalankan manajemen klub sepak bola Eropa yang kita bela, hanya menjadi konsumen bagi produk klub berupa pemain top, jersey yang diproduksi, tayangan sepak bola dengan iklan yang menjemukan dan sebagainya.

Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa sepak bola memang memberikan candu bagi para penikmatnya namun bukan berarti harus merasa sakau atau merasa rugi bila tidak berkesempatan menonton pertandingan, sebab masih ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan dan ditunda hanya karena menonton sepak bola.

Jika Kita menyaksikan pertandingan sepak bola di televisi, sesungguhnya Kita sedang menyaksikan kumpulan orang yang sedang bekerja, karena menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia) arti kata profesional adalah mereka yang menggantungkan hidupnya dari suatu pekerjaan. Jadi yang dikatakan pesepak bola harus bersikap professional adalah pesepak bola tersebut harus memiliki tanggung jawab sebagai seorang pekerja yang digaji oleh perusahaan (klub sepak bola).

BACA JUGA:  3 Fakta Kemenangan Timnas vs Brunei: Dimas Drajad Hattrick hingga STY Tak Puas

Terdapat dua sisi melihat sikap fans yang kecewa hingga mengkritik habis-habisan dan bertindak brutal. Jika dalam sisi olahraga, mereka tidak benar bersikap demikian karena dalam permainan olahraga jelas, ada menang dan kalah. Namun lain hal jika melihat tindakan fans tersebut dari kacamata bisnis, ya mereka datang ke stadion untuk meluangkan waktunya dan menyisihkan pendapatan mereka untuk menyaksikan tim kesayangan bertanding dan pendukung berharap ada nilai lebih dari apa yang telah mereka keluarkan berupa tontonan yang menarik dan kemenangan klub pujaan.

Dua sudut pandang yang bisa pula digunakan oleh pesepak bola. Di satu sisi, pesepak bola tampak bahagia dan beruntung bisa menjadi pemain kelas atas. Tapi, sepak bola kadang bukan satu-satunya tujuan atau bisa membuat mereka bosan juga.

Hidetoshi Nakata, salah satu pemain paling berpengaruh yang dimiliki Jepang. Ia menjadi idola anak-anak muda Negeri Matahari Terbit hingga akhirnya banyak remaja Jepang memilih bermain sepak bola. Selama karirnya, Nakata pernah meraih scudetto bersama AS Roma tahun 2001. Ketika memperkuat Bolton Wanderers di musim 2005-2006, Nakata memilih pensiun pada usia 29 tahun. Pria kelahiran 22 Januari 1977 itu memilih melanjutkan karir di dunia model. Dia mulai bosan dan ingin berkarya di bidang lain yang membuatnya tertarik.

Contoh dari dalam negeri terdapat pada sosok Jack Komboy, bek andalan Persipura jayapura pada musim 1999-2010 (sempat membela PSM Makassar pada musim 2003-2004). Setelah pensiun dari Persipura Jayapura pada usia 32 tahun –dengan usia itu dia masih mampu untuk melanjutkan karirnya sebagai pesepak bola— pemain dengan nama lengkap Kamasan Yakob Komboy itu lantas banting setir menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua. Dan, saat ini, adalah periode kedua Jack berada di parlemen pulau paling timur Indonesia itu.

BACA JUGA:  Ujian Mental Indonesia

Menurut Jack, sebelum terjun di dunia politik, sejatinya ada banyak tawaran lain yang tidak kalah menggiurkan yang datang kepadanya, seperti menjadi pelatih, bahkan permintaan menjadi manajemen di sebuah klub sepak bola profesional. “Tapi, saya memutuskan untuk fokus di dunia politik saja. Karena, dengan di jalan ini, ada banyak hal yang bisa saya perjuangkan,” ujarnya seperti dilansir indopos.co.id (1 Juni 2015).

Dari kedua contoh pesepak bola diatas kita dapat memahami, sepak bola bukan segalanya, sepak bola memang olahraga populer, bagi pesepak bola itu sendiri sepak bola selain olahraga karena terdapat aktivitas fisik dan gerakan-gerakan lainnya, di luar itu menjadi pesepak bola berarti ini adalah pekerjaan sebagai sumber mata pencaharian yang mereka geluti, pun dengan dunia politik yang konon sebagai media perjuangan bagi Jack Komboy kepada masyarakat.

Terlebih jika pada saat ini banyak perpindahan yang “ekstrem” atau dari satu klub pindah ke klub yang menjadi rival-nya. Jika kita melihat ini dari kacamata kemanusiaan, tidak ada yang salah. Mereka juga menginginkan peningkatan karir dan mencari aktualisasi diri, di mana mereka mendapatkan nilai lebih ketika berpindah ke klub lain, ingin dihargai, mendapatkan puncak prestasi berupa trofi dan yang lainnya.

Seperti yang dikatakan Kolo Toure dalam wawancara yang dikutip Passion Islam, “sangat mudah menjalani (kehidupan beragama) sebagai pemain sepak bola. Saya selalu mementingkan Tuhan di urutan paling atas, setelah itu keluarga, dan baru kemudian karir saya sebagai pesepak bola.”

Ya, pada akhirnya sepak bola bagi profesional adalah hobi yang menjadi pekerjaan dan bagi mereka yang bukan sebagai pesepak bola profesional, meski menjadi hobi masih banyak hal yang lebih penting dan prioritas dari sekadar menyaksikan pertandingan sepak bola, terutama beribadah kepada Yang Maha Kuasa.

 

Komentar
I'm not plastic fans, but I'm glory hunter. lebih suka jadi poacher, ketimbang jadi bench warmer. lebih suka jadi super-sub, bukan starter.