Andri Syahputra dan Bakat Sepakbola Anak-Anak Aceh

Sebelum memulai tulisan ini saya menyampaikan apresiasi kepada Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, yang sudah berusaha untuk memulangkan (memanggil) Andri Syahputra, pemain kelahiran Lhokseumawe, Aceh yang saat ini memperkuat klub Qatar, Al Gharafa. Harus diakui, bahwa itu adalah hal yang sulit, apalagi Qatar sedang menatap Piala Dunia 2022.

Sejatinya ini adalah pelajaran untuk sepakbola Indonesia, bahwa sepakbola bukan tentang titip-menitip, sepakbola bukan tentang sebuah paksaan kehendak.

Menjadi Andri Syahputra, pada satu sisi adalah kebahagiaan, sementara di sisi lain adalah tekanan. Ketika timnas membutuhkan, Andri pasti akan berpikir sekian banyak kali, apalagi ia dibesarkan oleh Qatar, dengan kulturnya, dengan gayanya, ketika ia cedera, ia diberi pengobatan, dirawat hingga pulih, klub pun tidak memutus kontraknya.

Penulis tidak yakin kalau Andri cedera di Indonesia dia akan menerima perlakuan seperti itu. PSSI juga mungkin tidak akan pernah melirik dia jika bermain di pedalaman Aceh, misalnya saja Bireun, Aceh Selatan, Takengon, atau daerah lainnya di Aceh yang tidak tersentuh oleh pemandu bakat PSSI.

Saya teringat ketika Indra Sjafri mencari pemain untuk mengisi skuat Timnas Indonesia U-19. Semua orang Aceh angkat topi, Aceh menjadi salah satu penyumbang pemain terbanyak, dengan tiga nama, dan saat ini mereka berkiprah di klub-klub ternama di Indonesia.

Miftahul Hamdi kini berkarier di Bali United, sementara Zulfiandi dan Hendra Sandi Gunawan berkostum Bhayangkara FC. Itu adalah sebuah kebangaan ketika orang di kampungnya membuka layar TV, ada nama daerah yang disebut komentator.

Aceh, daerah yang memiliki segudang bakat sepakbola, namun sayang mereka tidak mendapat kesempatan lebih seperti di daerah lain untuk menunjukkan bakatnya.

Aceh menyimpan bakat-bakat alami di pedesaan. Sepakbola di sini, sangat dihargai, nyaris di semua gampong (desa) memiliki lapangan bola standar untuk menggelar turnamen antar-kampung (tarkam). Di Aceh, setiap timnas berlaga, warung kopi tidak pernah sepi jadi arena nonton bareng.

Jika bertanya pada rekan-rekan sekampungnya, tidak ada yang menduga Zulfiandi akan menjadi pemain besar. Atau Hendra Sandi Gunawan yang tinggal di daerah yang jarak tempuhnya berjam-jam dengan menggunakan mobil dari ibukota provinsi Aceh. Namun, itulah bakat alami yang dimiliki anak-anak Aceh, mereka hanya butuh kesempatan dan jam terbang untuk membuktikan.

BACA JUGA:  Origi Berbakti, Klopp Mengasihi

Sebuah klub sepakbola di ibukota provinsi Aceh, Persiraja Banda Aceh, diagungkan karena prestasi sebagai juara Piala Perserikatan 1980-an. Sudah lama sekali, namun kebanggaan tetap ada pada pemain Aceh ketika membela klub berseragam Oranye itu.

Semua pemain Aceh berlomba untuk masuk tim, meski terkadang gaji tak dibayar, tapi bagi mereka itu adalah kebanggaan dan batu loncatan menuju karier lebih gemilang. Andai pengelolaan sepakbola oleh PSSI menyentuh Aceh, sungguh bakat itu akan lebih mudah muncul ke permukaan.

Kisah Andri adalah satu di antara banyak bakat terpendam yang dimiliki Aceh. Nasib baik Andri Syahputra adalah sukses mencapai Liga Qatar karena orang tuanya membawa ia ke negeri itu.

Memiliki sarana yang cukup dan akhirnya Andri terbentuk menjadi pemain yang sukses dan diperebutkan oleh dua negara. Ketika pemain keturunan membela negara lain, itu hal biasa, namun saat anak Indonesia ingin dinaturalisasi oleh negara maju, sepatutnya kita bangga.

Dan harus menjadi cambuk untuk mengembangkan bakat pemain muda, bukan dengan menghambat cita-cita seorang anak tampil di Piala Dunia.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, Qatar menjadi tanah yang paling menjanjikan bagi pemain sepakbola dari negeri ini, khususnya Aceh. Berdasar data yang dikumpulkan dari sejumlah sumber, setidaknya ada tiga nama putra Aceh yang berprestasi di Qatar yang menjadi buah bibir di Indonesia.

Di antaranya, Syaffarizal Mursalin Agri alias Farri Agri, Andri Syahputra, dan Khuwailid Mustafa Ibrahim. Dua nama yang disebutkan pertama dalam godaan untuk memperkuat timnas Qatar.

Rata-rata pemain yang bersinar di Qatar juga sudah lama menetap di negara tuan rumah Piala Dunia 2022 itu. Andri misalnya. Pemain yang membela klub Al Gharafa itu menetap di Qatar sejak sekira 10 tahun silam.

BACA JUGA:  Runtuhnya Superioritas Barcelona

Itu terjadi karena ayahnya, Agus Sudarmanto, bekerja di salah satu perusahaan migas Qatar bernama RasGas. Sekarang Andri baru masuk di Jurusan Sport Science, Qatar University. Dalam berkomunikasi, Andri lebih lancar dengan bahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia.

Qatar sudah memberikan segalanya di balik performa pemain yang bermain di posisi gelandang serang itu. Di bawah panji-panji Aspire, Federasi Sepakbola Qatar pernah mengirim dia untuk trial ke klub-klub top di Benua Biru. Misalnya, VfB Stuttgart, Bayer Leverkusen, dan Villarreal.

Sejak usia tujuh tahun Andri sudah berkiprah di Qatar. Penampilannya amat memukau karena bisa menempati berbagai macam posisi, mulai dari gelandang serang, penyerang sayap, maupun penyerang utama.

Bahkan, Andri beberapa kali menjadi penentu kemenangan timnya ketika berhadapan dengan klub-klub junior Eropa. Seperti Paris Saint-Germain, Celta Vigo hingga Sporting Gijon, sehingga bakat Andri terus dipantau para pencari bakat klub besar benua biru.

Ada banyak Andri Syahputra lain di Aceh. Tapi, tak semuanya memiliki kesempatan berkembang karena berbagai keterbatasan. Jadi, ketika membaca kutipan Ketua Umum PSSI di FourFourTwo “kalau dia (Andri) tidak mau dipanggil untuk membela Indonesia, ya dia harus keluar dari negara Indonesia,” itu cukup mengejutkan bagi saya.

Akan lebih bijak kiranya jika Edy Rahmayadi yang lahir di Sabang, Aceh, datang atau mengutus anggota PSSI secara baik-baik, membujuk Andri secara baik-baik, bila memang benar ia dibutuhkan. Karena, dengan komentar-komentar di media dan berlanjut di media sosial, akan membuat seorang Andri Syahputra yang baru berusia 17 tahun kehilangan konsentrasi.

Jika berhasil memulangkan Andri untuk timnas, tentu masyarakat Indonesia sangat bersyukur, termasuk penulis. Namun, bila Andri Syahputra tidak mau, atau dengan alasan lain, tentu itu harus dihargai. Maka PSSI, harus intropeksi, kenapa seorang Andri tidak mau memperkuat negaranya.

Di Aceh, dan di sudut Indonesia lainnya, masih ada banyak pesepakbola dengan bakat yang luar biasa. Mereka bermain untuk kebahagiaan. Pendukungnya menonton karena kecintaan.

Komentar
Penulis adalah jurnalis dan pemerhati sepakbola di Banda Aceh, dapat dihubungi via Instagram dan Twitter @ariful76, serta alamat email: arfa.pro@gmail.com.