Pembekuan PSSI rencananya akan dicabut dalam waktu dekat ini menyusul pertemuan antara Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketua tim Ad Hoc PSSI Agum Gumelar, dan Menpora Imam Nahrawi. Ada delapan poin kesepakatan dari pertemuan yang berlangsung pada Rabu (24/2) ini.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Komunikasi Publik Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, berikut delapan poin yang dihasilkan dari pertemuan tersebut.
- Pertemuan berjalan dengan suasana kekeluargaan yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.
- Wapres Jusuf Kalla dan Agum Gumelar menjelaskan standing point masing-masing tentang tujuan reformasi dan kelanjutan survival PSSI bagi kepentingan berbagai event internasional.
- Setelah tidak terlalu lama saling berdiskusi kurang lebih dari pukul 17:00-17:40 WIB, Presiden memberikan arahan kepada Menpora untuk dalam satu dua hari ini mengkaji semua kemungkinan rencana terhadap pencabutan surat pembekuan terhadap PSSI.
- Atas instruksi tersebut Menpora langsung menyanggupi untuk langsung mengkaji rencana pencabutan pembekuan dan segera melaporkan kepada Presiden.
- Menpora akan mengkaji dari berbagai aspek dan juga tetap mengedepankan esensi reformasi atau pembenahan tata kelola sepak bola nasional.
- Seandainya pilihan pencabutan surat pembekuan tersebut diambil, maka pemerintah tetap akan menyertakan sejumlah persyaratan.
- Kesepakatan Kongres Luar Biasa yang sebelumnya ketua Tim Ad Hoc sepakat satu tahun, namun Menpora dalam rencana kajiannya akan meminta enam bulan.
- Dalam proses pengkajian apa pun hasilnya nanti tidak terkait dengan masalah menang atau kalah, namun bagi kepentingan sepak bola yang lebih baik. Khususnya menghadapai SEA Games 2017 dan Asian Games 2018, Indonesia sebagai tuan rumah.
Kesepakatan ini jelas menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menyambut baik rencana pencabutan pembekuan PSSI. Begitu pula ada yang masih meragukan bahwa pencabutan pembekuan akan membawa sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Apalagi jika kepengurusan PSSI diberikan pada pengurus lama.
Katakanlah Imam Nahrawi jadi mencabut pembekuan PSSI. Apa yang kemudian perlu dilakukan agar sepak bola Indonesia bergerak lebih baik, tidak sama saja dengan sebelum-sebelumnya?
Tentu ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Apalagi persoalan ada dari hulu hingga ke hilir. Masalah di tubuh organisasi, pengelolaan klub, pesepak bola yang sulit menentukan sikap, konflik antarsuporter, pembinaan pemain muda, dan masih ada sederet persoalan lainnya.
Mengawasi kinerja PSSI
Jika kemudian Imam Nahrawi mensyaratkan bahwa Tim Transisi yang dia bentuk masih akan tetap bekerja untuk melakukan pengawasan, itu tentu hal yang baik. Transparansi selalu jadi isu jika menyangkut PSSI. Keberadaan tim pengawas diharapkan bisa mendorong PSSI lebih transparan dalam melaporkan kinerja dan keuangannya. Tidak hanya transparan kepada pemerintah tapi juga kepada publik.
Kesampingkan dulu mengenai kapabilitas Tim Transisi menjalankan fungsi tersebut mengingat selama ini kita meragukan kemampuan mereka. Bergulirnya Piala Kemerdekaan bisa jadi salah satu acuan mengenai kinerja Tim Transisi.
Terpenting, secara sistem, sudah ada tim pengawas. Keberadaan pengawas akan membuat PSSI lebih serius bekerja. Harapannya tentu kinerjanya membaik dan memberi dampak positif bagi sepak bola Indonesia.
Lebih baik lagi jika Tim Transisi (atau Menpora) memiliki kewenangan untuk menilai kinerja pengurus PSSI. Mereka yang tak kompeten sebaiknya ditendang keluar. Mereka yang punya masalah hukum seperti tersangkut korupsi sebaiknya dipersilakan meletakkan jabatannya. Jangan ada lagi kejadian seperti era Nurdin Halid di mana PSSI dipimpin dari balik jeruji besi. Jika dibiarkan, oknum-oknum yang bermasalah ini bisa memperburuk citra organisasi PSSI di mata masyarakat.
Fokus pada perbaikan pengelolaan klub
Setelah perbaikan di tubuh federasi, langkah kedua yang dirasa penting adalah melakukan perbaikan di tubuh klub. Pengurus PSSI dan PT Liga Indonesia nantinya tolong fokus pada perbaikan pengelolaan klub sepak bola. Baik itu yang sifatnya profesional maupun amatir.
Mengapa klub yang menjadi fokus utama lebih dahulu?
Klub bisa menjadi pusat dari segala kegiatan sepak bola Indonesia. Klub yang secara reguler berkompetisi di liga maupun turnamen yang dirancang oleh federasi dan operator liga.
Klub pula yang bisa menggerakkan suporter untuk berbondong-bondong mendatangi stadion. Memberikan dukungan. Dan ya, tentu saja mengeluarkan uang yang bisa digunakan untuk memutar segala kegiatan sepak bola.
Suporter akan mendukung klub kesayangannya tidak peduli sedang berkompetisi di divisi berapa atau di turnamen apa yang diselenggarakan oleh siapa. Mereka peduli dengan klubnya, tapi tidak terlalu ambil pusing dengan operator.
Dengan kemampuan mengumpulkan massa ini pula, klub bisa mendatangkan sponsor. Pun dengan stasiun televisi yang akan mengantre untuk membeli hak siar. Jika klub yang berlaga nantinya bukan klub yang bagus dalam segala aspek, maka sponsor dan TV akan berpikir dua kali untuk terlibat dalam bisnis sepak bola. Selain tidak menguntungkan juga bisa memperburuk citra bagi perusahaan.
Lalu, dorong setiap klub untuk memiliki akademi. Dengan begitu, persoalan pembinaan pemain muda bisa perlahan diselesaikan. Federasi dan PT Liga tak sekadar membuat aturan klub memiliki tim U-19 untuk berlaga di liga U-19, melainkan punya akademi dengan berbagai kelompok umur. Misalnya mulai U-12, U- 14, U-16, U-18, dan seterusnya. Jika setiap klub memiliki akademi, para orang tua tidak kebingungan untuk mengantar anaknya berlatih sepak bola di mana dan kompetisi usia muda akan kembali menggeliat karena pesertanya sudah jelas ada.
Jika sudah demikian, tinggal bagaimana kemudian federasi membuat aturan mengenai standardisasi pelatih. Pemain muda perlu dilatih oleh pelatih yang kompeten pula, oleh karenanya perlu ada standar yang baik. Federasi tinggal menetapkan standar, maka pelatih yang melatih di akademi klub dengan sendirinya akan menyesuaikan lisensi yang mereka miliki agar tetap diperkenankan melatih.
Melihat potensi besar industri sepak bola terletak pada klub, maka menjadi sangat penting untuk melakukan langkah-langkah strategis demi menyehatkan pengelolaan klub. Aturan legalitas dan finansial perlu dirancang sedemikian rupa agar klub bisa berjalan dengan sehat serta tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Apa yang saya paparkan di sini baru secuil dari seabrek pekerjaan yang perlu dilakukan pasca-pencabutan pembekuan PSSI.
Rasanya bapak-bapak di federasi dan PT Liga tahu mesti berbuat apa untuk membawa sepak bola Indonesia pada trek yang benar. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka mau melakukannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok demi kepentingan bangsa Indonesia?
Itu yang saya tidak tahu.