Juni 2019 di Brasil diselenggarakan Copa America, pentas sepakbola empat tahunan bagi negara-negara Amerika Selatan. Untuk tahun ini panitia juga mengundang 2 negara untuk ikut serta dalam turnamen ini yaitu Qatar dan Jepang. Total partisipan menjadi 12 negara.
Pada penyelenggaraan kali ini CONMEBOL menunjuk lima stadion guna menggelar pertandingan-pertandingan tersebut. Menariknya empat dari lima stadion tersebut pernah digunakan ketika Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014.
Piala Dunia 2014 sendiri mungkin bisa dianggap impian yang berubah menjadi kenangan buruk bagi publik negeri Samba setelah Jerman membantai mereka dengan skor 7-1 di semifinal, namun kini ada hal lain yang tidak kalah menyita perhatian dibanding peristiwa tersebut yaitu nasib stadion penyelanggara pasca–Piala Dunia 2014.
Mari kita kembali pada hari-hari terakhir sebelum pembukaan Piala Dunia 2014 antara Brasil melawan Kroasia di Sao Paulo. Ratusan orang tumpah ke jalan untuk memprotes pemerintah Brasil yang dianggap telah menghambur-hamburkan uang miliaran guna menghelat kompetisi paling bergengsi di dunia tersebut.
Mereka melihat masalah pendidikan dan kemiskinan harusnya menjadi prioritas pemerintah untuk segera diatasi. Pada demonstrasi tersebut sekitar 120 orang ditangkap karena dianggap mengganggu keamanan jelang Piala Dunia. Akan tetapi kemarahan warga Brasil nampaknya tidak bertahan lama setelah 11 menit pertandingan pembuka dilangsungkan Marcelo mencetak gol dan kemudian Neymar menginsipirasi mereka untuk mendadak kerasukan sepakbola lalu semua masalah dilupakan.
Sao Paulo Arena sendiri kini menjadi markas klub Corinthians. Stadion ini menjadi tempat Luis Suarez melesakkan brace ke gawang Inggris dan Maxi Rodriguez berhasil menyelesaikan tugasnya di babak adu penalti guna memastikan Argentina melaju ke final.
Memiliki stadion kelas dunia nyatanya tidak membuat Corinthians bisa nyaman mengelola klub. Masalah utamanya ialah biaya perawatan extra yang harus mereka keluarkan. Meski bisa mendapat pemasukan sekitar 300 ribu poundsterling pada setiap pertandingan kandangnya tetapi mereka harus merogoh kocek sebesar satu juta poundsterling setiap bulan untuk biaya perawatan stadion.
Sao Paulo Arena sendiri diselesaikan secara terburu-buru guna mengejar target penyelesaian dengan menghabiskan biaya 350 juta poundsterling. Seperti proyek terburu-buru lainnya biaya yang dikeluarkan pun membengkak, proyek ini harus memakan dana 15% ekstra dari yang semula diprediksi.
Sao Paulo Arena mungkin bisa dikatakan bernasib lebih baik dibanding Estadio Nacional di Ibukota Brasil, Brasilia. Stadion tersebut berkapasitas 72.788 penonton. Dengan biaya 570 juta poundsterling, Estadio Nacional menyandang predikat sebagai stadion termahal kedua sepanjang sejarah.
Sepanjang turnamen, Neymar, Lionel Messi, dan Cristiano Ronaldo bermain di lapangan ini. Di atas rumput yang sama kini lapangan itu digunakan untuk kompetisi amatir yang hanya menarik kurang dari 5000 orang tiap pertandingannya.
Kondisi ini tidak mampu diprediksi saat proyek ini dibangun. Meski disebut sebagai negara sepakbola nyatanya tidak semua tempat di Brasil mempunyai kultur sepakbola yang kuat, salah satunya Brasilia. Brasilia sendiri bukanlah kota yang memiliki klub sepakbola raksasa seperti Sao Paulo, meskipun terdapat klub professional di sana namun kebanyakan stadion itu digunakan untuk pertandingan liga distrik.
Terdapat laporan bahwa selama dua tahun setelah Piala Dunia 2014 lahan parkir stadion yang luas itu digunakan sebagai depot atau pool bagi bus komersial di daerah itu. Setelah mengetahui bahwa menyelenggarakan pertandingan bukanlah jawaban guna menutup biaya perawatan, stakeholder terkait terus berupaya memutar uang dari event non olahraga.
Tempat lain yang memakan banyak dana ialah stadion paling bersejarah di Brasil, Maracana. Maracana direnovasi dengan biaya hampir 500 juta poundsterling dan digunakan sebagai tempat final Piala Dunia 2014. Lapangan yang menjadi saksi tendangan voli Mario Gotze ke gawang Sergio Romero tersebut kini juga tengah berjuang untuk terus bertahan. Pasca–Messi hanya bisa memandang trofi Piala Dunia dan meninggalkan stadion tersebut dengan wajah serius sebenarnya masih ada harapan masa depan untuk Maracana.
Harapan tersebut hadir dari dua klub lokal yaitu Flamengo dan Fluminense. Kedua klub itu mencoba menjadikan Maracana sebagai rumah mereka namun lagi-lagi biaya perawatan yang mahal memaksa mereka mengurungkan niatnya. Selain itu perselisihan antara Pemerintah dengan penyelenggara Olimpiade 2016 memperburuk keadaan. Saling lempar tanggung jawab antara kedua belah pihak itu membuat Maracana hibernasi setelah perhelatan Olimpiade 2016.
Kantor dan ruang media yang dijarah, kursi penonton yang terlepas dan dibuang ke luar, rumput liar tumbuh di sekitar stadion serta lapangan yang berlumpur ialah gambaran Maracana selepas Olimpiade 2016. Kini setelah tiga tahun tidak digunakan, Flamengo dan Fluminense mencoba kembali menggunakan Maracana sebagai homebase mereka dan berharap setiap pertandingan kandangnya selalu penuh sehingga mereka bisa membayar biaya perawatan stadion.
Masalah biaya perawatan yang tinggi juga menjadi momok bagi klub Atletico Mineiro di mana kandang mereka Estadio Mineirao menjadi tempat tragedi gelontoran 7 gol Jerman ke gawang Julius Cesar di semifinal. Renovasi stadion yang menghabiskan dana 190 juta poundsterling justru membuat mereka tidak bisa menggunakan stadionnya sebagai kandang mereka semusim penuh.
Mereka terpaksa menggunakan stadion Estadio Independencia yang berkapasitas sepertiga dari Estadio Mineirao, namun di beberapa kali kesempatan Atletico Mineiro dan klub lain yaitu Cruizero sempat menjadikan Estadio Mineirao sebagai kandang mereka meski tidak semusim penuh.
Di tempat lain, Arena Patanal di Cuiaba hanya menggelar empat pertandingan di mana salah satu pertandingan tersebut James Rodriguez sukses mencetak hat-trick melawan Jepang.
Cuiaba sendiri tidak memiliki klub kuat ketika itu yang mengakibatkan Arena Patanal hanya menggelar pertandingan bagi Cuiaba Esporte Clube. Klub itu baru berdiri tahun 2001 dan pada 2016 mereka bertengger di Serie D Liga Brasil dengan rata-rata penonton 381 per pertandingan padahal Arena Patanal memiliki kapasitas 41.000 penonton.
Kini Cuiaba Esporte Clube tengah mengalami tren bagus utamanya dalam tiga tahun terakhir di mana kini mereka sudah mencapai Serie B. Dampak positif dari hal tersebut tentu saja naiknya jumlah penonton dari hari ke hari namun sayangnya hal itu tetap tidak cukup menutup biaya perawatan stadion.
Tiap bulannya Arena Patanal membutuhkan biaya tiga juta poundsterling yang terpaksa diambil dari dana publik guna membuat stadion itu tetap terjaga. Dengan biaya setinggi itu melihat Rusia bermain imbang melawan Korea Selatan di sana ketika itu mungkin rasanya menjadi tidak sepadan.
Tidak semua stadion berdiri di pantai timur yang gemar sepakbola. Manaus yang berlokasi di dekat Amazon pun ikut serta menjadi tuan rumah. Nyatanya biaya sebesar 200 juta poundsterling guna membangun Arena de Amazonia tidak membawa dampak positif yang signifikan bagi masyarakat.
Ada kegelisahan dan kemarahan khususnya bagi warga lokal dan komunitas adat yang merasa dicampakkan pemerintah semasa persiapan Piala Dunia 2014.
Kepala suku Satere Mawe dalam wawancaranya dengan The Guardian pada 2014 mengatakan bahwa “Bagi masyarakat adat dan penduduk favela, sulit untuk melihat begitu banyak uang dihabiskan di stadion ketika ada kelaparan dan kesehatan yang buruk. Saya merasa FIFA dan Brasil telah merampok budaya kami. Jika mereka ingin menggunakan citra kami, mereka seharusnya menyertakan kami. Mereka tahu kami mencintai sepakbola, dan mereka telah menghina kami. Saya menyalahkan pemerintah lebih dari FIFA karena mereka orang Brasil dan seharusnya mengawasi kami. Sebaliknya, mereka telah memalingkan muka dari orang-orang mereka sendiri.”
Ada rumor yang mengatakan bahwa Manaus bisa menggunakan Arena de Amazonia sebagai pusat tahanan sementara setelah Piala Dunia untuk mengatasi penuhnya penjara di sana. Meski rumor itu tidak terbukti kondisi tersebut sedikit banyak menunjukkan ketidakjelasan tentang aspek keberlanjutan stadion pasca–Piala Dunia. Apakah semua hal tersebut dilakukan hanya untuk menyaksikan Mario Balotelli melewati Joe Hart?
Perencanaan yang buruk juga terjadi di Recife. Kota ini memiliki dua klub potensial yang bisa terus berkembang. Dengan adanya stadion kelas dunia diharapkan membuat Nautico dan Sport Club dapat mendatangkan lebih banyak suporter. Namun hal tersebut sulit diwujudkan mengingat jarak yang jauh sekitar 40 menit berkendara dari pusat kota di mana Arena Pernambuco berdiri.
Akibatnya para fans membujuk klub untuk kembali ke rumah lama mereka, Estádio Aflitos, hal itu juga diperparah dengan jatuhnya angka penonton setelah mereka degradasi. Sport Club telah memutuskan mereka ingin membangun rumah baru mereka sendiri dengan biaya 145 juta poundsterling, tetapi rencana itu telah tertunda berkali-kali.
Terakhir ada kisah memilukan di Arena dus Danas, Natal. Tempat di mana Luis Suarez menggigit Giorgio Chiellini ini mereka tersengal-sengal untuk menggalang dana perawatan stadion. Dilaporkan tempat ini pernah disewakan sebagai tempat pesta pernikahan dan ulang tahun. Kondisi ironis bagi stadion berkapasitas hampir 40.000 penonton.
Entah ada hubungannya atau tidak, setelah Piala Dunia 2014, Brasil mengalami tahun-tahun berat di bidang ekonomi. GDP mereka anjlok 30 persen dari 2014 ke 2015 dan tingkat pengangguran meningkat dua kali lipat tiga tahun setelah gelaran Piala Dunia 2014. Meski tidak semua stadion-stadion tadi digunakan kembali pada Copa America menarik untuk melihat perkembangannya usai Copa America nanti.
+++
Artikel ini diterjemahkan dan disadur dari TheseFootballTimes. Artikel aslinya berjudul From The Beautiful Game to Birthday Parties: The Brutal Reality of What Happened to Brazil’s World Cup Stadiums oleh Billy Munday.