Sudah diakui semua orang bahwa untuk mencari tahu sejarah klub di Indonesia bukan perkara mudah. Pengarsipan sepak bola negeri ini buruk, seperti halnya di bidang lainnya.
Klub sendiri pun tak punya divisi khusus untuk melakukan pengarsipan catatan sejarah yang berkaitan dengan kegiatan klub. Seingat saya, hanya Persib yang manajemennya peduli terhadap pengarsipan klub, entah dengan klub lain. Mungkin tak banyak penguasa klub yang merasa mengarsip sejarah adalah sesuatu yang penting.
Beruntung, seringkali ada individu dengan kecintaan yang besar pada klub kebanggaannya melakukan pengarsipan sendiri. Untuk menyebut beberapa ada nama Novan Herfiyana yang mengoleksi arsip Persib, Dimaz Maulana dengan PSIM, Dimas PP yang rajin mengumpulkan arsip Persebaya, Gery yang giat melakukan pencatatan sejarah Persija, dan ada nama-nama lainnya yang tak semua bisa disebut di sini.
Pameran sejarah PSIM
Sebuah kerja merawat sejarah yang amat baik telah dilakukan, tapi kemudian memunculkan pertanyaan penting, bagaimana publik secara luas bisa mengaksesnya? Dengan adanya blog, tentu semuanya jadi lebih mudah. Namun, percayalah tak ada yang bisa menggantikan romantisme yang bisa dirasakan secara nyata. Foto yang dicetak tentu punya citarasa yang berbeda dibanding foto yang tersebar di jejaring internet. Juga pengalaman menggenggam jersey punya kemampuan mengusik romantisme lebih kuat dibanding sekadar melihat fotonya yang disebar di media sosial.
Alangkah beruntungnya kemudian pencinta PSIM Yogyakarta bisa merasakan pengalaman nyata bersentuhan dengan artefak sejarah mengenai klub kebanggaannya itu berkat kerja yang dilakukan Brajamusti, salah satu kelompok suporter PSIM. Memperingati hari ulang tahun Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram yang ke-86, mereka menggelar pameran sejarah di wisma Soeratin.
Dengan mengangkat tema PSIM dan Brajamusti, para suporter bahu membahu mengumpulkan benda-benda bersejarah, mulai dari foto, jersey, hingga deretan piala yang pernah diperoleh PSIM. Ada banyak barang kenangan yang tentunya begitu dinikmati oleh pencinta PSIM yang hadir.
[Best_Wordpress_Gallery id=”2″ gal_title=”Pameran PSIM 2015″]
Catatan pameran
Meski demikian, tetap ada beberapa catatan mengenai pameran ini. Sungguh sangat disayangkan ketiadaan kurator dalam menyusun pameran ini sehingga pemasangan benda yang dipamerkan sulit memberikan satu cerita besar tentang PSIM dan Brajamusti, terutama dalam penyusunan foto.
Tapi, selain persoalan itu, ada dua frame yang begitu menarik dan layak disebut sebagai yang terbaik di pameran ini. Pertama, ada satu frame yang khusus bercerita tentang kesuksesan PSIM meraih gelar juara Divisi I pada tahun 2005 lalu. Ada foto Sofyan Hadi bersama skuatnya, termasuk Jaime Sandoval yang hingga kini dikenang sebagai salah satu pemain terbaik dan begitu dicintai oleh suporter PSIM.
Hanya saja, sayang Piala sebagai lambang juara itu tak ditampilkan. Menurut informasi dari rekan-rekan yang ada di lokasi, Piala tersebut ditaruh di Balaikota Yogyakarta. Hingga pameran mulai digelar tanggal 28 September hingga 30 September 2015 lalu, Piala tersebut belum berhasil dibawa ke pameran, mungkin ada persoalan birokrasi atau bisa saja Piala-nya sudah pindah tempat.
Frame kedua jelas deretan jersey dari musim ke musim yang dipajang di sisi timur ruangan pamer di Monumen PSSI. Meski tak semua jersey ditampilkan –kendala tak ditemukannya jersey terkait—tapi cukup untuk bercerita tentang PSIM dari masa ke masa. Cerita tentang siapa saja skuat PSIM hingga bagaimana pencapaian prestasinya bisa menyeruah setelah menyaksikan jersey yang terpajang.
Bagaimanapun, baik atau buruk, apa yang dilakukan oleh teman-teman suporter PSIM ini patut diapresiasi. Kerja budaya merawat sejarah ini turut menjaga agar PSIM tak ditinggalkan oleh masyarakat Yogyakarta dan lebih dikenal oleh generasi muda.