Apa yang Terjadi Jika Messi Lahir Lebih Dulu dari Pele?

Oke, sebentar. Pemain ini memang alien.

Josep Guardiola menawarkan perkataannya rela diolah atau sedikit dimanipulasi oleh wartawan di sebuah konferensi pers setelah pertandingan, hanya karena kesulitan memilih kata pujian yang paling tepat.

Arda Turan memang sempat menyebut Cristiano Ronaldo sebagai pemain terbaik di muka bumi, tapi itu bukan jawaban yang sama ketika mantan pemain Atletico Madrid ini menjawab pemain terbaik di gugus bintang antar-galaksi.

Bahkan Ronaldo, pada menit-menit pembuka film dokumenternya sendiri dengan jujur mengatakan bahwa pemain ini adalah salah satu motivasi terbesarnya untuk terus bekerja di luar batas kewajaran. Ya, itu bisa dipahami. Siapa sih ayah yang tahan ketika anaknya justru mengidolakan sosok selain dirinya? Apalagi sosok itu adalah pesaing terbesar dalam karier profesional si ayah?

Maka, jelas sudah, sebesar apa pun Anda membenci klub bernama FC Barcelona, akan sulit untuk menafikan kebesaran sosok mungil Lionel Messi. Kecuali Anda kelewat bebal sehingga menolak fakta-fakta yang ada. Atau kebebalan dengan alasan standar ganda semacam ini: Messi tidak akan bisa apa-apa jika bermain di luar Barcelona.

Kenapa saya menyebutnya sebagai standar ganda?

Sebab fan Manchester United, AC Milan, atau AS Roma tidak akan senang jika disebut; Paul Scholes dan Ryan Giggs, Paolo Maldini atau Fransesco Totti hanya akan jadi sampah jika bermain di luar klub yang melatihnya bermain bola sejak kanak sampai akhir kariernya.

Ini adalah alasan paling konyol dan semakin menegaskan bahwa Messi memang sulit ditemukan kelemahannya kecuali satu hal; gelar internasional—hal yang bahkan juga tidak mampu diraih oleh pesaing terdekatnya; Ronaldo.

Jadi, bagaimanapun juga, capaian Messi sebagai seorang pemain adalah sebuah berkah yang menurut Johan Cruyff, membuat setiap manusia di bumi ini berhutang budi kepada Tuhan karena menghadirkan bakat seperti ini lahir.

Yap. Seperti kata Cruyff, Lionel Messi adalah bakat terbaik, untuk generasi sekarang dan berikutnya. Titik. Itulah kata kuncinya. Dan itulah kenapa, menjadi hal yang begitu menyebalkan adalah jika kemudian kehebatan Messi disebut-sebut juga berlaku untuk generasi sebelumnya. Bahkan sampai disebut sudah melampaui kebesaran dan kejayaan pemain legendaris pada masa lalu.

Baiklah, Anda boleh saja menyebut saya naif atau menyebut bahwa Messi jauh lebih hebat karena ia menghadapi sistem pertahanan yang lebih modern dan melawan pemain yang dilatih dengan standar kualitas jauh lebih baik. Ini hal yang tidak ditemui oleh Pele, Cruyff, Mario Kempes, atau Diego Maradona pada masa aktif mereka sebagai pemain. Hmm, benarkah?

“Jika Anda bertanya, apakah Beethoven masih akan menjadi tokoh penting (jika dilahirkan) saat ini? Tentu saja (iya),” kata Pele.

Tonggak sejarah memang tidak bisa ditarik ulang. Jika Messi lahir lebih dahulu dari Pele, bisa jadi kiblat sepak bola dunia bukanlah Brasil, tapi Argentina. Atau malah hal buruk yang terjadi, sejarah akan melupakan dunia pernah punya sosok Messi karena ia tidak bakal bisa apa-apa jika hidup di era sepak bola masa lalu.

Jangan buru-buru mengenyitkan dahi. Saya akan sodorkan alasannya sedikit demi sedikit.

Jika Messi bermain di dunia sepak bola tahun 1960-an, kakinya akan hancur lebih dulu bahkan mungkin sebelum ia bisa jadi pemain profesional. Sepak bola—terutama pada era sebelum 1966—adalah olahraga yang tidak jauh beda dengan rugbi atau hoki es.

Ingat gol Pele di Piala Dunia 1958? Ketika masih bocah 17 tahun Pele berhasil melewatkan bola ke atas pemain-pemain Swedia sebelum menceploskan bola ke gawang lawan?

BACA JUGA:  Menghormati Handanovic

Coba Anda perhatikan lagi, bahwa ada salah satu pemain bertahan Swedia yang berusaha menghalangi Pele dengan menendang selangkangan Pele dengan begitu keras. Itu jelas bukan gerakan untuk menghalau bola, itu benar-benar tendangan karate untuk menghentikan pemain lawan dengan segala cara.

Jika gerakan bek semacam itu terjadi era sekarang, pemain yang menerima “serangan” itu akan cenderung menjatuhkan diri kemudian menggelepar seperti ikan kehabisan air. Sebab akan ada dua keuntungan bagi tim yang dilanggar; pertama, penalti. Kedua, lawan akan bermain dengan 10 pemain.

Lalu apakah hal itu tidak berlaku di era tersebut?

Tentu saja tidak. Pele remaja tahu, jika ia jatuh “hanya” karena tendangan karate semacam itu, ia tidak hanya akan kehilangan kesempatan mencetak gol tapi juga menunjukkan bahwa ternyata ia adalah pemain yang lembek.

Bahkan kalaupun tendangan itu dianggap pelanggaran, si pelanggar tidak akan mendapatkan kartu apa pun dari wasit, sebab kartu merah dan kartu kuning baru ditemukan hampir satu dekade kemudian (setelah Piala Dunia 1966) oleh Ken Aston, wasit asal Inggris.

Itulah kenapa Pele sempat sesumbar bahwa, “Andai saat ini saya masih bermain, maka tentu saja saya masih mampu bersaing dan menjadi tokoh penting.”

Sebab tentu saja, saat Pele bermain tanpa perlindungan dari wasit seperti era sepak bola sekarang, ia tetap bisa melenggang menjadi pemain terbaik yang pernah ada. Bahkan setahun sebelum kartu kuning dan kartu merah dikenalkan, dunia menjadi saksi bagaimana Pele jadi sandbag tekel-tekel brutal para pemain lawan di Piala Dunia 1966 hingga membuatnya cedera parah dan menyebabkan Brasil tersingkir dini.

Dua cabang olahraga yang berbeda

Franz Beckenbauer menyebut, sepak bola pada masanya bersama Pele dengan sepak bola sekarang seperti cabang olahraga yang berbeda.

“Pada tahun 1960-an dan 1970-an, para wasit harus sendirian membuat semua keputusan, kecuali untuk offside,” ujar Der Kaizer. Kesalahan wasit jadi lebih sering terjadi, ini jelas merugikan pemain berteknik tinggi karena perlindungan terhadapnya dari terjangan bek lawan jelas sangat minim.

Menurut Beckenbauer, inilah kesulitan membandingkan pemain pada masa lalu dengan masa sekarang, karena jika pemain masa lalu menghadapi sistem permainan yang lebih sederhana, maka pemain sekarang lebih “mudah jadi bagus” karena dipersenjatai oleh peralatan-peralatan yang luar biasa modern.

Produsen sepatu, bola, bahkan kaos pemain merancang serta mempermudah segalanya. Dari tahun ke tahun sepatu diproduksi dengan peningkatan presisi, kenyamanan, dan ketahanan yang luar biasa. Pun dengan teknologi bola atau bahan untuk kaos pemain.

Ini jelas beda dengan apa yang dialami para pemain seperti Beckenbauer atau Pele, sepatu yang mereka kenakan terbuat dari kulit binatang akan begitu berat saat cuaca memburuk. Kaki bakal sulit untuk bergerak, bola sama saja. Sebab keduanya menyerap air begitu banyak dan begitu cepat. Jangankan untuk mencetak gol, untuk menggiring atau mengumpan ke rekan terdekat saja sangat sulit. Ini semakin dipersulit dengan buruknya kondisi lapangan.

“Pada tahun 1960-an kondisi lapangan hanya bagus pada satu bulan pertama kompetisi. Setelah itu, kami bermain di lumpur, yang dipenuhi salju pada musim dingin,” jelas Beckenbauer. Permainan macam tiki-taka akan mustahil bisa dimainkan jika kondisi lapangan semacam itu.

Lalu apa yang tersisa?

Tentu saja skill pemain-pemain di atas rata-ratalah yang mampu memperbaiki kondisi buruk tersebut. Pemain-pemain seperti Mario Kempes, Bobby Charlton, atau Cruyff tetap mampu mengeluarkan kemampuan terbaik mereka di kondisi seburuk apa pun.

BACA JUGA:  Pembuktian Odion Ighalo di Old Trafford

Kemampuan fisik yang kuat menghadapi medan yang berat serta kemahiran menaklukkan pantulan-pantulan bola aneh karena buruknya lapangan, membuat mereka melesat meninggalkan pemain lain yang hanya bisa mengeluh dengan kondisi semacam itu.

Inilah yang membuat Beckenbauer begitu iri dengan sepak bola sekarang, “Lihatlah lapangan di Allianz Arena atau stadion-stadion besar lainnya. Mulus sekali, seperti lapangan golf. Saya jadi hampir tidak berani untuk menginjakkan kaki di lapangan sepak bola (karena takut merusaknya),” kata legenda Bayern Munchen ini.

Inilah yang kemudian menegaskan pendapat Pele, bahwa Beethoven akan tetap jadi Beethoven jika dilahirkan pada era sekarang. Mungkin bentuk output musiknya tidak akan sama, tapi bakatnya akan semakin terfasilitasi dengan alat musik yang jauh lebih modern.

Messi pada masa lalu dan Pele di masa kini

Setiap era punya tokohnya masing-masing dan setiap tokoh punya eranya masing-masing. Pemain masa lalu dengan masa kini punya tantangan yang berbeda. Jadi cukup mustahil memang untuk membandingkan satu pemain dari satu era dengan pemain pada era yang lain.

Tanpa Charlton, Inggris tidak akan pernah tahu rasanya jadi juara dunia. Ini jelas tidak bisa dibandingkan dengan Argentina yang juara pertama kali karena Mario Kempes ingin memberi hadiah kepada rakyat atas derita pemerintahan junta militer di Piala Dunia 1978.

Dan sekalipun Cryuff dikalahkan Beckenbauer di laga final, namun semua juga tahu bahwa Piala Dunia 1974 adalah tahun bagi pertarungan legendaris keduanya. Ini jelas tidak bisa dibandingkan dengan napas yang hampir habis dari Beckenbauer muda karena harus berduel sepanjang 120 menit melawan Charlton di Wembley, final Piala Dunia 1966.

Ini sama sulitnya dengan membandingkan kehebatan Pele dengan Messi. Sebab sepak bola yang dimainkan keduanya sudah benar-benar olahraga yang berbeda. Jika Messi jelas bakal kesulitan menghadapi sepak bola zaman dulu, maka belum tentu juga kemudian, jika Pele bisa sukses menghadapi sepak bola modern sekarang jika kembali aktif bermain.

Namun lebih daripada itu, dibandingkan kemungkinan gagalnya Pele berkarier pada era sepak bola era saat ini, saya berani bertaruh bahwa lebih besar kemungkinan gagal sosok seorang Lionel Messi jika hidup di sepak bola era masa lalu.

Kenapa?

Sederhana saja, teknologi kedokteran untuk mengatasi kelainan hormon pertumbuhan Messi jelas belum ditemukan pada masa Pele memulai karier sepak bolanya. Oleh karena itu, ini bisa membuat tinggi Messi ketika dewasa tak maksimal tanpa obat pemacu pertumbuhan seperti di Spanyol.

Dan karena persoalan tinggi badan ini pula, kemungkinan terbesar adalah bakat Messi akan terkubur dalam-dalam sampai dunia tak pernah ingat ada calon pemain besar yang hilang hanya karena ia lahir pada waktu yang salah.

Maka, “Thanks God Messi exists!” kata Cruyff. Ya. Terima kasih Tuhan, Messi ada. Terutama karena dia hadir pada era sekarang ini, bukan pada masa lalu. Karena Messi hadir di kondisi paling sempurna ketika teknologi kedokteran sudah dapat mengupayakan agar bakat luar biasanya tidak hilang ditelan kekurangan fisiknya.

Dan tentu saja agar ia bisa jadi penanda lahirnya era ini; era Lionel Messi.

Era yang tidak menutupi kebesaran era Pele atau era pemain legendaris lain di belakangnya. Era yang disiapkan untuk jadi bagian dari sejarah panjang pada masa mendatang. Bukan era untuk menghapus atau meremehkan capaian apa yang sudah ada di lembaran masa lalu.

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab