Apakah Dominasi Penguasaan Bola Justru Sulit Menghasilkan Kemenangan?

Suatu awal musim, pada 2011 lalu, Manchester United menjelma menjadi wajah sebuah tim yang sangat dikagumi rakyat Inggris. Kuat, berdaya juang tinggi dan bermain indah. Dengan tiga kata tersebut United menghancurkan Arsenal 8-2 di Old Trafford. Kekalahan yang telak dan memalukan, bagi Arsenal. Namun kemenangan yang besar dan agung, bagi Setan Merah.

Apa kunci kemenangan megah United saat itu? Mudah saja, dominasi. Di semua aspek. Di semua lini. Dan yang paling utama, mereka menguasai bola. Sebanyak 59% saat itu.

Penguasaan bola yang membuat mereka membuat 25 peluang bersih, 15 di antaranya adalah tendangan tepat mengarah ke gawang, dan delapan di antaranya sukses menjadi gol dan memberi tiga poin bagi United dengan cara yang agung.

Ketika beberapa minggu lalu Arsene Wenger mengutarakan opini bahwa penguasaan bola tidak lagi membuahkan kemenangan, sontak saya terkejut. Mungkin, Arsene mulai pragmatis.

Mungkin, jeda lebih dari satu dekade sejak terakhir menjuarai Liga Inggris membuatnya delusi dan setengah hilang kesadaran. Bagaimana mungkin dengan menguasai bola kita tidak layak dan mampu untuk menang? Pikir saya saat itu.

Bukti masih ada bahwa di Liga lain, di beberapa wilayah di Eropa daratan, penguasaan akan bola masih menjadi cara yang dipuja. Barcelona, Bayern Munchen, Paris Saint Germain, hingga Juventus masih melakukan cara itu dengan baik. Bahkan mereka mendominasi liga masing-masing dengan cara yang sangat otoriter.

Terlepas superiotas mereka di sisi finansial dan kedalaman skuat. Kalau kemudian Chelsea bisa menjadi juara musim lalu dengan bermain sedikit aman dan cenderung pasif, itu hanya kebutuhan akan taktikal dan mentalitas ala Jose Mourinho belaka.

Inggris tidak pernah menjadi tempat yang ramah bagi sepak bola pasif. Mengumpan beberapa kali ke belakang, Anda hanya akan berakhir menjadi cemoohan bagi suporter. Ketika bertahan dengan sporadis, Anda hanya menjadi bahan gunjingan bagi media Inggris yang terkenal brengsek dan nyinyir. Inggris tidak memuja penguasaan bola, tapi Inggris mengagungkan daya juang dan semangat bertarung.

BACA JUGA:  Di Balik Senyum Tipis Arsene Wenger

Saya sepenuhnya sepakat dengan esai Bung Dafi bahwa Inggris bukan tepat yang subur bagi taktik sepak bola modern. Bangsa Celt dan Saxon mewariskan betul sikap bebal dan semangat perjuangan mereka ke dalam kultur rakyat Inggris. Inggris memuja semangat revivalis yang tinggi. Semangat yang mungkin tampak di “malam irasional di Istanbul” itu.

Publik Inggris terkadang memuja Alan Pardew, Tony Pulis dan Sam Allardyce karena obsesi mereka akan keberlangsungan sepak bola kick and rush. Namun di satu sisi, mereka pun mengagungkan Sir Alex Ferguson hingga Arsene Wenger, karena cara mereka mengubah sepak bola kaku ala Britania menjadi lebih menghibur dan menghipnotis.

Adakah yang memuja sepak bola Jose Mourinho? Tentu saja ada. Dan mungkin hanya mereka, yang rela tertidur di stadion namun merayakan gelar juara dengan gegap gempita.

Hanya sepengetahuan saya, Roman Abramovich adalah penyuka sepak bola atraktif. Apa mungkin itu sebab Jose tak pernah punya istana yang nyaman dan rezim yang lama di London Barat? Entahlah.

Membicarakan penguasaan bola, kita agaknya dengan sadar harus melibatkan Barcelona. Spanyol tidak pernah menjadi tanah yang ramah bagi sepak bola pragmatis, mungkin.

Dalam sebuah petikan wawancara Sid Lowe dengan Cesc Fabregas—yang kala itu masih berseragam Barcelona—ada sebuah pengakuan menarik dari Fabregas bahwa bagi Barcelona (atau mungkin publik Spanyol pada umumnya) sepak bola tidak hanya soal menang atau kalah, namun juga menjadi sebuah model.

Suatu waktu, Barcelona memenangkan sebuah pertandingan melawan Rayo Vallecano dengan skor mencolok 4-0, namun publik Catalan tetap mencemooh karena untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, Barcelona memiliki penguasaan bola di bawah 50%.

Walau secara hasil, mereka sukses menang telak dan cleansheet. Tambahkan juga cerita saat Iker Casillas dan Cristiano Ronaldo sesekali di-boo oleh suporter Real Madrid sendiri. Padahal, Casillas adalah legenda klub. Dan Ronaldo tidak terbantahkan statusnya sebagai mega bintang Los Galacticos.

Kembali ke Inggris, publik tidak begitu peduli dengan penguasaan bola. Mereka hanya ingin serang, serang dan serang.

BACA JUGA:  Perihal Ego Johan Cruyff

Inggris tidak taktis karena mereka abai dengan kebutuhan taktikal. Mereka ingin gol dan hiburan. Anda boleh menguasai bola hanya saja Anda harus mencetak banyak gol. Anda menguasai bola tapi hanya menang 1-0, siap-siap muncul tajuk utama dengan aroma nyinyir di surat kabar esok hari.

Apalagi ketika Anda begitu menguasai bola dan hanya berhasil meraih hasil 0-0. Saya tidak tahu bagaimana Louis Van Gaal menjelaskan fenomena ghaib itu kepada publik Inggris.

Darmanto Simaepa, suatu waktu berujar bahwa sebuah bangsa menunjukkan corak kultur masyarakatnya dalam sepak bola.

Inggris yang spartan. Spanyol yang hangat dan indah, Italia yang maskulin dan pesolek hingga Jerman yang sangat terperinci dan sistematis. Jangan heran kalau Bundesliga begitu penuh nuansa taktikal dan merangsang mas-mas hebat semacam Qo’id Naufal dan Ryan Tank untuk menganalisisnya. Atau Italia yang bek-bek tampannya sukses dengan catenaccio. Hingga frasa kata posesion bagi publik Spanyol yang tidak hanya berarti mendominasi, namun juga mewartakan keindahan.

Sederhananya, penguasaan akan bola dan masokis berlebih terhadap penguasaan bola tidak benar-benar mati. Mungkin, di Inggris, penguasaan bola tidak lagi memberi jaminan kemenangan. Namun di belahan dunia lain, penguasaan akan bola masih memegang peranan penting akan wujud dominasi dan kemampuan mengontrol lawan di lapangan.

“Ketika menguasai bola, kita tidak perlu bertahan. Karena bola di lapangan hanya satu,” ujar Johan Cruyff suatu waktu.

Selama pemegang bola tak melakukan kesalahan dan tidak cukup bodoh untuk tersakiti dengan serangan balik lawan, saya rasa menguasai bola dengan cara ala Catalan tidak pernah menjadi usang dan menemui senjakalanya.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.