Beberapa hari yang lalu, saya nulis soal Marcello Lippi dan para kadernya di lapangan hijau. Hari ini (25/17), kolom “Sportainment” di Jawa Pos menyuguhkan maestro sepakbola lainnya: Arrigo Sacchi.
Dia mujaddid taktik sepakbola dan madzhab-nya membawa pengaruh hingga kini. Berbeda dengan Totall Voetbal ala Rinus Michels yang atraktif-indah tapi sulit dilakukan di luar Belanda, taktik Sacchi dan keluwesan formasinya membawa perubahan besar di era persepakbolaan Eropa.
Jawa Pos memetakan sanad keilmuan madzhab Sacchi melalui jejaring yang rapi: para murid Sacchi yang pernah berguru langsung kepadanya, maupun para pelatih muda yang dialiri intelegensia pelatih kelahiran 1 April 1946 tersebut melalui dua pelanjut ideologisnya: Fabio Capello dan Carlo Ancelotti.
Rekomendasi Jersey Fantasy dan Jaket Bertema Garuda yang Keren
Lebih mudahnya seperti ini, Ancelotti menyerap ilmu Sacchi saat dia menjadi pemain AC Milan, kemudian memperdalam ilmunya saat menjadi asisten Sacchi di Piala Dunia. Ancelotti, yang kemudian menjadi pelatih Real Madrid, akhirnya mengader Zinedine Zidane sebagai asistennya. Kini, Zidane mulai menapaki karier gemilang.
Baik Sacchi, Ancelotti, maupun Zidane sama-sama pernah meraih gelar Liga Champions. Benar-benar silsilah emas sepakbola!
Generasi Emas AC Milan saat dilatih Sacchi pun kini menjadi pelatih. Mulai dari Ancelotti, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Ruud Gullit, Roberto di Matteo, Donadoni, Mauro Tasotti, hingga Alessandro Costacurta. Bahkan, Antonio Conte, yang mekar bersama Juventus pun menyerap ilmu Sacchi secara paripurna.
Para tabi’in ini menerapkan zona marking dan pressing ketat diiringi keluwesan pemain tengah yang biasa keluar dari zona orbitnya.
Para pelatih muda yang berjejalan di liga-liga Eropa saat ini memang tidak belajar langsung kepada allenatore gundul itu. Tapi, gaya kepelatihan pria asal Fusignano tersebut sungguh terasa. Sebab pada saat menjadi pemain, mereka mendapat sentuhan emas Capello maupun Ancelotti.
Di luar itu, ada juga yang menyambung sanad keilmuannya melalui pengagum Sacchi. Misalnya, Jurgen Klopp menyambung silsilah keilmuan Sacchi melalui Wolfgang Frank, pelatihnya saat di Mainz 05.
Tradisi keilmuan dari sepakbola Italia
Tradisi keilmuan dalam sepakbola Italia membuat negeri ini tak pernah kekurangan pelatih-pelatih hebat. Hal ini tidak lepas dari keberadaan pusat pendidikan dengan kurikulum sepakbola yang mutakhir milik FIGC (asosiasi sepakbola Italia) yang biasa disebut Coverciano.
Jadi, tak perlu heran. Meski miskin pengalaman sebagai pemain sepakbola, lulusan Coverciano tetap yahud. Kalau dulu Arrigo Sacchi, bekas penjual sepatu yang menjadi maestro sepakbola, kini ada pelatih seperti Maurizio Sarri, pelatih Napoli yang awalnya hanya pegawai bank yang nyambi menjadi pemain klub amatir.
Coverciano berdiri sejak 1958. Sentra pendidikan kepelatihan yang terletak di Florence, wilayah Tuscany, Italia, itu memang telah melahirkan begitu banyak pelatih jempolan. Para siswa alias calon pelatih tidak hanya duduk manis dan mendengarkan dosen berteori. Mereka dipersilakan mengemukakan gagasan mengenai taktik sepakbola dan didiskusikan bersama-sama.
Coverciano juga bukan sekadar sekolah biasa. Ada kurikulum yang sistematis dan sebuah museum untuk memunculkan rasa bangga dan nasionalisme bagi siswa. Museum tersebut berisi dokumentasi sejarah sepakbola Italia. Isinya berupa seragam sepakbola, bola, video, medali, dan piala.
Mereka yang bersekolah di Coverciano juga memiliki kewajiban menulis tesis sebagai syarat kelulusan. Itulah yang membuat gagasan-gagasan orisinal para pelatih teruji.
Carlo Ancelotti merupakan seorang yang memiliki tulisan terkenal, berjudul “Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita”. Begitu pula Roberto Mancini yang meneliti gelandang serang dengan judul “Il Trequartista”. Antonio Conte juga menulis gagasannya mengenai sepakbola dinamis yang dia serap dari Sacchi.
Para pelatih top Italia yang bertebaran di penjuru dunia rata-rata merupakan lulusan Coverciano. Hingga saat ini, Italia memiliki sekitar 2.000 pelatih dengan kualifikasi UEFA Pro. Bandingkan dengan Inggris yang baru memiliki 200 pelatih dengan kualifikasi yang sama. Jadi, jangan heran apabila saat ini ada banyak pelatih Italia di Liga Primer Inggris.
Selain Italia, Jerman juga menerapkan standar ilmiah persepakbolaan. Prestasi jawara Piala Dunia 2014 antara lain disebabkan perpaduan talenta pemain, kecerdasan Joachim Loew, para asistennya, serta para penyuplai data statistik.
Statistik, ilmu yang membosankan di bangku kuliah ini menjadi dinamis di tangan Loew dan ajudannya. Ketika menghajar tuan rumah Brasil dengan skor 7-1, Loew sebelumnya disodori statistik permainan Brasil dan grafik pemain. Dengan cara itu, Loew membangun taktik berdasarkan data dan analisis yang kuat.
Tradisi ilmiah ini, saya kira, tidak tumbuh dari budaya instan.
Italia mewarisi tradisi renaisans yang kuat sehingga bisa memadukan seni dengan logika.
Jerman tumbuh dengan mewarisi tradisi kemapanan rasionalisasi ala Hegel yang diterapkan di lapangan hijau melalui otak Franz Beckenbauer dan Loew, diiringi pola meritokrasi Max Weber sehingga kaderisasi angkatan berjalan lancar maupun dikokohkan dengan ketangguhan fisik pemain Jerman, yang sebagaimana mesin produksinya: awet dan bandel.
Kembali ke awal. Sacchi, harus diakui, merupakan salah satu maestro sepakbola dengan para pengikut madzhab-nya. Dia disejajarkan dengan Rinus Michels dengan Totall Voetbal-nya, Helenio Herrera dengan Cattenaccio, dan Jogo Bonito-nya Mario Zagallo.
Tapi, sehebat-hebatnya pelatih di atas, strateginya bakal melempem di lapangan Indonesia. Penyebabnya, di sini, para pesepak bola bisa menjadi pesilat yang menghajar pemain lawan maupun menganiaya wasit.
Di sini pula, dukun dan bandar judi lebih dipercaya dibandingkan statistik dan rasionalisasi strategi.
WAllahu A’lam bisshawab
Glosarium
Mujaddid: orang yang membawa pembaharuan.
Madzhab: metode
Sanad: rangkaian, sandaran yang dapat dipercaya
tabi’in: pengikut, berkaitan dengan murid (yang masih muda)