Belakangan ini, fans Liverpool menepuk dada karena klub kesayangan mereka semakin rajin merengkuh prestasi. Berturut-turut, gelar Liga Primer Inggris, Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub mampir ke lemari trofi Stadion Anfield dalam rentang dua tahun pamungkas.
Melihat kesuksesan The Reds, tentu kita harus melihat bagaimana Jürgen Klopp mengolah amunisi yang seakan telah disiapkan bertahun-tahun lamanya. Pelatih berkebangsaan Jerman itu pasti berterima kasih kepada juru taktik sebelumnya, Brendan Rodgers. Pasalnya, lelaki Irlandia Utara tersebut memiliki andil atas kekokohan skuad Liverpool asuhan Klopp saat ini.
Periode awal kepelatihan Klopp sendiri sempat diiringi inkonsistensi karena anak asuhnya belum fasih menerapkan gegenpressing. Alhasil, mereka seringkali tampil cadas di awal musim lalu melempem di pengujung kompetisi gara-gara kelelahan. Bersamaan dengan itu pula, suporter The Reds kudu menyaksikan kegagalan demi kegagalan sebab keok di tiga partai final sekaligus yakni Piala Liga, Liga Europa, dan Liga Champions.
Akan tetapi, saat para penggawa Liverpool mulai memahami apa yang diinginkan Klopp dan sang pelatih pun bisa mengimplementasikan seluruh idenya, perubahan yang diinginkan benar-benar terlihat. Roberto Firmino dan kawan-kawan tampil penuh energi, taktis, dan memikat mata. Setiap laga dijalani bak partai puncak.
Antisipasi Gaya Main
Pakem 4-3-3 menjadi pilihan utama dengan tiga gelandang yang punya peran krusial dalam mengatur tempo, menghentikan serangan secepat mungkin dan juga meminimalisasi kehilangan bola di area sendiri. Selain itu, Klopp juga menitikberatkan serangan timnya lewat sayap. Duo fullback dan winger jadi aktor kunci lewat umpan maupun pergerakannya.
Dari sebuah rantai yang berputar sempurna di dua musim ini, saya pribadi menganggap jika Klopp tidak memodifikasi hal tersebut sehingga celah-celah yang ada mulai terbaca oleh lawan. Lantaran dua fullback yang rajin naik, Liverpool selalu mengandalkan dua bek tengah dan tiga gelandang mereka dalam fase transisi negatif.
Kondisi ini membuat Fabinho yang kerap dipasang sebagai gelandang jangkar punya tugas berat untuk menutup area yang ditinggalkan duo Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson. Beda lawan, beda pula tekanan yang diterima. Menurut saya pribadi, The Reds acap kepayahan di momen ini sehingga keok dari lawan-lawannya di menit akhir pertandingan, khususnya oleh mereka yang jago melakukan serangan balik cepat dan efektif.
Kelemahan itu kemudian coba dibenahi Klopp dengan menginstruksikan kepada anak asuhnya untuk memeragakan skema 4-3-2-1 ketika bertahan. Kedua fullback dipaksa turun lebih cepat supaya lawan tak memiliki kesempatan mengeksploitasi ruang yang ada. Hal ini mendorong duo Alexander-Arnold dan Robertson bermain lebih efektif di fase menyerang.
Lebih jauh, Klopp juga terus melakukan berbagai improvisasi sebagai bentuk keragaman gaya bermain. Ia sesekali meminta tim asuhannya menerapkan garis pertahanan tinggi guna menjebak lawan agar berada di posisi offside. Ia juga pernah menerapkan garis pertahanan rendah buat mengabsorbsi serangan lawan sebelum akhirnya melancarkan serangan balik kilat nan maut.
Adalah kewajaran saat para juru strategi seperti Klopp memikirkan segala hal yang menurutnya terbaik untuk tim. Namun bagaimanapun juga, buah pemikiran tersebut tak selalu membuahkan hasil manis. Bukti sahihnya tersaji Senin dini hari kemarin (5/10).
Bertandang ke Stadion Villa Park milik Aston Villa, Liverpool yang diunggulkan malah dibantai sang tuan rumah via skor 7-2. Dalam laga itu, ada banyak sekali lubang yang terlihat dari permainan The Reds. The Villans yang mengerti akan hal itu lantas memaksimalkannya secara brilian.
Alih-alih menghadirkan rasa aman, performa Adrian yang menggantikan Alisson di bawah mistar justru kolokan. Sementara itu, Duo Joe Gomez dan Virgil van Dijk yang biasanya kokoh sebagai palang pintu, di laga kontra Villa malah bermain layaknya pesepakbola amatir tanpa pelapis memadai di hadapan Jack Grealish dan Ollie Watkins. Secara keseluruhan, anak asuhan Klopp dibikin tak berdaya oleh kubu besutan Dean Smith pada fase menyerang, bertahan maupun transisi.
Kebijakan Transfer
Sayangnya, lubang-lubang yang terlihat di tubuh Liverpool tak membuat Klopp jor-joran di bursa transfer. Pada musim panas ini saja, ia cuma mendatangkan tiga pemain yakni Kostas Tsimikas, Thiago Alcantara, dan Diogo Jota. Masih terlihat efisiensi dari aktivitas The Reds.
Meski demikian, kita juga bisa memahami bahwa masifnya kocek yang dikeluarkan tak selalu sebanding dengan performa di lapangan. Klopp tampak ogah membuang-buang uang hanya untuk memenuhi gengsi belaka seperti yang acap dilakukan Chelsea.
Saya juga punya pandangan tersendiri mengenai manuver transfer yang dilakukan Klopp. Sejatinya, ia tidak pandai, tetapi cerdik. Ketimbang merekrut pemain jadi berharga fantastis, ia lebih suka memoles mereka yang setengah jadi berbanderol murah.
Saat gagal membawa Jamal Lewis ke Stadion Anfield, buruan Liverpool berakhir pada sosok Tsimikas. Klopp tidak pernah alergi dengan pemain bintang. Namun melihat gayanya dalam belanja pemain, kita bisa menarik satu garis lurus bahwa ia menyesuaikan kekosongan dalam strateginya.
Dinamika di kancah sepakbola tentu memunculkan berbagai kontra strategi terhadap gaya main yang jadi ciri khas Klopp bersama Liverpool. Maka tak heran bila sang pelatih terus mencari ramuan terbaik agar klubnya bisa membawa pulang hasil positif secara konsisten.
Kekalahan telak dari Villa sepatutnya dijadikan pelajaran penting guna berbenah tanpa perlu merasa khawatir berlebihan. Pasalnya, musim 2020/2021 masih sangat panjang. Semuanya kembali kepada Klopp dan Liverpool sendiri untuk mengoptimalkan waktu yang ada supaya tak tergelincir lagi.
Akan tetapi, sekali saja gagal melakukannya, maka peluang mempertahankan gelar juara Liga Primer Inggris atau merebut trofi di ajang lain bakal mengecil dengan sendirinya.