Swiss konon adalah negara dengan anugerah alam yang sangat memesona. Begitu cerita dari ibu saya dan dari foto masa kecil yang saya miliki.
Bahkan, pemandangan alam yang menakjubkan itulah yang menjadi andalan Swiss dalam bidang pariwisata.
Pegunungan Alpen dan beberapa danau yang cantik adalah salah sedikit destinasi wisata yang layak dikunjungi.
Saya, sih, tidak terlalu ingat meskipun pernah lahir di sana. Ya, karena terkadang memori masa kecil lebih cepat hilang daripada memori mantan.
Selain itu, Swiss juga dikenal sebagai produsen cokelat yang enak walau negara ini tak memiliki perkebunan cokelat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa cokelat Swiss begitu enak dan disukai banyak orang. Kepiawaian mereka mengolah buah kakao yang diekspor dari negara-negara Afrika dan bahkan Indonesia memang tiada duanya.
Swiss sebagaimana negara lainnya di dunia, juga memiliki tim kesebelasan sepakbola yang merepresentasikan negara tercinta.
Nama pesepakbola tenar pun muncul dari negeri yang memiliki beberapa bahasa resmi yaitu bahasa Jerman, Prancis, dan Italia itu.
Salah satu yang selalu lekat di benak saya adalah nama Alexander Frei. Pemain yang pernah merumput di Stadion Signal Iduna Park berbaju Borussia Dortmund ini bahkan masih menjadi legenda di La Nati dengan torehan gol terbanyak sepanjang masa yakni 42 gol.
Rekor ini sepertinya akan lama terpecahkan karena Xherdan Shaqiri dan Haris Seferovic harus berjuang mencetak banyak gol untuk bisa rekor menyamai Frei.
Bicara lebih jauh tentang sepakbola, perjalanan Swiss pada ajang mayor seperti Piala Dunia dan Piala Eropa memang lebih banyak berakhir di babak grup.
Pencapaian terbaik mereka sebelum gelaran Piala Eropa 2020 (yang diselenggarakan tahun 2021), adalah perempat finalis di ajang Piala Dunia 1934, Piala Dunia 1938, dan yang terakhir adalah Piala Dunia 1954 saat mereka menjadi tuan rumah.
Akan tetapi, makin meningkatnya kualitas sepakbola Swiss secara keseluruhan dalam kurun beberapa tahun terakhir membuat ekspektasi publik terhadap La Nati kian meninggi.
Tidak dengan menjuarai sebuah turnamen, tetapi setidaknya mereka tak lekas rontok pada babak-babak awal.
Saat mentas di Piala Eropa 2020 lalu, Swiss datang dengan skuad yang cukup kukuh. Selain Shaqiri dan Seferovic, ada Yann Sommer di bawah mistar dan Granit Xhaka di sektor tengah.
Sebelum turnamen berlangsung, Vladimir Petkovic selaku pelatih tim mengungkapkan bahwa ia tidak suka membuat target. Namun kali ini Petkovic harus melakukannya.
Tergabung di Grup A bersama Italia, Turki, dan Wales, Petkovic ingin anak asuhnya lolos ke babak 16 besar.
Melihat skuad Swiss dan calon lawan di penyisihan grup, target itu terbilang realistis.
Kekalahan dari Italia ditebus La Nati dengan bermain imbang saat bertemu Wales dan menang atas Turki. Tiket ke 16 besar pun sukses digenggam.
Lolos ke fase gugur jelas menyenangkan untuk mereka. Sayangnya, di babak 16 besar mereka harus bersua juara Piala Dunia 2018 yang dihuni para pemain elite, Prancis.
Situasi tersebut tak menguntungkan buat Swiss. Lagipula, siapa yang berani menjagokan mereka bakal menumpas perlawanan Les Bleus?
Akan tetapi, sepakbola memang penuh kejutan. Meski Karim Benzema, Antoine Griezmann, dan Paul Pogba bermain untuk Prancis, Shaqiri dan kawan-kawan tak gentar.
Tertinggal 1-3 sampai waktu normal tersisa 15 menit gak bikin Swiss keder. Mereka justru kesetanan dan terus menekan Prancis.
Hasilnya? Dua gol sukses dibuat oleh Seferovic dan Mario Gavranovic sehingga skor menjadi 3-3 sampai wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya babak kedua.
Laga kemudian berlanjut ke babak perpanjangan waktu, yang sayangnya tidak menghasilkan gol, dan adu penalti.
Pada fase yang disebut terakhir itulah, keajaiban tercipta. Swiss berhasil menumbangkan Prancis dan lolos ke babak perempat final.
Kendati demikian, jalan terjal semakin terasa bagi anak asuh Petkovic karena di babak tersebut, mereka sudah ditunggu kampiun Piala Eropa 1964, 2008 dan 2012, Spanyol.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan para pendukung Swiss sepanjang Piala Eropa 2020 lalu.
Tiga negara top Eropa mereka hadapi sejak fase grup sampai perempat final. Sungguh luar biasa.
Tenaga yang diforsir saat melawan Prancis bikin Swiss agak keteteran kala berjumpa Spanyol.
Kapten andalan mereka tidak dapat bermain. Bahkan belum sepuluh menit pertandingan berjalan, La Nati harus tertinggal karena gol bunuh diri.
Tidak sampai di situ, beberapa menit kemudian, penyerang andalan mereka, Breel Embolo harus diganti karena cedera.
Sorak sorai pendukung Swiss sempat bergemuruh ketika Shaqiri sempat menyamakan kedudukan. Namun tidak berselang lama, kartu merah melayang untuk Remo Freuler.
Bermain dengan 10 orang menghadapi tim langganan juara tentu tidak mudah. Untungnya, Swiss memiliki Sommer. Aksi gemilangnya membuat La Furia Roja harus rela bertarung sampai adu penalti.
Pada akhirnya, Swiss tidak mampu melanjutkan kegemilangan mereka. Perjalanan Shaqiri dan kolega terhenti di tangan perempat final.
Meski demikian, banyak pihak yang mengangkat topi untuk Swiss. Bahkan pemain terbaik dalam pertandingan tersebut, Unai Simon, berujar bahwa seharusnya Sommer yang menjadi man of the match.
Saya teringat ucapan Oscar Wilde, “Experience is the hardest kind of teacher. It gives you the test first and the lesson afterwards”.
Pencapaian di Piala Eropa 2020 lalu menjadi tambahan pengalaman bagi Swiss untuk bisa lolos ke fase yang lebih jauh di ajang-ajang mayor selanjutnya walau tak lagi ditangani Petkovic yang menerima pinangan klub Prancis, Girondins de Bordeaux.
Kelak, dunia tak lagi mengenal mereka karena pegunungan bersaljunya yang indah atau cokelatnya yang lezat, tetapi juga sepakbolanya yang kian melesat. Tetap semangat La Nati.
Gott im hehren vatterland.