Di Indonesia era 1990-an, kita dijejali banyak tayangan sepakbola dari liga-liga luar negeri seperti Premier League dan Serie A. Maka wajar bila kita akrab dengan nama-nama klub seperti Arsenal, Chelsea, Liverpool, dan Manchester United di Inggris atau AC Milan, Internazionale Milano, dan Juventus di Italia.
Klub-klub itu pula yang kemudian menarik atensi dan membuat kita sukarela mendukungnya. Di lingkungan saya sendiri, ada banyak yang menggilai Premier League dan Manchester United.
Keberhasilan The Red Devils memenangkan banyak gelar di era tersebut, termasuk raihan Treble Winners pada musim 1998/1998 menjadi alasan utama untuk jatuh cinta. Secara otomatis, banyak yang terhipnotis oleh pesona klub yang bermarkas di Stadion Old Trafford ini.
Mesti diakui, gelar demi gelar yang sanggup dicomot anak asuh Sir Alex Ferguson pada era 1990-an membuat nama Manchester United begitu populer. Apalagi skuad mereka ketika itu juga dihuni pesepakbola kelas wahid macam David Beckham, Eric Cantona, sampai Peter Schmeichel.
Saya sendiri jadi salah satu orang yang terpikat pada kedigdayaan The Red Devils. Melihat prestasi mereka saya begitu bangga. Melihat poster Beckham, saya bak melihat diri sendiri setiap kali bercermin. Gaya rambutnya beberapa kali coba saya ikuti.
Manchester United seperti ada di dalam nadi saya. Namun segalanya berubah gara-gara ulah kakak sepupu yang saat itu meminta saya membelikannya kartu bergambar pemain sepakbola.
“Belikan kartu gambar pemain dari klub dengan seragam warna merah, tetapi tulisan sponsornya Carlsberg. Bukan Sharp”, seperti itu pesannya kepada saya.
Dalam hati, saya sempat bertanya-tanya.
“Bukannya yang hebat itu pemain dari klub dengan baju bersponsor Sharp, ya?”
Alhasil, saya pun menurutinya. Saya mencarikan kartu gambar pemain sepakbola yang baju warna merahnya dibubuhi tulisan Carlsberg, bukan Sharp. Usut punya usut, klub yang dimaksud adalah Liverpool, rival bebuyutan Manchester United di Inggris sekaligus Eropa.
Akan tetapi, momen itu juga bisa dikatakan sebagai titik balik untuk saya. Superioritas Manchester United dengan berbagai gelarnya memang bikin siapa saja rela menjadi pengikut setia The Red Devils. Namun perasaan anti-mainstream yang ada di dada saya, pada akhirnya bikin saya pelan-pelan berpaling.
Ke mana? Tentu saja Liverpool!
Prestasi menjulang Manchester United ketika itu sempat bikin saya berpikir bahwa merekalah tim nomor satu di Inggris. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, gelar liga mereka masih kalah dari Liverpool. Pun dengan capaian di kejuaraan antarklub Benua Biru, The Red Devils masih tertinggal dari The Reds.
Keadaan itu yang sempat saya bangga-banggakan setelah mengikrarkan diri sebagai pendukung Liverpool. Namun sepanjang era Ferguson, Manchester United memang dominan dan akhirnya sukses menyalip torehan gelar liga Liverpool usai merengkuh titel ke-20 pada musim 2012/2013.
Jadi fans The Reds rupanya berat sekali. Hal ini dipengaruhi performa tim yang inkonsisten dan jarang memeluk trofi sepanjang era 2000-an hingga 2010-an.
Torehan Treble Winners pada musim 2000/2001 (Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA) dianggap biasa saja oleh publik. Satu-satunya yang bisa dibanggakan mungkin cuma titel Liga Champions 2004/2005 yang diraih lewat cara dramatis di Istanbul.
Barulah di pengujung era 2010-an, Liverpool menampakkan lagi kilaunya setelah kerap menjadi pemberi harapan palsu.
Kali ini di bawah asuhan Jurgen Klopp. Gelar demi gelar disabet. Mulai dari Liga Champions, Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, hingga Premier League.
Perasaan bangga dan gembira sebagai suporter The Reds pun membuncah. Menambatkan hati kepada mereka walau dahulu sempat mendukung sang pesaing rupanya bukan sebuah kesalahan.
Sayangnya, di awal era 2020-an ini, Liverpool kudu mengakhiri musim tanpa trofi. Peluang mempertahankan gelar liga nyaris nol. Begitu juga dengan ajang lain yang diikuti seperti Piala FA, Piala Liga, dan Liga Champions. The Reds sudah keburu rontok sebelum babak final.
Apa yang saya alami mungkin terjadi juga pada orang lain. Mereka yang awalnya menggemari Liverpool, berbelok arah menjadi pendukung Manchester United. Para penggemar Inter lantas bersalin rupa jadi suporter Milan karena berbagai alasan.
Toh, wakil presiden Indonesia, K. H. Ma’ruf Amin, dalam sebuah wawancara pernah mengaku bahwa dulu mendukung Manchester United, tetapi sekarang membelot ke Liverpool. Hehehe.
Satu yang pasti, setiap orang memiliki alasannya masing-masing sehingga mencintai sebuah klub. Layaknya memasak mie instan, buat menjadi fans pun ada prosesnya. Jangan sampai perbedaan yang ada bikin kita memutuskan tali pertemanan atau bahkan persaudaraan.
Saling meledek adalah sebuah hal yang wajar selama masih ada dalam batas kewajaran. Tetap gunakan akal sehat dalam mendukung tim kesayangan. Fanatisme berlebih takkan mendatangkan benefit apapun untuk kita.