Dalam perjalanan menuju sholat Jumat yang diharuskan menerobos makam tua demi mempersingkat waktu tempuh, salah seeorang teman saya yang juga wartawan sepakbola sempat mengatakan bahwa ada kebosanan tingkat dewa dalam pemberitaan sepakbola di negara kita.
Pemberitaannya hanya mengenai politik PSSI, kegagalan timnas, kerusuhan suporter hingga cerita klub juara yang malah sering kalah. Menurutnya, berita sepakbola tidak melulu tentang menang atau kalah. Namun sesekali sepakbola juga bisa menghasilkan informasi yang membuka cakrawala baru pembacanya. Sesuatu yang menurut teman saya susah ditemui.
Saya pribadi tergugah dengan kalimat tersebut, lalu berfikir sejenak dan tersadar bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Ribuan berita sepakbola yang lalu-lalang di media daring setiap harinya, terkesan garing karena selalu menggunakan formula yang itu-itu saja. Belum lagi ditambah penggunaan judul clickbait agar pembaca terperangkap ke lubang aktivitas “terpaksa” membaca.
Kebosanan akan pola yang sama dari membuat saya dan (mungkin banyak juga yang lain) beralih untuk membaca caption garing nan lucu yang tersaji dengan mewah di media sosial.
Media sosial khususnya Twitter yang mempunyai karakteristik permainan kata menjadi idola tersendiri untuk mencari tahu informasi serta isu apa yang berkembang.
Isu yang disertai tanda pagar seperti #OleOut akan muncul lebih dahulu di media sosial ketimbang pemberitaan media daring yang tertinggal satu langkah. Ada sisi spontanitas yang menjadikan media sosial sebagai kanal yang dicari untuk melihat informasi terbaru sepakbola.
Nyaris seluruh peserta Liga 1 2019 sudah melek media sosial. Ada yang ditahap masih ngotak-ngatik Facebook hingga sudah di level kaliber mencari uang lewat kanal Youtube.
Lewat data yang saya himpun dari hasil penelitian pribadi bahwa media sosial sudah menjadi senjata utama klub sepakbola kita untuk menarik perhatian suporter.
Lewat tabel yang saya sajikan dapat dicermati bahwa nyaris seluruh klub di Liga 1 sudah mempunyai akun Facebook, Twitter, dan Instagram. Hanya dua klub saja yang ternyata tidak bermain di salah satu dari ketiga media sosial media yang ada.
Kubu pertama adalah Persipura Jayapura yang memilih untuk tidak menggunakan akun Facebook serta Perseru Badak Lampung yang no comment di Twitter.
Data olahan penulis mengenai jumlah followers sosial media klub sepakbola Indonesia peserta Liga 1 tahun 2019, per 1 September 2019.
Mari kita telaah lagi dari data tabel yang disajikan per tanggal 1 September 2019, tepatnya ketika paruh musim mulai berjalan. Jumlah pengikut media sosial terbanyak masih dipegang oleh Persib Bandung.
Maung Bandung seolah memenangi seluruh kompetisi sebab pengikut mereka di tiga platform tersebut jumlahnya teramat masif. Bahkan selisih jumlah pengikut Persib di media sosial dengan sang runner up, Persija Jakarta, mencapai 10 juta. Fantastis!
Hebatnya, pertumbuhan total pengikut akun media sosial Persib selama 3 bulan, terhitung dari awal kompetisi, mengalami signifikansi. Entah menggunakan sihir apa, tapi jumlah pengikut yang teramat masif akan berguna untuk beberapa hal.
Menghitung suporter sungguhan di dunia nyata akan lebih mudah prosesnya. Cukup tanya aliansi suporter maka data akan tersaji. Sayangnya, menghitung suporter (lebih tepatnya pengikut) di dunia maya tergolong rumit karena jumlah pengikut yang ada misalnya berjumlah 16 juta pengikut, bukan berarti 16 juta orang pula yang terdata.
Toh, bisa saja ada pengguna media sosial yang menggunakan akun palsu seperti satu orang, tapi mempunyai sepuluh akun yang berbeda. Apapun itu, mempunyai banyak pengikut di media sosial selalu ada untung ruginya.
Keuntungan yang paling mungkin didapatkan tentu saja branding klub yang meluas. Satu informasi bisa tersebar karena didukung oleh banyaknya orang yang ikut menyebarluaskan suatu informasi.
Asiknya lagi, para sponsor juga senang mempertontonkan produknya karena melihat jumlah pengakses yang banyak. Terlebih, para penggemar sepakbola memiliki loyalitas yang tinggi sehingga memudahkan proses penyebaran informasi dan penjualan suatu produk.
Meski begitu, tak ada hal yang sempurna di dunia ini. Memiliki banyak pengikut juga mempersulit proses interaksi klub lewat para admin media sosial. Para pengikut tentu meminta adanya kecepatan dan kebenaran informasi yang mereka terima serta balasan jika mereka menginginkan sesuatu. Membalas pertanyaan para pengikut di media sosial tentu saja tidak mudah, diperlukan jawaban yang valid dan matang sehingga tidak diputarbalikkan menjadi senjata makan tuan.
Saya sempat berdiskusi dengan beberapa admin media sosial kesebelasan sepakbola, dan ketakutan terbesar mereka terjadi manakala tim sedang dalam tren negatif atau sering kalah.
Ada istilah “tambal ban”, di mana satu jawaban yang diberikan akan melahirkan seribu pertanyaan lain dari platform berbeda. Para admin pun tidak bisa sembarangan membalas pertanyaan atau komentar di media sosial karena blunder yang mereka lakukan dapat mencoreng nama baik klub.
Disadari atau tidak, problematika di atas sudah berlangsung bertahun-tahun. Ketakutan untuk membalas komentar warganet, mendorong beberapa klub buat mengambil tindakan “jangan dibalas”.
Hal ini membuat kerja admin hanya searah yakni sekadar mengunggah informasi dari pihak klub ke suporternya, tanpa ada komunikasi sebaliknya. Cukup efektif untuk membendung amarah, namun kurang efisien buat menjalin hubungan baik dengan para pengikut di media sosial.
Ada kalanya, kita sebagai suporter acap memaki admin saat tim kesayangan kalah. Padahal, para admin hanya menjalankan tugasnya, tidak lebih. Namun perlu juga disadari pula kalau Anda sudah menjadi pengikut dari media sosial sebuah kesebelasan, maka secara tidak langsung Anda turut membantu keberlangsungan hidup klub tersebut.