Entah kita sadari atau tidak sebagai penikmat sepakbola, bullying adalah suatu tindakan tercela yang amat sering kita lakukan. Menghina kesebelasan lain dan suporternya, bahkan pemain atau pelatih dari tim kesayangan bak sebuah kebanggaan tersendiri sekaligus cara mempertegas identitas.
Tatkala salah pun, kita masih berusaha mengelak dengan beralasan bahwa kata-kata yang menyinggung fisik merupakan candaan belaka. Sementara hinaan secara personal terkait sifat, penampilan dan kehidupan keluarga dari mereka yang bersinggungan dengan sepakbola adalah dark jokes.
Bullying atau perundungan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kegiatan yang mampu melukai seseorang baik bersifat fisik, verbal hingga psikis. Dalam ranah yang lebih luas lagi, bullying dapat dilakukan melalui ranah siber atau yang sering kita sebut cyberbullying.
Cyberbullying adalah kegiatan yang paling sering dilakukan saat ini karena tidak pernah terbatas pada jarak dan dapat dilakukan kapan saja. Apalagi media sosial menyediakan ruang untuk anonimitas.
Dipenuhi rasa sebal akibat performa tim yang buruk, kita sering dengan sadar mencaci performa pemain atau pelatih, terlebih kepada mereka yang juga aktif di media sosial. Menganggap mereka sebagai orang-orang tidak kompeten dan bodoh.
Mungkin kita akan membela diri dengan perkataan, “Memang benar, kan. Performanya sedang jelek. Mengaku saja. Cacian kami adalah bentuk kepedulian dan cinta.”
Apakah itu memang risiko sebagai pemain, pelatih, pengurus maupun suporter sepakbola?
Mari kita sedikit flashback terhadap tindakan semacam ini beberapa puluh tahun silam. Ingatkah kamu dengan sosok Moacir Barbosa? Pria setinggi 174 sentimeter itu adalah kiper tim nasional Brasil pada Piala Dunia 1950. Turnamen yang kemudian dijuarai oleh Uruguay.
Bagi Brasil, kejuaraan tersebut adalah noda paling memalukan dalam sejarah sepakbola mereka. Bagaimana tidak, berlaga di negeri sendiri dengan dukungan penuh rakyatnya yang memang menggilai sepakbola, Selecao justru gagal menjadi kampiun.
Melenggang ke final untuk berjumpa Uruguay di Stadion Maracana yang dipadati nyaris 200 ribu pasang mata, Brasil keok dengan skor 1-2 walau hanya butuh kedudukan akhir seri guna menahbiskan diri buat menjadi juara. Tragedi itu sendiri lantas dikenang sebagai Maracanazo alias Bencana Maracana.
Barbosa lantas dikambinghitamkan oleh publik Brasil karena kegagalannya mengantisipasi gol Alcides Ghiggia yang membuat Uruguay unggul. Terasa aneh, Barbosa seolah jadi satu-satunya pemain yang dianggap paling bersalah sejak hari itu.
Segala cacian dan perlakuan buruk yang ia terima disebut publik sebagai cara agar sepakbola Brasil kembali Berjaya. Di negara yang menganggap sepakbola sebagai suatu hal yang suci, Barbosa tak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan dosa yang tidak boleh lagi terlihat.
Selain hinaan tanpa henti, federasi sepakbola Brasil seperti mengekang Barbosa sehingga karier sepakbolanya tak ciamik dan kudu disudahi lebih cepat. Kendati demikian, publik Brasil tetap melakukan berbagai tindakan tak manusiawi kepadanya.
Hingga akhir hayatnya, publik Brasil menganggap Barbosa sebagai dosa dan segala hal yang bersifat melawan dosa merupakan hal yang benar menurut mereka. Namun, apakah ini adil baginya? Jelas tidak!
“Aku tidak bersalah. Sepakbola dimainkan secara tim dan kami bersebelas kala itu. Namun sial, hanya aku yang dikambinghitamkan. Memang hukuman penjara terlama di Brasil berdurasi 30 tahun. Namun khusus kepadaku, untuk kesalahan yang tak sepatutnya aku tanggung sendirian, aku dipaksa menjalani hukuman selama 50 tahun.”
Ratapan ini seringkali disampaikan Barbosa sampai akhir hayatnya pada 7 April 2000 silam. Namanya tidak akan lagi dikenal karena tidak ditemukan rujukan permintaan maaf kepada Barbosa dan keluarganya. Bahkan di saat kiper legendaris Brasil era 2000-an, Nelson Dida, mengajak publik Brasil untuk memaafkan Barbosa.
Barbosa adalah contoh korban nyata perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan publik karena dianggap gagal berperan sebagai kiper yang baik hanya karena satu momen tertentu. Padahal sebelumnya, ia dipuja dan menjadi kiper utama yang dibanggakan.
Kala itu, perundungan tidak dilakukan melalui kolom komentar media sosial. Maka, Barbosa harus menahan diri pada saaat dicaci di muka umum atau bahkan dilarang melakukan kegiatan sepakbola kembali. Tentu sangat menyakitkan dan pahitnya, harus ia tanggung sampai akhir hayatnya.
Apakah kasus bullying dalam sepakbola hanya terjadi kepada Barbosa? Tentu tidak. Dengan segala kemudahan teknologi pada masa kini, perundungan jadi semakin mudah dilakukan. Perlakuan rasis di kolom komentar masih sering ditemukan. Tidak hanya itu, kehidupan pribadi pun sering menjadi sasaran hinaan.
Akibatnya banyak pemain sepakbola yang memilih untuk tidak memiliki akun media sosial karena tekanannya sungguh berat. Mario Balotelli dan kawan-kawan harus menahan diri atas spekulasi yang selalu berkembang hingga menimbulkan perilaku tidak etis terhadap mereka.
Tindak perundungan pun diperparah dengan hadirnya media pemberitaan yang menguatkan spekulasi atau tuduhan. Padahal, validitas hal tersebut masih dipenuhi tanda tanya, tapi publik begitu mudah terpancing. Ujungnya, mereka yang dirundung lebih memilih untuk diam dan tak menanggapi.
Kita mungkin menjadi bagian di dalam lingkaran bullying terhadap pemain, pelatih, pengurus bahkan suporter sepakbola. Bagi kita, mereka seharusnya jadi pihak yang tidak boleh memiliki cacat, sempurna. Mereka harus selalu gemilang dengan kinerja menawan atau kreativitas luar biasa.
Mereka tidak boleh menyampaikan kesedihan sebab mereka bagian dari identitas tim. Padahal dengan segala persaingan serta rivalitas yang berkelindan di kancah sepakbola, mereka adalah kubu yang paling berpotensi untuk terluka dan kesepian.
Mereka bukan lambang superioritas. Mereka adalah lambang kuatnya perlawanan dalam persaingan yang tidak pernah berakhir. Alangkah baiknya untuk menyemangati dibandingkan menghina mereka. Kalaupun ada yang tak beres, sampaikanlah kritik, bukan cacian tak tahu adat.