Pandemi di Belanda dan Keberuntungan Twente

Pandemi Corona telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan manusia. Kini semua manusia mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rehat dari kebiasaan lama atau bahkan meninggalkannya dan beralih ke pola hidup baru.

Dampaknya juga dirasakan betul dalam ranah persepakbolaan dunia. Baik itu pemain, supporter, manajemen tim, perangkat pertandingan, operator liga, sampai pemegang hak siar, semua merasakan imbasnya. Hampir tidak ada lagi pertandingan sepakbola yang bisa dinikmati seperti biasa.

Di Eropa misalnya. Banyak liga-liga papan atas berhenti tanding sejak bulan Maret. Semenjak Eropa mulai terjangkit pandemi, dengan Italia dan Spanyol berada di garis terdepan dan merembet ke negara sekitarnya. Sebuah pukulan telak bagi mercusuar tontonan sepakbola dunia.

Biasanya pertanding di bulan Maret-April selalu bergairah dengan perburuan gelar juara. Saat-saat paling menegangkan dan dramatis karena berada di penghujung akhir liga. Partai-partai krusial yang biasanya akan menentukan siapa tim juara. Sekaligus siapa saja calon penghuni kasta kedua musim berikutnya.

Semua sempat benar-benar tiada. Eropa senyap, lapangan latihan kosong dan televisi hanya menyajikan siaran ulang pertandingan sepakbola. Tidak lagi terdengar gemuruh dukungan dari kursi stadion di akhir pekan.

Memasuki bulan Mei mulai berembus desas-desus nasib liga-liga Eropa, seiring mulai turunnya pertumbuhan kasus terdampak Corona. Beberapa opsi mengemuka dengan beragam sudut pandang. Salah satu pilihannya adalah liga dihentikan atau dilanjutkan. Masing-masing pilihan punya risiko tersendiri.

Dihentikan misalnya, bagaimana dengan penentuan juara liga, bagaimana dengan perjuangan tim selama hampir satu musim, bagaimana penentuan degradasi promosi, dan seterusnya.

Begitu pula ketika dilanjutkan, kapan akan dimulai, bagaimana regulasinya, terlebih bagaimana dengan riwayat kesehatan nantinya. Dilematis memang, keinginan mengakhiri satu musim kompetisi harus berbenturan dengan perkara kesehatan.

Beberapa opsi tersebut membuat federasi masing-masing negara mengambil kebijakan beragam. Ketika naskah ini ditulis, Jerman sudah kembali memutar kompetisi liga, sedangkan Spanyol, Inggris, dan Italia diberitakan akan segera menyusul. Ada pula yang sudah menghentikan liga, seperti Perancis dan Belanda.

Banyak narasi-narasi kembalinya pemutaran roda kompetisi dikaitkan dengan penentuan juara liga. Seperti persaingan Juventus dan Lazio menuju capolista Serie A, ataupun pelepas dahaga juara liga yang dinantikan para Liverpudlian. Jarang ada yang mengaitkan dengan kondisi klub-klub di zona rawan degradasi.

Banyak klub papan bawah khawatir akan nasibnya ketika kompetisi dilanjutkan atau tidak. Perjuangan menghindari zona degradasi harus dilanjutkan klub peserta dari liga yang melanjutkan kompetisi.

Sedangkan klub peserta liga terhenti harus mengikuti keputusan federasi masing-masing negara. Nasib paling naas tentu dialami dua klub penghuni papan terbawah Ligue 1 Perancis, Amiens dan Toulouse.

Walau kompetisi dinyatakan berakhir, penyerahan gelar juara kepada Paris Saint-Germain dibarengi penyematan klub terdegradasi bagi keduanya. Berbeda dengan Belanda, di sana mereka menghentikan liga sekaligus meniadakan juara dan klub terdegradasi.

BACA JUGA:  Perspa: Kebanggaan Pacitan yang Terlupakan
Klasemen Eredivisie Hingga Pekan 26 (sumber: fctwente.nl)

Penghentian aktivitas sepakbola di Belanda, termasuk kompetisi kasta teratas mereka musim ini, membawa berkah bagi salah satu klub promosi, Twente.

Juara Eredivisie satu dekade silam tersebut sedang terseok-seok di papan bawah klasemen. Penghentian liga baik disertai atau tanpa degradasi memang akan menyelamatkan mereka. Namun, andai Eredivisie dilanjutkan, kira-kira bagaimana nasibnya?

Sampai pekan ke-26, mereka masih berada di zona aman, tetapi ingat pertandingan masih menyisakan delapan pertandingan lagi. Klub berjuluk De Tukkers itu hanya berselisih satu poin dari peringkat 16 yang seharusnya wajib melakoni play off.

Bersaing ketat dengan tiga tim lain untuk menghindari posisi tersebut, peringkat 13 sampai 16 hanya berselisih dua poin. Dua tim lain di zona merah juga siap memberi kejutan.

Jika melihat hasil beberapa pertandingan terkahir, Twente menjadi tim yang paling rawan. Selalu kalah dalam tiga pertandingan terakhir, ketika tim papan bawah lain minimal bisa mendulang poin.

Peringkatnya pun konsisten untuk terus turun menuju zona merah. Jika liga terus dilanjutkan bukan tidak mungkin mereka terperosok ke lubang yang membuat mereka terdegradasi dua tahun silam.

Awalnya sebagai tim promosi musim 2019/2020 mereka memulai persiapan dengan baik. Mendatangkan beberapa pemain sesuai kebutuhan dengan status pinjaman dan kontrak permanen. Paling mengejutkan tentu kedatangan pemain muda asal Gamba Osaka, Keito Nakamura. Gelandang serang potensial ini merupakan tulang punggung masa depan tim nasional Jepang.

Twente sempat menggebrak di awal liga, tidak terkalahkan dalam enam pertandingan. Berbekal tiga kali menang dan tiga kali seri, bahkan mampu menahan imbang tim kuat PSV Eindhoven. Sebelum akhirnya loyo dengan empat kali kekalahan beruntun dan terdepak pula dari kompetisi Piala Liga Belanda.

Puncaknya, mereka tidak pernah merasakan kemenangan dalam tujuh pertandingan beruntun, dari pekan 14 hingga 21. Posisinya di klasemen pun semakin melorot sampai peringkat 14 di akhir pekan ke-26.

Penulis sempat berbincang dengan beberapa pendukung tim yang bermarkas di De Grolsch Veste tersebut dalam beberapa kesempatan sebelum pandemi menyerang. Hanya sedikit dari mereka yang optimis, sisanya pesimis bahwa klub akan bertahan di Eredivisie.

Kata mereka, tahun ini sulit untuk terus memberikan dukungan. Persis seperti dua tahun lalu ketika manajemen tim melakukan blunder dan berimbas ke permainan di lapangan.

Semarak dukungan di berbagai penjuru kota pun semakin berkurang. Berbeda dari awal musim atau ketika klub asal Enschede itu dipastikan promosi akhir musim sebelumnya.

Sampai akhirnya datang sebuah pengumuman resmi dari pemerintah Belanda terkait pandemi tersebut. Pada 12 Maret 2020, pemerintah Belanda menghentikan sementara berbagai kegiatan olahraga yang memungkinkan berkumpulnya massa dalam jumlah besar sampai 6 April.

Tak hanya sepakbola, tetapi juga acara olahraga lain seperti perlombaan lari maraton di berbagai kota juga turut dilarang. Pembatasan itu dilakukan setelah Belanda mulai memasuki masa penambahan kasus Corona yang cukup signifikan. Kebijakan tersebut dibarengi dengan penutupan berbagai pertokoan, tempat makan, perkantoran, hingga institusi akademik.

BACA JUGA:  Kala Fiorentina dan Batistuta Mencuri Hati Kita

Awal bulan April, UEFA mengeluarkan keputusan, semua kompetisi Eropa harus menyelesaikan liganya sebelum 3 Agustus. Dengan perhitungan bahwa liga harus dilanjutkan kembali mulai awal Juni. Atau jika tidak memungkinkan, liga harus dianggap selesai.

Saat itu, kondisi Belanda sendiri masih belum stabil dengan semakin bertambahnya pasien terdampak dan meninggal. Status darurat pandemi yang berlaku sampai 6 April diperpanjang hingga 28 April.

Berbagai pembaharuan kebijakan ini terus dikeluarkan pemerintah Belanda demi mengantisipasi meluasnya penyebaran virus Corona. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, akhirnya mengambil kebijakan keras pada tanggal 21 April 2020. Ia engeluarkan keputusan untuk meniadakan semua event sampai 1 September, termasuk pertandingan sepakbola.

Tiga hari kemudian, KNVB selaku pemegang otoritas tertinggi sepakbola Belanda pun bersikap, tidak melanjutkan kompetisi musim 2019/2020. Sekaligus memutuskan tidak ada juara liga dan meniadakan degradasi.

Sebuah pukulan telak bagi penikmat sepakbola di negara penganut Total Football. Eredivisie yang sudah berjalan hingga 75% dari total pertandingan ini harus terhenti. Tak ada lagi gegap gempita pertandingan sampai awal musim depan.

Di sisi lain, kabar buruk ini tentu disikapi agak berbeda oleh pendukung Twente. Diam-diam mereka bisa bernapas lega setelah hampir satu musim dirundung rasa khawatir akan penampilan klub pujaannya. Walau hasil tersebut didapat berkat keberuntungan dari keputusan yang tidak populer. Paling tidak mereka bisa berharap bahwa klub akan berbenah menyongsong musim baru.

Hal itu pula yang dilakukan manajemen Twente, keberuntungan harus diikuti dengan pembenahan. Kepala pelatih Gonzalo Garcia serta para asistennya tidak lagi mendapat perpanjangan kontrak dan harus angkat kaki lebih dini. Begitu pula dengan nasib direktur teknik, Ted van Leeuwen.

Manajemen tim juga mengembalikan pemain-pemain pinjaman ke klub asal mereka. Bisa dipastikan akan banyak muka baru untuk mengisi berbagai posisi lowong di tim ketika kompetisi kembali digelar.

Twente kembali berbenah, mencoba menyusun ulang pondasi tim agar bisa konsisten sepanjang musim. Pengalaman musim 2019/2020 membuat mereka belajar untuk tidak lengah, tidak terlalu larut dengan hasil-hasil memuaskan di awal liga.

Sebagai mantan juara tentu mereka ingin lebih lama berada di kancah tertinggi Liga Belanda. Sambil sesekali mengintip peluang kembali bersaing merebut juara atau minimal menggapai satu tiket ke kompetisi antar klub Eropa.

Mereka tidak bisa lagi mengandalkan keberuntungan, pandemi tidak akan selalu datang kala mereka terpuruk. Semangat juang De Tukkers harus kembali diperlihatkan seperti kala mereka kembali ke kasta tertinggi, Twente Komt Eraan!

Komentar
Bapak rumah tangga yang bermukim sementara di Enschede, Belanda. Bisa diajak ngobrol untuk mengisi waktu luang di akun Twitter @AdityoNugroho30.