Desas-desus bergulirnya kompetisi sepakbola di Indonesia menemui titik terang. Namun sebelum Liga 1 digulirkan kembali, ada turnamen pra-musim bertajuk Piala Menpora 2021 yang dihelat terlebih dahulu.
Tidak hanya berfungsi sebagai gelanggang tempur untuk memanaskan mesin yang lama terhenti, Piala Menpora juga menjadi tolok ukur bagaimana kesiapan semua pihak, mulai dari federasi, operator, klub, sampai suporter, untuk ‘beraksi’ di tengah pandemi.
Khusus bagi suporter, penyelenggara Piala Menpora telah mengambil keputusan bahwa seluruh laga akan dihelat tanpa penonton.
Oleh karena itu, mereka meluncurkan kampanye dengan tajuk Nonton di Rumah Saja.
Jika bergulir, Piala Menpora bak oase di tengah padang pasir untuk persepakbolaan kita.
Walau efeknya mungkin tak semasif Liga 1, para pemain setidaknya bisa membuat dapurnya tetap mengeluarkan asap mengepul. Sementara para suporter dapat melihat lagi aksi-aksi dari klub idolanya.
Terpenting, federasi memiliki momen belajar secara langsung guna menyongsong penyelenggaraan Liga 1.
Sebab Piala Menpora menjadi tempat di mana mereka bisa belajar sekaligus mengevaluasi segala kekurangan sebelum mendapat izin menggelar Liga 1 musim 2021.
Situasi yang masih tak pasti lantaran pandemi Covid-19 membuat PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia kudu mempersiapkan segalanya dengan benar.
Regulasi yang ada, utamanya yang berkaitan dengan protokol kesehatan, mesti diimplementasikan secara menyeluruh.
Jangan sampai di kemudian hari, muncul berita bahwa Piala Menpora jadi ajang yang bikin penyebaran virus Covid-19 meluas.
PSSI bisa belajar dari federasi di negara-negara Eropa. Misalnya, regulasi dalam hal screening virus kepada seluruh pihak yang terlibat dalam suatu laga.
Mulai dari pemain, pelatih, ofisial tim, wasit, kru televisi dan pihak keamanan, baik sebelum maupun sesudah pertandingan.
Lalu bagaimana mekanisme yang ada andai anggota tim, entah itu pemain, pelatih maupun ofisial, dinyatakan positif Covid-19.
Apa yang mesti dilakukan PSSI dan operator kompetisi? Bila diharuskan melakukan karantina, di mana tempat melakukannya? Mengingat Piala Menpora sendiri kabarnya akan dihelat di empat kota berbeda.
Alih-alih meributkan hal-hal terkait perputaran kompetisi semata, pada momen ini federasi memang harus bercermin dan memantapkan diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik terutama mengenai tes kesehatan.
Jujur saja, di balik rasa optimis yang menyeruak di dada perihal kembalinya kompetisi sepakbola di tanah air, terselip juga rasa pesimis.
Mengapa demikian? Seperti yang sudah-sudah, federasi seringkali tak andal dalam menjalankan regulasi mereka buat sendiri. Perihal menyusun jadwal laga PSSI acap kebingungan.
Apalagi dalam situasi yang serbasulit macam sekarang. Suka atau tidak suka, mereka harus terlibat aktif dalam menekan penyebaran virus Covid-19 di kancah sepakbola.
Keberanian untuk menyelenggarakan turnamen mesti diikuti dengan kesiapan dan kesiagaan menghadapi segala sesuatu, khususnya yang bersifat negatif.
Akan sangat konyol bila ketika Piala Menpora sudah bergulir dan memunculkan suatu masalah, PSSI malah kebingungan atau melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
Baru-baru ini saja, laga uji tanding tim nasional terpaksa dibatalkan lantaran pihak Kepolisian mengklaim bahwa federasi terlambat mengajukan izin pertandingan.
Kalau persoalan macam itu saja menodai kredibilitas PSSI, bagaimana dengan problem-problem lebih pelik yang berpotensi muncul pada perhelatan Piala Menpora?
Padahal PSSI dan operator juga kudu memikirkan secara matang tentang pendapatan yang bakal dikantongi klub saat berpartisipasi di Piala Menpora.
Laga tanpa penonton berarti tak ada pemasukan dari penjualan tiket. Namun anehnya, beberapa waktu lalu beredar informasi jika hak komersialisasi cuma dipegang oleh pemegang hak siar.
Padahal, klub sebagai kontestan juga membutuhkan itu guna memutar roda operasionalnya selama ikut di Piala Menpora.
Tanpa perputaran uang yang jelas, klub-klub pasti kesulitan menerapkan regulasi yang dibuat agar sesuai dengan protokol kesehatan.
Bagaimana mungkin klub akan melakukan tes kesehatan rutin dan sesuai anjuran bila PSSI tak menjamin pendapatan mereka?
Pesimisme yang menyeruak bukan soal terselenggara atau tidaknya kompetisi. Namun lebih dikarenakan kemauan PSSI sendiri dalam menerapkan regulasi yang tepat bagi seluruh pihak yang terlibat. Baik dari sisi kesehatan, finansial maupun teknis.
Sebab untuk saat ini, tiga hal itulah aspek utama yang dapat mendukung adanya kompetisi sepakbola lagi di tanah air.